Friday, 26 September 2014

Begitu Besar Kasih Allah

BEGITU BESAR KASIH ALLAH
(Menangkap  "Daun-Daun Sabda" Yang Melayang-layang)

Bacaan Injil pada "Pesta Salib Suci"  (Minggu, 14 September 2014) ini berbunyi, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-nya yang tunggal supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal" (Yoh 3: 16).
Jika kita berdoa jalan salib, seorang pemimpin berdoa, "Kami menyembah Dikau ya Tuhan dan bersyukur kepada-Mu." Kemudian umat menjawab, "Sebab dengan Salib Suci-Mu Engkau telah menebus dunia." Karena cinta-Nya kepada manusia, Yesus rela mati bahkan mati di kayu salib.
Dalam permenungan ini, kita hendak mencoba merenungkan makna "Kasih Allah akan dunia."  Cinta Allah kepada dunia ini sungguh-sungguh merupakan  cinta yang  tak bersyarat seperti yang ditulis  oleh John Powell (1925 – 2009), "Unconditional love".  Ia berkorban agar manusia selamat.  Pengorbanan  Kistus kepada kita itu  dapat kita lihat dalam pengorbanan dalam diri burung  pelican (pelecanus). Burung pelikan itu, jika melihat anak-anaknya kelaparan, ia akan terbang mencari makanan sampai mendapatkannya. Jika pada hari itu ia tidak  menemukannya, ia akan mencucukkan paruhnya pada temboloknya dan diberikannya kepada anak-anaknya untuk "sarapan."  Tidak heranlah jika dalam legenda, burung itu memiliki tembolok yang bercak-bercak merah karena mengeluarkan darah. Burung ini juga sebagai lambang pengorbanan sejak abad pertengahan, "Pelikan yang kudus, Yesus Tuhanku "  (Bdk. The Pelican in Christian art is symbol of charity and symbol of The Holy Eucharist).
          Begitu besar keprihatinan Allah kepada kita supaya "tidak binasa" dalam  Jerusalem Bible  ditulis, "not be lost."  Hilang atau  tersesat atau   binasa merupakan pengalaman yang mengerikan bagi umat manusia. Sebagai manusia kita berhadap "ditemukan kembali" seperti dikisahkan oleh Lukas, "Siapa di antara kamu yang memunyai seratus ekor domba dan jikalau ia kehilangan seekor di antaranya tidak meninggalkan yang sembilan puluh sembilan ekor di padang gurun dan pergi mencari yang tersesat itu sampai ia menemukannya?" (Luk 15: 4). Sang gembala berusaha mencari domba itu, "sampai ia menemukannya."  Betapa berharganya pribadi  kita di mata Tuhan.
          Atau  kita boleh merenungkan pengalaman iman John  Newton (1725 – 1807) yang menulis lagu dengan judul, "Amazing Grace." Liriknya,
"Amazing grace, how sweet the sound
That save a wretch like me
I once was lost but now am found
Was blind but now I see.
Dari syair di atas kita menyadari bahwa  pengalaman "kejatuhan" atau  ketersesatan kita – yang pada akhirnya –  ditemukan kembali merupakan pengalaman penuh rahmat yang mengagumkan. Inilah yang dalam pengalaman iman disebut sebagai "metanoia" – pertobatan.
 
Jumat, 12 September 2014  Markus  Marlon

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tuesday, 23 September 2014

Injil Minggu Biasa XXVI A tgl. 28 Sep 2014

                 Injil Minggu Biasa XXVI A tgl. 28 Sep 2014

                                   (Mat 21:28-32)


Injil kali ini (Mat 21:28-32) menampilkan perumpamaan mengenai seorang ayah yang bergilir meminta dua orang anaknya berangkat bekerja di kebun anggur. Yang pertama pada mulanya tidak bersedia, tapi kemudian menyesal dan akhirnya menjalankannya. Yang kedua sebaliknya berkata "ya" tapi tidak melakukannya. Siapa dari kedua anak itu yang sungguh mengikuti kehendak sang ayah? Tentunya orang berpikir tentang anak yang pertama. Apakah perumpamaan ini sekadar dimaksud mengajarkan bahwa tindakan nyata jauh lebih bernilai dari pada sekedar janji? Adakah hal-hal khusus yang dapat dipetik dari bacaan Injil pada hari Minggu Biasa XXVI tahun A ini?

SEKEDAR LATAR BELAKANG

Yesus biasa mengajar di Bait Allah . Di situ banyak orang mendengarkannya. Dalam kesempatan itu datang juga imam-imam kepala serta tua-tua bangsa Yahudi. Suatu ketika mereka mempertanyakan, dengan kuasa mana Yesus melakukan "hal-hal itu" (Mat 21:23). Mereka mau tahu apa dan siapa di belakang tindakan Yesus menyembuhkan, menerima murid, mengajar tentang Kerajaan Surga, mengusir roh jahat dari diri orang, menghibur. Maklum, orang banyak makin melihat karya ilahi di dalam diri Yesus. Para pemimpin masyarakat Yahudi tadi menjadi waswas karena Yesus semakin populer. Bukan terutama karena mereka merasa tersaingi. Mereka khawatir jangan-jangan Yesus mengadakan gerakan politik dengan warna gerakan agama. Mereka curiga bahwa yang dilakukannya itu gerakan politik mengumpulkan massa dengan dalih keagamaan.

