1) Relasi Evangelii Gaudium dengan ensiklik dan dokumen kepausan sebelumnya dan Spirit Pembaruan Paus Fransiskus:
Lewat pembahasan topik ini hendak disasar kontinuitas dan diskontinuitas doku-men ini dengan dokumen-dokumen kepausan sebelumnya. Keterkaitan atau konti-nuitas dapat diindikasikan lewat catatan-catatan kaki pada dokumen Evangelii Gaudium ini. Tema evangelisasi yang dicanangkan dalam dokumen ini harus dikait-kan dengan Sinode para uskup 2012 tentang evangelisasi, pembentukan dikasteri evangelisasi baru dari Paus Benediktus XVI, juga dengan spirit Konsili Vatikan II tentang pewartaan (Ad Gentes) dan dalam konteks yang lebih luas Gaudium et Spes, dengan Evangelii Nuntiandi dari Paus Paulus VI, Redemptoris Missio dan Ecclesia in Asia dari Paus Yohanes Paulus II, dokumen-dokumen dari CELAM, dan Dialogue and Proclamation dari masa kepausan Paus Yohanes Paulus II.
Namun, penekanan-penekanan pastoral yang muncul dalam surat himbauan apos-tolik ini memberikan ciri khas kepada dokumen ini. Pada intinya, Paus Fransiskus hendak menghidupkan kembali semangat pewartaan injil, kembali ke pewartaan yang pertama dan utama, yakni: kabarkanlah kabar gembira!
Diskontinuitas – atau lebih baik penekanan baru - yang tertuang dalam dokumen ini tentunya tidak terlepas dari pengalamannya sebagai imam dan uskup yang melayani di tengah kaum miskin di Argentina. Spirit yang diperoleh dari pengalaman ini nam-paknya bukan hanya mendorong pembaruan yang menyangkut struktur Gereja, melainkan juga mewarnai dokumen ini.
2) Hal-hal Utama dan Istimewa pada Evangelii Gaudium:
Dokumen ini – sebagaimana dikatakan sebelumnya – memuat hal-hal menarik, bu-kan karena kebaruan topiknya, tetapi karena spirit yang menyertai atau bahkan men-dasari misi sebagai kesaksian. Sesi ini akan membahas beberapa poin menarik yang diharapkan memberikan pencerahan dalam misi Gereja, terutama, bagaimana Gereja memberikan kesaksian.
Beberapa hal yang bisa menjadi sorotan, misalnya:
- "Mewartakan injil"berhadapan dengan bahaya mereduksi inti sebenarnya, yakni pengalaman kasih Allah, ke aspek sekunder. Karena itu, Paus ini menekankan, bahwa pelayanan pastoral jangan diidentikkan dengan transmisi ajaran (EG 34-39).
- Misi terwujud dalam keterbatasan manusiawi (EG 40-45): Walaupun Gereja tetap menyampaikan kebenaran yang sama. Namun, Gereja mengekspresikannya secara berbeda. Dalam keterbatasan bahasa dan konteks manusiawi, para teolog dan ek-seget memiliki kewajiban untuk membantu Gereja ke arah interpretasi yang ma-tang akan Sabda yang diwahyukan.
- Gereja seperti seorang ibu dengan hati terbuka (EG 46-49): Gereja adalah rumah Bapa dengan pintu terbuka, siap menerima siapa saja, juga kalau mereka adalah "prodigal Son". Namun, terutama pintu Gereja terbuka bagi mereka yang miskin. Paus lebih suka kepada Gereja yang memar, terluka, dan kotor, daripada Gereja yang berpusar pada keamanan diri sendiri dan terjerat jaring obsesi dan prosedur (birokrasi).
- Krisis Komitmen Komunal (EG 50 – 109): Paus menegaskan kembali beberapa faktor yang membahayakan hidup dan martabat manusia, seperti ekonomi yang mengeksklusi, idolatri uang, sistem finansial yang memerintah, ketidak-merataan yang melahirkan kekerasan; faktor yan menjadi tantangan bagi para pekerja pas-toral, seperti tidak adanya spiritualitas misioner di balik semua kegiatan dan egoisme yang membuat kegiatan menjadi beban kerja, pesimisme yang membuat steril, dsb.
- Pewartaan injil dilakukan oleh semua lewat hidup yang total (EG 111-121): Gereja bukan hanya sebuah institusi hirarkis, tetapi umat Allah yang merasakan/meng-alami rahmat Allah. "Menjadi Gereja berarti menjadi umat Allah, sesuai dengan rencana besar dari cinta kebapaan Allah … Gereja harus menjadi ruang kemurah-an hati yang secara bebas dianugerahkan, di mana setiap orang dapat merasa diterima, dicintai, dimaafkan, dan didorong untuk menghidupi hidup injili".
- Kesalehan popular adalah bentuk iman yang mewujud dalam kultur (122-126).
- Homili dan Persiapannya (EG 135 – 159): Pertama-tama Paus menekankan, bahwa homili merupakan indikator kedekatan dan kemampuan untuk berkomunikasi de-ngan umat. Dalam konteks Ekaristi, homili merupakan "dialog antara Allah de-ngan manusia yang mengantar ke komunio sakramental". Karena hakekatnya yang demikian, homili jangan disamakan dengan bentuk entertainment. Homili diharapkan tidak menjadi lebih penting dibandingkan dengan perayaan iman itu sendiri. Tapi, homili perlulah dipersiapkan oleh pengkotbah, seperti memahami teks Kitab Suci dalam doa, menjadikan sabda menjadi "miliknya sendiri", men-dengarkan umat, dsb.
