Thursday, 23 July 2015

Minggu Biasa XVII B

Injil Minggu Biasa XVII/B 26Jul15 (Yoh 6:1-15)
 
BINGKISAN KASIH

Injil Minggu Biasa XVII tahun B, Yoh 6:1-15, mengisahkan bagaimana Yesus mampu memberi makan lima ribu orang dengan membagi-bagikan lima roti jelai dan dua ikan yang kebetulan tersedia pada waktu itu. Sisa potongan roti setelah semua orang makan bahkan mencapai dua belas bakul penuh! Apa wartanya? Sebelum membicarakan lebih lanjut, marilah kita memahami kisah “Yesus memberi makan orang banyak” bukannya sebagai tindakan ajaib “memperbanyak makanan” semata-mata. Tekanan diletakkan pada perhatian Yesus kepada orang-orang yang mendatanginya, bukan pada mukjizatnya sendiri.

MENJELANG PASKKAH YAHUDI

Peristiwa ini terjadi ketika hari raya Paskah orang Yahudi sudah dekat (Yoh 6:4). Dalam Injil Yohanes, penyebutan waktu ini didapati pada peristiwa-peristiwa yang penting. Pembersihan Bait Allah (Yoh 2:13)terjadi pada waktu itu. Kemudian pada peristiwa pemberian makan orang banyak seperti di sini. Perjamuan Terakhir dengan para murid (Yoh 13:1) terjadi juga menjelang Paskah Yahudi. (Perjamuan ini bukan perjamuan Paskah – yang bagi Yohanes terjadi ketika Yesus wafat di salib). Peristiwa memberi makan orang banyak kali ini ditampilkan
sebagai salah satu dari tiga peristiwa penting yang mendahului Paskah baru, yakni kebangkitan Yesus. Dalam kisah pembersihan Bait, orang menyangka Yesus hendak mengadakan
pembaharuan sosial besar-besaran bagi orang Yahudi dalam waktu singkat. Tidak mereka sadari bahwa Bait yang morat marit dikotori sikap tak percaya itu sebentar lagi akan digantikan dengan dirinya yang nanti akan bangkit menjadi Bait yang hidup bagi semua orang. Juga dalam Perjamuan Terakhir para murid sendiri belum amat menyadari bahwa kebesaran Yesus
terletak dalam pelayanan, yakni sikap yang diajarkannya pada saat-saat terakhir itu. Dan orang-orang yang telah dikenyangkan seperti dikisahkan dalam petikan hari ini hanya melihatnya hanya sebagai nabi yang telah datang ke dunia (Yoh 6:14) dan malah ingin menjadikannya raja.Kesadaran batin orang-orang, juga para murid terdekat, belum berkembang utuh seperti orang buta sejak lahir yang dibuka penglihatannya oleh Yesus. Pada mulanya memang orang itu mengenal Yesus hanya sebagai penyembuh paranormal (Yoh 9:11 dan 15). Kemudian ketika ditanya-tanya oleh kaum Farisi, orang itu mulai berpikir bahwa tentunya Yesus itu nabi (Yoh 9:17). Tapi ketika bertemu Yesus lagi dan berbicara dengannya, ia menyadari siapa sesungguhnya dia dan sujud menyeru “Aku percaya, Tuhan” (Yoh 9:38). Orang-orang di Bait Allah, orang banyak di tepi Danau
Tiberias di Galilea, bahkan para murid terdekat sendiri masih perlu maju setapak lagi agar menyadari siapa Yesus itu. Tanda-tanda besar – mukjizat – baru membuat orang mulai mengakui kebesarannya menurut bayangan masing-masing. Jadi belum tentu sejalan dengan yang dipikirkan Yesus. Kebenaran baru tercapai bila orang berani maju sendiri seperti orang tadi.
 