Dalam pembicaraan itu Yesus berkata, ia bersedia menjelaskan dari mana kuasanya asalkan mereka juga dapat menjawab satu pertanyaan darinya. Ia balik bertanya apakah pada hemat mereka Yohanes tokoh yang membaptis banyak orang itu mendapat perkenan dari Allah ("datang dari surga", 21:25) atau tindakan mencari pengikut belaka ("dari manusia"). Para pemimpin tadi merasa terpojok. Bila mengakui adanya perkenan ilahi, berarti mereka mendukung Yohanes dan konsekuensinya akan ikut dicurigai penguasa Romawi. Tetapi bila menyatakan tindakan Yohanes hanya manusiawi belaka, maka mereka akan berhadapan dengan orang banyak yang percaya tokoh ini datang dari Allah.

Begitulah Yesus membuat para pemimpin itu menyadari sikap mendua dalam diri mereka sendiri mengenai Yohanes Pembaptis. Mereka tidak mau memberi jawaban jelas dan hanya berkata, "Kami tidak tahu!" Yesus pun menutup pembicaraan tadi dengan mengatakan karena mereka tak dapat memberi jawaban, maka ia pun tidak akan menjawab pertanyaan mereka pada awal, yaitu mengenai asal kekuasaan Yesus (Mat 21:27). Tapi jelas yang hendak dikemukakannya. Kalian tahu Yohanes menyuarakan seruan dari atas sana, tapi kalian tidak berani mengakuinya terang-terangan. Begitulah sikap kalian kepadaku!

Memang para pemimpin Yahudi itu diserahi tanggungjawab moral oleh pemerintah Romawi untuk menjaga ketenangan di masyarakat. Jangan sampai ada gejolak. Apalagi jangan sampai ada gerakan politik dengan warna agama. Bila terjadi, maka pemerintah Romawi akan bertindak dan akan makin membatasi kebebasan orang Yahudi. Inilah yang dikhawatirkan para pemimpin. Jika nanti Yesus dan pengikutnya dianggap mengadakan gerakan politik yang dibiarkan begitu saja oleh instansi agama, maka pemerintah Romawi tidak akan tinggal diam.
 
SIKAP YANG COCOK?
Berlainan dengan para pemimpin tadi, Yesus tidak menyembunyikan pendapatnya mengenai Yohanes Pembaptis. Dalam ayat 32 ia berkata bahwa Yohanes "datang untuk menunjukkan jalan kebenaran". Diakuinya penugasan yang datangnya dari Allah sendiri. Namun para pemimpin Yahudi tidak menanggapinya dengan semestinya, malah tidak berani mengakuinya karena takut. Maka mereka bersikap seperti anak yang berkata ya ya tapi tidak melakukan yang diharapkan. Orang-orang yang mereka anggap rendah, yakni para pemungut cukai dan pelacur, sebaliknya seperti anak yang pada mulanya menolak permintaan si ayah tapi kemudian menyesal dan menurut. Lawan bicara Yesus juga paham maksud perumpamaan ini. Mereka merasa kena teguran. Dan dasar teguran itu ialah prinsip yang mereka pakai mengadili orang lain, yakni ketaatan atau ketidaktaatan religius. 

Perumpamaan ini dipakai untuk menunjukkan sikap yang kurang serius dari pimpinan masyarakat Yahudi dalam perkara-perkara kerohanian. Oleh karenanya malah "pemungut cukai" dan 'pelacur" bakal lebih beruntung daripada mereka karena orang-orang ini berani mengubah sikap mereka. Kedua golongan orang ini dianggap paling tidak taat pada ajaran agama. Pemungut pajak dijauhi karena mereka bekerja bagi sistem pajak asing yang memeras bangsa sendiri. Yang kedua dicap tidak punya kesetiaan. Tetapi mereka yang dianggap buruk itu percaya kepada warta pertobatan Yohanes Pembaptis sedangkan para pemimpin tidak. Mereka itu sebenarnya bahkan lebih memeras bangsa sendiri dan tidak setia pada inti ajaran agama.

MENYESAL DAN AKHIRNYA BERANGKAT

Gagasan dasar dalam perumpamaan ini terungkap dalam kata "menyesal" dalam ayat 29. Anak yang pada mulanya tegas-tegas tidak mau menuruti kemauan ayahnya itu kemudian menyesal. Gagasan "menyesal" di sini bukan terutama perasaan gegetun karena telah berbuat sesuatu yang kurang baik dan kini merasa tak enak, ada ganjalan dalam hati, kenapa tadi berbuat begini atau begitu. Oleh karena itu kiranya tidak amat tepat bila kita bayangkan anak yang akhirnya menjalankan permintaan ayahnya itu sebagai orang yang punya hati, berperasaan, dan ingin memuaskan ayahnya. Semua ini memang amat berharga dan sering terjadi. Namun perumpamaan kali ini tidak membicarakan sikap hati seperti itu. Yang ditunjukkan ialah keberanian untuk meninjau kembali niatnya dan memikirkan apakah tidak lebih baik menjalankan yang diminta dari pada bersikeras.