- Evangelisasi memiliki dimensi sosial (EG 176 – 258): Kerygma memiliki isi sosial yang jelas, yakni inti dari Injil adalah hidup dalam komunitas dan keprihatinan terhadap yang lain; Option for the poorterutama adalah kategori teologis lebih dari sekadar kategori kultural, sosiologis, politis, dan filosofis; Kebaikan bersama yang menjadi dasar bagi damai dalam masyarakat; Dialog sosial menjadi sumbangan bagi perdamaian.
- Para penginjil yang dipenuhi Roh (259 – 288): Pandangan mistik harus disertai oleh sikap sosial dan misioner yang solid. Begitu pula sebaliknya, disertasi atau-pun praktek sosial dan pastoral harus disertai oleh spiritualitas. Kalau tidak, karya menjadi tanpa makna, dan penginjil kehilangan kegembiraan ketika berhadapan dengan berbagai kesulitan. Alasan utama untuk evangelisasi adalah cinta Yesus yang menyelamatkan. Pengalaman inilah yang mendorong penginjil untuk mem-bagikan apa yang dia alami kepada semua orang. Maria dilihat sebagai ibu yang mendampingi; seorang wanita beriman yang hidup dari dan bertumbuh dalam iman.
Yang diharapkan dari sesi ini adalah gambaran atau wajah Gereja yang diharap-kan oleh Paus Fransiskus serta inspirasi teologis bagi para uskup.
3)Gaudium bersama dalam mewartakan injil di bumi Indonesia:
Atas dasar baptisan, semua orang Kristen menjadi "murid missioner" (EG 119-121). Dengan begitu, Evangelii Gaudium menggarisbawahi tugas Gereja secara bersama se-bagai agen misi, bukan sekadar sebagai murid Kristus. Gereja pada dasarnya memi-liki "kewajiban", atau lebih baik dikatakan: dorongan batiniah dan natural untuk menyampaikan pertemuan yang menggembirakan dengan Allah di dalam Yesus ke-pada orang-orang lain. Itu terjadi pada perempuan Samaria; itu juga yang terjadi pada Paulus.
Gaudium dalam mewartakan injil dalam konteks Indonesia memerlukan suatu ke-beranian.
Di dalam konteks sosiologisnya, Gereja Katolik di Indonesiabukan hanya berhadap-an dengan pluralitas kultural dan jurang antara kaya dan miskin, melainkan juga de-ngan kondisi minoritas di hadapan agama-agama lainnya. Karena itu, topik yang pernah diusulkan Be Courageous to Be Catholic! menjadi sangat aktual dan relevan. Dua hal, yakni "norma" (yang disampaikan Evangelii Gaudium) dan "apa yang dilakukan di lapangan" akan dipertemukan dalam sesi ini.
Dokumen ini menyebut "mereka yang mulai menjauh dari Gereja, mereka yang berada di luar Gereja, dan kaum miskin" sebagai yang dituju oleh misi. Maka, ke-lompok-kelompok kategorial yang secara langsung berhadapan dengan mereka ini diberi kesempatan untuk mengadakan sharing tentang motivasi atau spiritualitas yang berada di balik pelayanan mereka.
Dengan begitu, diharapkan bahwa EG memberi semangat, sekaligus dorongan bagi kelompok-kelompok yang bersangkutan, juga memberikan gambaran tentang apa yang sudah dilakukan oleh Gereja, dan apa yang masih harus dikembangkan.
Ada tiga kelompok yang diminta untuk mengadakan sharing, yakni Sant' Egidio Jakarta, Suster-Suster Gembala Baik (RGS), Pendampingan penderita HIV/AIDS dari St. Carolus, Jakarta.
4)Situasi Sosio-Budaya Indonesia sekarang:
Situasi Sosio-Budaya adalah wilayah hidup yang membentuk manusia. Di sanalah Gereja hidup dan mewartakan pesan injili, yakni kasih Allah kepada semua manusia.
Yang dimaksud dengan situasi sosio-budaya bukan hanya soal peta persoalan-per-soalan masyarakat yang harus dihadapi, tetapi juga peta mentalitas yang berada di balik semua persoalan sosiologis.
Diharapkan, peta mentalitas masyarakat Indonesia menampilkan hambatan dan dorongan terkait himbauan Paus Fransiskus untuk keluar dari zona nyaman dan memberikan diri terutama bagi orang-orang pinggiran.
Dari sesi ini diharapkan, bahwa para uskup mendapatkan masukan, bagaimana gambaran mentalitas, baik anggota Gereja sendiri maupun mereka yang dilayani, ke-mudian mendapatkan impuls untuk menentukan kebijakan dalam tugas di keus-kupan masing-masing.
5) Diskusi dan Pleno:
Diskusi pertama diharapkan mendorong para Uskup untuk menemukan inspirasi teologis dari Evangelii Gaudium.
Diskusi kedua diharapkan memberikan inspirasi bagi para Uskup untuk membuat kebijakan pastoral yang sesuai dengan kondisi keuskupan masing-masing.
penyunting : jsunarkasj
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com
No comments:
Post a Comment