PERMINTAAN YESUS

Kisah memberi makan lima ribu orang ini dijumpai dalam semua Injil (Mrk 6:30-44 Mat 14:13-21 Luk 9:10-17 dan petikan hari ini Yoh 6:1-15). Menurut Markus, Matius dan Lukas, para murid menyadari bahwa hari sudah mulai petang dan akan makin sulit mendapatkan makanan. Warung-warung segera akan tutup. Waktu itu memang belum lazim ada kedai makan yang buka malam hari. Maka para murid mengusulkan kepada Yesus, yang sedang melayani orang-orang itu, agar menyuruh mereka bubar saja dan pergi membeli makanan sendiri-sendiri. Tapi Yesus malah menyuruh murid-muridnya ikut bertanggung jawab memberi makan orang banyak itu. Sikap ini tampak jelas dalam Injil Yohanes. Di situ Yesus mulai menggugah perhatian Filipus dengan bertanya, “Di mana kita bisa membeli roti supaya mereka dapat makan?” Begitulah Yesus mengajak murid-murid melayani dan menyediakan makanan bagi orang-orang yang telah kena pesona para murid itu sendiri. Jangan orang-orang itu ditinggalkan dan dibiarkan sendirian setelah sukses dikecap. Kembalikan kepuasan kepada mereka! Tentu saja tidak mudah. Filipus menghitung, uang dua ratus dinar takkan cukup buat orang sebanyak itu. Kita tahu, sedinar itu upah lazim satu hari kerja bagi pekerja biasa dan boleh jadi hanya cukup bagi satu keluarga dengan lima orang. Maka paling banter dengan dua ratus dinar hanya akan dapat disediakan makanan bagi seribu orang, bukan lima ribu! Masing-masing orang tak bakal mendapat sepotong kecil roti saja! Apa ini namanya memberi makan? Begitulah cara berpikir dengan angka-angka melulu. Hasilnya ialah angkat tangan menyerah.Filipus bukan sebarang orang. Tokoh ini berasal dari Betsaida, kota pusat perdagangan ikan di tepi danau tempat peristiwa ini terjadi. Ia dulu dipanggil Yesus sendiri agar mengikutinya (Yoh 1:43-48). Ia kemudian mempertemukan Natanael dengan Yesus. Ia juga pernah diminta orang-orang “Yunani” (maksudnya, orang Yahudi yang berpendidikan modern) untuk memperkenalkan mereka kepada Yesus (Yoh 12:21). Memang Filipus orang yang terpandang di masyarakat. Boleh jadi ia usahawan penting di kota pasar ikan itu. Dan dia itulah yang sekarang diminta Yesus memikirkan keadaan orang banyak. Tapi ia hanya bisa mengalokasi 200 dinar bagi konsumsi masa. Lalu apa mesti menghubungi relasi sana sini yang bisa membantu? Pada saat itu Andreas, seorang murid yang berasal dari Betsaida juga, tampil dengan sebuah pemecahan yang malah semakin tak masuk akal.Pembaca perlu membiarkan diri dibawa Yohanes masuk ke dalam Injilnya. Seakan-akan Oom Hans kita ini berbisik, kalian tahu kan, Filipus dan Andreas bisa saja mengontak para relasimereka di Betsaida dan tempat-tempat lain yang dengan senang hati akan menyiapkan lima ribu nasi bungkus! Hubungi mereka cepat-cepat pasti beres deh! Kita makin diperkenalkan ke sisi-sisi manusiawi orang-orang yang diceritakan. Kita boleh jadi akan merasa rada kelabakan seperti Filipus. Baru begitu kita akan mulai melihat bahwa Filipus mungkin belum betul-betul memperhatikan kebutuhan orang banyak yang telah terjaring ke sana.Ia memang sudah bisa memikirkan sisi finansial pengurusan paroki tapi belum sigap menanggapi kebutuhan umat yang ada di situ. Oom Hans ini tidak menyindir Filipus atau siapa saja, ia mengajak kitamembaca kisahnya dengan humor dan melihat diri kita sendiri di mana.

BUNGKKUSAN MAKANAN – BINGKISAN KASIH
 

Pemecahan yang makin absurd diajukan oleh Andreas yang tentunya juga orang yang punya banyak relasi seperti Filipus. Andreas mendapati seorang anak kecil yang mempunyai lima roti dan dua ikan, tapi, tapi, tapi... Ia berpikir seperti Filipus juga. Oom Hans membiarkan pembaca menangkap maksud tulisannya dengan kreatif. Kita boleh bertanya siapa
anak kecil itu? Kok tiba-tiba dimunculkan. Dan apa yang dibawakannya? Lima roti dan dua ikan itu kiranya bukan bekal yang dibawanya.Terlalu banyak. Tentunya juga bukan barang dagangan. Lalu apa? Mari kita bayangkan, anak itu diutus oleh ibunya yang tinggal di dekat-dekat situ untuk menyampaikan bungkusan roti dan ikan bagi Andreas dan Filipus yang
pernah mampir ke rumahnya. Kita ingat Yesus beberapa waktu sebelumnya mengutus murid-muridnya dua berdua mengunjungi pelbagai tempat menyiapkan kedatangannya. Bungkusan makanan itu sekedar tanda masih ingat akan kunjungan mereka berdua yang tak membawa bekal makanan. Juga ungkapan terima kasih. Tentu Andreas rada kikuk. Apa yang mau dibuat
dengan roti dan ikan yang memang enak itu bagi orang sebanyak ini? Kita berhenti di sini dan masuk kembali ke dalam teks Yohanes.Yesus mengambil roti tadi. Yesus mengucap syukur – mengucap terima kasih kepada Yang Maha Kuasa. Begitu juga dilakukannya dengan ikannya. Lalu dibagi-bagikannya kepada semua orang di situ. Itulah mukjizatnya! Yesus mengubah tanda terima kasih yang dibawakan anak kecil tadi menjadi makanan bagi lima ribu orang dewasa. Dan masih sisa dua belas bakul penuh potongan roti yang dapat diberikan kepada siapa saja.