 Perkaranya menjadi lebih jelas bila dibandingkan dengan anak yang kedua. Sebetulnya dia tidak pernah berniat berangkat bekerja di kebun anggur ayahnya. Ia hanya berbasa-basi mengatakan "Baik pak!" tapi sebetulnya hanya ingin agar tidak diganggu lebih lanjut. Ia lebih berminat meneruskan yang sedang dikerjakannya. Tidak juga ia berminat mencari tahu mengapa ayahnya memintanya pergi bekerja di kebun anggurnya. Ia cuma mau membungkam ayahnya dengan sebuah janji. Ia tidak berpikir panjang mengenai tindakannya atau alasan permintaan ayahnya.

Jadi pengertian "menyesal" dalam perumpamaan ini lebih cocok dipahami sebagai "memikirkan kembali", "meninjau kembali keputusan yang telah dibuat" dan "urung menjalankan yang sudah diniatkan". Ada usaha untuk tidak membiarkan diri terpancang pada satu pandangan mati. Itulah yang terjadi pada anak yang pertama. Meskipun sudah dengan jelas mengatakan tidak mau berangkat, ia akhirnya berangkat pergi juga. Boleh jadi ia mulai berpikir mengapa sang ayah memintanya bekerja. Apa tidak ada pekerja? Apa memang amat perlu? Tidak dijelaskan dalam perumpamaan alasan sang ayah. Tetapi anak yang ini jelas mengerti maksudnya. Dan ia yakin sebaiknya menuruti. Di bawah nanti akan diulas arti permintaan tadi.

PERMINTAAN SANG AYAH = REZEKI HARI INI?

Tidak ada buruknya kita coba ikut merasa-rasakan bagaimana sang ayah mengungkapkan keinginannya. Ia berkata, "Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur!" Kata-kata ini tidak berisi sebuah perintah keras, melainkan tawaran yang diungkapkan dengan halus. Terasa juga sapaan yang penuh kasih sayang. Isi permintaannya sendiri sebetulnya tidak amat berarti. Ada banyak orang yang menunggu dipekerjakan di kebun anggurnya.

Sang ayah meminta anaknya bekerja di sana justru karena ia mau menawarkan kesempatan bagi mereka. Dan lebih khusus lagi, ia menawarkan kesempatan bekerja "hari ini".
Tawaran bekerja di kebun anggur "hari ini" mengingatkan pada permintaan kepada Bapa dalam doa yang diajarkan Yesus: "Berilah kami rezeki pada hari ini".Dalam perumpamaan ini ditunjukkan betapa sang ayah ingin memberi sesuatu yang dapat membuat anaknya mendapatkan sesuatu pada "hari ini". Rezeki pada hari ini, itulah yang ditawarkannya dengan lembut. Tidak dipaksakannya. Berarti bisa ditolak, bisa tak dianggap penting, diremehkan, tapi tetap ditawarkan. Bagi yang tadinya tidak mau, tetapi kemudian berubah sikap, tawaran itu masih tetap berlaku.

Perumpamaan ini menggemakan tema kemurahan hati Allah yang ditawarkan kepada siapa saja tetapi yang tidak selalu diterima dengan serta merta. Dalam perumpamaan hari Minggu lalu (Mat 20:1-16) kemurahan hati ini dipersoalkan oleh mereka yang kurang memikirkan keadaan mereka yang kurang seberuntung mereka. Pekerja yang langsung menemukan pekerjaan dan masuk pagi kurang senang melihat yang datang kemudian mendapat upah sama. Tetapi mereka yang datang kemudian ini sebenarnya sudah lama menunggu. Kini dalam perumpamaan tentang dua anak, rezeki hari itu ditawarkan kepada dua orang yang sebetulnya tahu apa itu kemurahan hati dan kebaikan ilahi. Tetapi hanya satu saja yang akhirnya mau menerimanya. Yang lain merasa tidak membutuhkannya. Pembaca perumpamaan ini diajak berpikir di mana kedudukannya sekarang ini. Sekaligus ada imbauan untuk berubah bagi yang bersikap sebagai anak yang kedua.

Salam hangat,
A. Gianto


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Monday, 15 September 2014

Homili Paus Franciscus

HOMILI PAUS FRANSISKUS DALAM MISA 4 September 2014 : AKUI DOSA-DOSA ANDA UNTUK DIUBAH OLEH KRISTUS

(http://pope-at-mass.blogspot.com/2014/09/homili-paus-fransiskus-dalam-misa-4.html)

Bacaan Ekaristi : 1Kor 3:18-23; Luk 5:1-11

Paus Fransiskus merenungkan rahmat Sabda Allah yang mengubah serta mengundang 
orang-orang Kristiani untuk mengakui dosa-dosa mereka dan membiarkan 

diri mereka diubah oleh perjumpaan mereka dengan Kristus. Itulah inti 
pokok homili Paus Fransiskus dalam Misa harian Kamis pagi 4 September 
2014 di Casa Santa Marta, Vatikan.

Selama homilinya, Paus 
Fransiskus merenungkan Surat Pertama Santo Paulus kepada jemaat di 
Korintus yang berbunyi: "Jika ada di antara kamu yang menyangka dirinya 
berhikmat menurut dunia ini, biarlah ia menjadi bodoh, supaya ia 
berhikmat. Karena hikmat dunia ini adalah kebodohan bagi Allah" 
(3:18-19). Paulus – beliau mengatakan – sedang berbicara kepada kita
bahwa kekuatan Sabda Allahlah yang membawa perubahan hati yang 
sesungguhnya, yang memiliki kekuatan untuk mengubah dunia, memberi kita 
harapan, memberi kita kehidupan.

Beliau menunjukkan bahwa 
kekuatan ini tidak dapat ditemukan dalam pengetahuan manusia atau 

kecerdasan manusia. "Menjadi orang bodoh" – Paus Fransiskus mendesak - 
tidak mencari keamanan dalam pengetahuan Anda atau dalam pengetahuan 

dunia". Dan Paus Fransiskus mengatakan bahwa meskipun Paulus telah 
belajar dengan para guru yang paling berpengetahuan luas pada masanya, 
ia tidak pernah menyombongkan pengetahuannya. Dalam sebuah jalan
"pengunjingan" – Paus Fransiskus mengatakan - ia membanggakan 
dosa-dosanya dan perjumpaannya dengan Kristus dan salib, karena 
perjumpaan antara dosa-dosanya dan darah Kristus itu adalah satu-satunya
perjumpaan keselamatan yang ada. Dan ketika kita melupakan perjumpaan 
itu - Paus Fransiskus mengatakan - kita kehilangan daya kekuatan Kristus
dan kita berbicara tentang perkara Allah dengan sebuah bahasa manusia, 
Dan ini – beliau mengatakan - tidak berguna.

Paus Fransiskus 
juga mengingat kisah Injil tentang Petrus dan hasil tangkapan ikan yang 
ajaib yang di dalamnya Petrus berkata kepada Yesus: "Tuhan, pergilah
dari padaku, karena aku ini seorang berdosa". Pada saat pertemuan antara
dosa-dosanya dan Kristus ini, Paus Fransiskus berkata, Petrus menemukan
keselamatan. Jadi, Paus mengatakan : "tempat istimewa bagi sebuah 
perjumpaan dengan Kristus adalah dosa-dosa kita. Jika seorang Kristiani 
tidak mampu melihat dosa-dosanya dan keselamatannya dalam darah Kristus,
ia hanya telah pergi setengah jalan. Ia adalah seorang Kristiani yang 
suam-suam kuku. Dan Paus menunjuk kepada mereka Gereja-gereja yang 
menurun martabatnya, paroki-paroki yang menurun martabatnya, 
lembaga-lembaga yang menurun martabatnya ini di mana tentunya 
orang-orang Kristiani tidak pernah benar-benar bertemu Kristus atau juga
mereka melupakan perjumpaan itu.

Paus Fransiskus mengakhiri 
homilinya dengan mengundang umat beriman untuk bertanya pada diri mereka
sendiri apakah mereka mampu mengatakan kepada Tuhan mereka adalah 
orang-orang berdosa; apakah mereka benar-benar percaya Tuhan telah 
memberi mereka sebuah kehidupan baru; apakah mereka percaya di dalam 
Kristus. Karena – beliau berkata - seorang Kristiani bisa membanggakan 
tentang dua hal : tentang dosa-dosanya dan tentang Kristus di kayu 
salib.
******************
(Peter Suriadi, 4 September 2014)

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Evanegli Gaudium

Deskripsi Topik EVANGELII GAUDIUM

1) Relasi Evangelii Gaudium dengan ensiklik dan dokumen kepausan sebelumnya dan Spirit Pembaruan Paus Fransiskus:
Lewat pembahasan topik ini hendak disasar kontinuitas dan diskontinuitas doku-men ini dengan dokumen-dokumen kepausan sebelumnya. Keterkaitan atau konti-nuitas dapat diindikasikan lewat catatan-catatan kaki pada dokumen Evangelii Gaudium ini. Tema evangelisasi yang dicanangkan dalam dokumen ini harus dikait-kan dengan Sinode para uskup 2012 tentang evangelisasi, pembentukan dikasteri evangelisasi baru dari Paus Benediktus XVI, juga dengan spirit Konsili Vatikan II tentang pewartaan (Ad Gentes) dan dalam konteks yang lebih luas Gaudium et Spes, dengan Evangelii Nuntiandi dari Paus Paulus VI, Redemptoris Missio dan Ecclesia in Asia dari Paus Yohanes Paulus II, dokumen-dokumen dari CELAM, dan Dialogue and Proclamation dari masa kepausan Paus Yohanes Paulus II.
Namun, penekanan-penekanan pastoral yang muncul dalam surat himbauan apos-tolik ini memberikan ciri khas kepada dokumen ini. Pada intinya, Paus Fransiskus hendak menghidupkan kembali semangat pewartaan injil, kembali ke pewartaan yang pertama dan utama, yakni: kabarkanlah kabar gembira!
Diskontinuitas – atau lebih baik penekanan baru - yang tertuang dalam dokumen ini tentunya tidak terlepas dari pengalamannya sebagai imam dan uskup yang melayani di tengah kaum miskin di Argentina. Spirit yang diperoleh dari pengalaman ini nam-paknya bukan hanya mendorong pembaruan yang menyangkut struktur Gereja, melainkan juga mewarnai dokumen ini.
 
2) Hal-hal Utama dan Istimewa pada Evangelii Gaudium:
Dokumen ini – sebagaimana dikatakan sebelumnya – memuat hal-hal menarik, bu-kan karena kebaruan topiknya, tetapi karena spirit yang menyertai atau bahkan men-dasari misi sebagai kesaksian. Sesi ini akan membahas beberapa poin menarik yang diharapkan memberikan pencerahan dalam misi Gereja, terutama, bagaimana Gereja memberikan kesaksian.
 
Beberapa hal yang bisa menjadi sorotan, misalnya:
-     "Mewartakan injil"berhadapan dengan bahaya mereduksi inti sebenarnya, yakni pengalaman kasih Allah, ke aspek sekunder. Karena itu, Paus ini menekankan, bahwa pelayanan pastoral jangan diidentikkan dengan transmisi ajaran (EG 34-39).
-     Misi terwujud dalam keterbatasan manusiawi (EG 40-45): Walaupun Gereja tetap menyampaikan kebenaran yang sama. Namun, Gereja mengekspresikannya secara berbeda. Dalam keterbatasan bahasa dan konteks manusiawi, para teolog dan ek-seget memiliki kewajiban untuk membantu Gereja ke arah interpretasi yang ma-tang akan Sabda yang diwahyukan.
-     Gereja seperti seorang ibu dengan hati terbuka (EG 46-49): Gereja adalah rumah Bapa dengan pintu terbuka, siap menerima siapa saja, juga kalau mereka adalah "prodigal Son". Namun, terutama pintu Gereja terbuka bagi mereka yang miskin. Paus lebih suka kepada Gereja yang memar, terluka, dan kotor, daripada Gereja yang berpusar pada keamanan diri sendiri dan terjerat jaring obsesi dan prosedur (birokrasi).
-     Krisis Komitmen Komunal (EG 50 – 109): Paus menegaskan kembali beberapa faktor yang membahayakan hidup dan martabat manusia, seperti ekonomi yang mengeksklusi, idolatri uang, sistem finansial yang memerintah, ketidak-merataan yang melahirkan kekerasan; faktor yan menjadi tantangan bagi para pekerja pas-toral, seperti tidak adanya spiritualitas misioner di balik semua kegiatan dan egoisme yang membuat kegiatan menjadi beban kerja, pesimisme yang membuat steril, dsb.
-     Pewartaan injil dilakukan oleh semua lewat hidup yang total (EG 111-121): Gereja bukan hanya sebuah institusi hirarkis, tetapi umat Allah yang merasakan/meng-alami rahmat Allah. "Menjadi Gereja berarti menjadi umat Allah, sesuai dengan rencana besar dari cinta kebapaan Allah … Gereja harus menjadi ruang kemurah-an hati yang secara bebas dianugerahkan, di mana setiap orang dapat merasa diterima, dicintai, dimaafkan, dan didorong untuk menghidupi hidup injili".
-     Kesalehan popular adalah bentuk iman yang mewujud dalam kultur (122-126).
-     Homili dan Persiapannya (EG 135 – 159): Pertama-tama Paus menekankan, bahwa homili merupakan indikator kedekatan dan kemampuan untuk berkomunikasi de-ngan umat. Dalam konteks Ekaristi, homili merupakan "dialog antara Allah de-ngan manusia yang mengantar ke komunio sakramental". Karena hakekatnya yang demikian, homili jangan disamakan dengan bentuk entertainment. Homili diharapkan tidak menjadi lebih penting dibandingkan dengan perayaan iman itu sendiri. Tapi, homili perlulah dipersiapkan oleh pengkotbah, seperti memahami teks Kitab Suci dalam doa, menjadikan sabda menjadi "miliknya sendiri", men-dengarkan umat, dsb.
-     Evangelisasi memiliki dimensi sosial (EG 176 – 258): Kerygma memiliki isi sosial yang jelas, yakni inti dari Injil adalah hidup dalam komunitas dan keprihatinan terhadap yang lain; Option for the poorterutama adalah kategori teologis lebih dari sekadar kategori kultural, sosiologis, politis, dan filosofis; Kebaikan bersama yang menjadi dasar bagi damai dalam masyarakat; Dialog sosial menjadi sumbangan bagi perdamaian.
-     Para penginjil yang dipenuhi Roh (259 – 288): Pandangan mistik harus disertai oleh sikap sosial dan misioner yang solid. Begitu pula sebaliknya, disertasi atau-pun praktek sosial dan pastoral harus disertai oleh spiritualitas. Kalau tidak, karya menjadi tanpa makna, dan penginjil kehilangan kegembiraan ketika berhadapan dengan berbagai kesulitan. Alasan utama untuk evangelisasi adalah cinta Yesus yang menyelamatkan. Pengalaman inilah yang mendorong penginjil untuk mem-bagikan apa yang dia alami kepada semua orang. Maria dilihat sebagai ibu yang mendampingi; seorang wanita beriman yang hidup dari dan bertumbuh dalam iman. 
Yang diharapkan dari sesi ini adalah gambaran atau wajah Gereja yang diharap-kan oleh Paus Fransiskus serta inspirasi teologis bagi para uskup.
 
3)Gaudium bersama dalam mewartakan injil di bumi Indonesia:
Atas dasar baptisan, semua orang Kristen menjadi "murid missioner" (EG 119-121). Dengan begitu, Evangelii Gaudium menggarisbawahi tugas Gereja secara bersama se-bagai agen misi, bukan sekadar sebagai murid Kristus. Gereja pada dasarnya memi-liki "kewajiban", atau lebih baik dikatakan: dorongan batiniah dan natural untuk menyampaikan pertemuan yang menggembirakan dengan Allah di dalam Yesus ke-pada orang-orang lain. Itu terjadi pada perempuan Samaria; itu juga yang terjadi pada Paulus.
Gaudium dalam mewartakan injil dalam konteks Indonesia memerlukan suatu ke-beranian.
Di dalam konteks sosiologisnya, Gereja Katolik di Indonesiabukan hanya berhadap-an dengan pluralitas kultural dan jurang antara kaya dan miskin, melainkan juga de-ngan kondisi minoritas di hadapan agama-agama lainnya. Karena itu, topik yang pernah diusulkan Be Courageous to Be Catholic! menjadi sangat aktual dan relevan. Dua hal, yakni "norma" (yang disampaikan Evangelii Gaudium) dan "apa yang dilakukan di lapangan" akan dipertemukan dalam sesi ini.
Dokumen ini menyebut "mereka yang mulai menjauh dari Gereja, mereka yang berada di luar Gereja, dan kaum miskin" sebagai yang dituju oleh misi. Maka, ke-lompok-kelompok kategorial yang secara langsung berhadapan dengan mereka ini diberi kesempatan untuk mengadakan sharing tentang motivasi atau spiritualitas yang berada di balik pelayanan mereka.
Dengan begitu, diharapkan bahwa EG memberi semangat, sekaligus dorongan bagi kelompok-kelompok yang bersangkutan, juga memberikan gambaran tentang apa yang sudah dilakukan oleh Gereja, dan apa yang masih harus dikembangkan.
Ada tiga kelompok yang diminta untuk mengadakan sharing, yakni Sant' Egidio Jakarta, Suster-Suster Gembala Baik (RGS), Pendampingan penderita HIV/AIDS dari St. Carolus, Jakarta.
 
4)Situasi Sosio-Budaya Indonesia sekarang:
Situasi Sosio-Budaya adalah wilayah hidup yang membentuk manusia. Di  sanalah Gereja hidup dan mewartakan pesan injili, yakni kasih Allah kepada semua manusia.
Yang dimaksud dengan situasi sosio-budaya bukan hanya soal peta persoalan-per-soalan masyarakat yang harus dihadapi, tetapi juga peta mentalitas yang berada di balik semua persoalan sosiologis.
Diharapkan, peta mentalitas masyarakat Indonesia menampilkan hambatan dan dorongan terkait himbauan Paus Fransiskus untuk keluar dari zona nyaman dan memberikan diri terutama bagi orang-orang pinggiran.
Dari sesi ini diharapkan, bahwa para uskup mendapatkan masukan, bagaimana gambaran mentalitas, baik anggota Gereja sendiri maupun mereka yang dilayani, ke-mudian mendapatkan impuls untuk menentukan kebijakan dalam tugas di keus-kupan masing-masing.
 
5) Diskusi dan Pleno:
Diskusi pertama diharapkan mendorong para Uskup untuk menemukan inspirasi teologis dari Evangelii Gaudium.
Diskusi kedua diharapkan memberikan inspirasi bagi para Uskup untuk membuat kebijakan pastoral yang sesuai dengan kondisi keuskupan masing-masing.
 
penyunting : jsunarkasj
 


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Minggu Biase ke XXV tahun A

                    Injil  Minggu XXV tahun A
Mat 20:1-16

Rekan-rekan,
Penulis ulasan mingguan meminta saya berbicara mengenai perumpamaan dalam Mat 20:1-16 yang dibacakan pada hari Minggu XXV tahun A ini. Ceritanya tentu sudah kalian kenal. Pagi-pagi benar seorang pemilik kebun anggur menawarkan pekerjaan dengan upah sedinar sehari. Upah sedinar memang lazim bagi pekerja harian waktu itu. Tentu saja para pencari kerja mau. Sang empunya kebun itu kemudian juga mengajak orang yang belum mendapat pekerjaan pada pukul sembilan, duabelas, tiga, dan bahkan sampai pukul lima sore – sejam sebelum jam kerja usai. Masalahnya begini. Tiap pekerja, entah yang datang satu jam sebelum tutup hari, entah yang mulai pagi-pagi, mendapat upah sama: satu dinar. Maka yang datang pagi tidak puas, kok upahnya sama dengan yang bekerja satu jam saja. Pemilik kebun menegaskan, bukannya ia berlaku tak adil. Kan tadi sudah saling sepakat mengenai upah sedinar. Ia merasa merdeka memberi upah sedinar juga kepada yang datang belakangan. Jawaban ini menukas rasa iri hati orang yang melihat ia bermurah hati kepada orang lain. Sebenarnya kata-kata itu bukan hanya ditujukan kepada pekerja yang protes melainkan kepada siapa saja yang membaca dan pendengar perumpamaan ini. Bagaimana penjelesannya?

NAFKAH HARIAN DAN KEADILAN BAGI SEMUA

Rekan-rekan, perumpamaan ini kerap menjadi sandungan bagi rasa keadilan baik pada zaman dulu maupun sekarang. Tidak perlu kita poles permasalahannya. Justru perumpamaan itu dimaksud untuk membuat kita semakin mencermati anggapan kita sendiri mengenai keadilan. Kita diajak menyadari bahwa keadilan tak bisa ditafsirkan secara sepihak tanpa merugikan pihak lain. Dan pihak lain di sini ialah orang-orang yang baru mendapat pekerjaan setelah hari hampir lewat. Para pekerja yang merasa mendapat upah terlalu sedikit sebenarnya tidak melihat sisi yang lebih dasar dari keadilan, yakni kesempatan yang sama bagi semua orang untuk mendapat nafkah. Orang yang tak puas itu sebenarnya beruntung karena langsung mendapat pekerjaan tanpa perlu menunggu. Upah yang dijanjikan juga jelas dan wajar. Sudah terjamin. Tetapi ada banyak orang yang tak seberuntung mereka. Ada yang masih menganggur sampai siang dan bahkan sampai sore hari karena tak ada yang memberi pekerjaan. Dari mana mereka akan mendapat nafkah bagi hari itu? Apa mereka harus melewatkan malam hari dengan perut kosong? Apa rasa keadilan yang begini tidak muncul?

Sering terdengar, urusan mereka sendirilah bila tidak berhasil mendapat nafkah penyambung hidup. Tetapi hidup dalam Kerajaan Surga tidak demikian. Di situ tersedia kesempatan yang sama bagusnya bagi siapa saja. Inilah yang dalam perumpamaan tadi digambarkan dengan tindakan pemilik kebun keluar menawarkan pekerjaan bagi mereka yang kedapatan masih menganggur pada jam sembilan, tengah hari, tiga sore dan bahkan sejam sebelum waktu kerja usai. Mereka yang masih menunggu rezeki tidak ditinggalkan sendirian. Inilah keadilan yang diberlakukan dalam Kerajaan Surga.

Yesus pernah mengajarkan agar kita berdoa kepada Bapa yang ada di surga, mohon diberi "rezeki pada hari ini", maksudnya, nafkah penyambung hari ke hari. Apa yang kita rasakan kita bila kita ada dalam keadaan mereka yang belum mendapatkannya? Orang-orang ini tidak bakal dilupakan.

PERIHAL KERAJAAN SURGA

Kawan-kawan ingat, perumpamaan ini diceritakan Yesus dengan maksud untuk menjelaskan perihal Kerajaan Surga. Ia sudah sering mengajarkan bagaimana kehidupan kita di bumi ini bisa menjadi ruang leluasa bagi kehadiran Yang Mahakuasa. Oleh karena itulah saya menyampaikannya kembali dengan ungkapan Kerajaan Surga. Akan lebih mudah terbayang adanya wahana, ruang batin.

Mark dan Luc lebih suka menyebutnya Kerajaan Allah. Intinya sama, tetapi kedua rekan itu lebih menggarisbawahi yang hadir di dalam ruang batin itu, yakni Allah sendiri. Saya sendiri lebih menyoroti diri kita sebagai ruang tadi. Pemikiran saya ini ada latar belakangnya. Mari kita tengok kembali kisah penciptaan, khususnya yang terjadi pada hari kedua (Kej 1:6-8). Bukankah pada hari kedua itu Allah menjadikan langit? Dan yang dinamaiNya langit itu berperan memisahkan air yang di bawah dan air yang di atas. Karena itulah mulai ada ruang bagi ciptaan-ciptaan berikutnya, yakni daratan, laut, tumbuh-tumbuhan, hewan sampai kepada manusia.

Boleh saya sebutkan, dalam bahasa Ibrani (dan Aram, dan Yunani), kata untuk langit yang kita bicarakan itu sama dengan kata bagi surga, yakni "syamaim" (Aram "syemaya", Yunani "ouranos"). Berkat "syamaim" yang diciptakan tadi, berkat surga, maka bumi beserta isinya, dan khususnya manusia, terlindung. Jadi surgalah yang membendung kekuatan-kekuatan gelap serta kekacauan yang ada di seputar ciptaan yang dilambangkan dengan air-air. Jadi Pencipta menghendaki wahana kehidupan ini sejak awal dilingkupi oleh surga. Bila gagasan Kitab Kejadian di atas diikuti, maka ciptaan bersama isinya tentunya juga dimaksud agar semakin menjadi tempat kehadiranNya. Oleh karena itu, Kerajaan Surga boleh dibayangkan sebagai wahana yang luas tak berbatas yang semakin terisi siapa saya yang ingin masuk berlindung di dalamnya. Yang datang terlebih dahulu atau yang sudah lama menunggu dan baru masuk belakangan akan mendapatkan tempat.

Yesus datang mewartakan Kerajaan Surga yang benar-benar sudah ada di dekat. Ia mengajak orang banyak bertobat, ber-metanoia, artinya bukan asal kapok berbuat jahat dan banting setir, melainkan berganti wawasan mengenai hidup ini, berpikir luas melampaui yang sudah-sudah, maksudnya, tidak mengurung diri dalam pandangan-pandangan sendiri, tetapi mulai berpikir jauh ke depan meluangkan diri bagi kehadiran ilahi. Metanoia itu upaya untuk tidak membatasi horizon berpikir. Anda-anda yang suka tampil dikenal beragama itu mudah kejangkitan penyakit picik!

PENERAPAN

Dalam masyarakat kami dulu ada gagasan bahwa semua tindakan di bumi ini cepat atau lambat akan mendapat ganjaran sepadan di sini atau di akhirat, begitu pula kejahatan akan mendapat hukuman setimpal. Semacam balasan dari atas sana dengan menggunakan cara-cara seperti yang ada di dunia. Pendapat ini katanya ada juga dalam masyarakat anda. Kata para ahli, alam pikiran seperti ini dijumpai di mana-mana. Memang ajaran ini menjadi pengontrol perilaku individu. Tapi bila hanya itu, orang akan bertanya-tanya, bagaimana dengan orang yang tidak dapat berbuat banyak? Apa hanya sedikit ganjarannya nanti? Jadi nanti di akhirat ada tingkat-tingkat menurut ukuran yang kita kenal sekarang? Dengan perumpamaan hari ini Yesus mengajak orang menyadari bahwa Kerajaan Surga itu berkembang dengan kemurahan hati Allah dan bukan dengan prinsip ganjaran bagi perbuatan di bumi.

Apakah perumpamaan itu memuat sindiran bagi kita manusia yang cenderung bertabiat mau mengambil lebih? Yang mudah iri bila melihat orang lain beruntung? Ah, tak usah kita pakai Injil untuk menyindir. Dan bukan itulah maksud saya. Yesus kiranya juga tidak bertujuan menyampaikan kritik moral sosial yang perlu kita khotbah-khotbahkan. Tujuannya ialah mengabarkan cara hidup dalam Kerajaan Surga. Pikir punya pikir memang perlakuan istimewa bagi yang masuk kerja belakangan itu termasuk warta mengenai Kerajaan Surga. Kemurahan ilahi juga tidak dapat diukur dengan banyak sedikitnya kerja. Bila diukur dengan cara itu akan tidak klop dan Kerajaan Surga akan menjadi perkara jual beli jasa.

Ada catatan penting. Orang-orang yang bekerja sejam itu mendapat upah karena juga bekerja sungguh-sungguh. Sedinar itu tidak dihadiahkan begitu saja. Seandainya mereka hanya enak-enak nongkrong di kebun, apa akan mendapat upah? (Ingat orang yang diberi satu talenta tetapi malah menguburkannya! Ia akhirnya tak dapat apa-apa, malah talenta itu diambil daripadanya. Lihat Mat 25:14-30, terutama ay. 24 dst. ) Upah tetap imbalan bagi usaha serta kerja yang nyata. Dan upaya penuh, tidak separo-separo. Yang bekerja hanya sejam itu juga bekerja penuh. Kan tak bisa lebih. Satu jam kemudian sudah tutup hari. Yang datang jam enam pagi ukurannya ya sehari kerja penuh.

Kawan-kawan, Kerajaan Surga itu ditawarkan kepada orang yang berada dalam keadaan yang berbeda-beda. Ada yang sudah menunggu lama tapi tak kunjung mendapatkannya. Kalau dilihat dari sudut pandang ini, boleh jadi kita bisa lebih memahami kenapa pemilik kebun itu bermurah hati. Dan juga kita-kita yang boleh jadi merasa patut mendapat lebih akan merasa tidak perlu menuntut. Apakah kita tidak malah senang ada makin banyak orang yang diajak bekerja? Paling tidak pekerjaan kita bisa jadi ringan! Dan bagaimana bila yang datang terakhir itu justru kita sendiri?

Salam,Matt
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com