Ungkapan syukur kepada yang ada di surga itu telah mengubah bungkusan roti dan ikan tadi menjadi bingkisan kasih yang luar biasa besarnya bagi semua orang yang ada di situ. Perkara yang tadi kelihatan tak mungkin kini menjadi kenyataan berkat ketulusan bocah yang membawakannya, dan juga berkat syukur Yesus kepada Bapanya.Sebelum membagi-bagikan makanan, Yesus menyuruh orang-orang itu duduk. Yohanes mencatat, “...di tempat itu banyak rumput” (6:10). Orang-orang
itu ditampilkan Oom Hans sebagai domba-domba yang dibawa ke tempat yang banyak rumputnya oleh sang Gembala Baik. Terasa suasana tenteram yang di tempat orang-orang itu berada bersama dengan tokoh yang mereka dengarkan dan mereka ikuti ke mana saja ia pergi.
 
Salam hangat, A. Gianto

Friday, 17 July 2015

Minggu Biasa XVI B

Injil Minggu Biasa XVI tahun B ini. Mrk 6:30-34
 
SEJENAK KE TEMPAT SUNYI
 
 
Kedua belas murid yang diutus dua berdua ke pelbagai tempat untuk  menyiapkan kedatangan Yesus kini kembali berkumpul dengan dia. Injil  jelas-jelas menyebut mereka “rasul”, artinya orang yang diutus. Dalam  pengutusan itu mereka dibekali kuasa atas roh jahat sehingga orang-orang  yang mereka datangi dapat mulai mengenal siapa yang mengutus. Orang yang  luar biasa. Dan ia bakal datang sendiri ke tempat kami! Tak mengherankan  banyak yang tak sabar menunggu. Ada yang mengikuti para rasul yang  kembali menemui sang Guru. Orang-orang itu ingin segera melihat sendiri  siapa dia yang dikabarkan para utusannya. Itulah suasana yang melatari  Mrk 6:30-34 yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XVI tahun B ini. Para  pendengar di zaman ini boleh mencoba memasuki suasana batin itu dengan  ikut merasa-rasakannya.

KESADARANYANG BERTUMBUH

Terasa betapa besarnya semangat para utusan yang kembali tadi. Kiranya  mereka berhasil dan diterima di mana-mana. Mereka merasa bisa leluasa  berbicara mengenai siapa Yesus yang bakal datang ke tempat itu. Tidak  dirincikan apa yang mereka sampaikan. Tetapi boleh kita simpulkan dari  sebuah peristiwa lain yang dicatat dalam Mrk 8:27-30. Di Kaisarea  Filipi, dalam perjalanan berkeliling dari tempat ke tempat, Yesus  menanyai para murid apa kata orang mengenai siapa dia itu. Ada pelbagai  pendapat: Yohanes Pembaptis, Elia, atau seorang nabi. Begitulah  pengertian orang banyak sebelum mendengar pewartaan para rasul. Kemudian  Yesus pun menanyai murid-muridnya siapakahdia itu menurut mereka  sendiri. Mewakili para murid, dalam Mrk 8:29 Petrus menyatakan bahwa  Yesus adalah Mesias. Inilah keyakinan mereka. Dan tentunya keyakinan  inilah yang mereka sampaikan kepada orang banyak. Tetapi ada masalah. Bagaimana dengan larangan keras Yesus agar jangan memberitahukan tentang  dia kepada siapa pun pada akhir peristiwa itu (Mrk 8:20)?Memangi Yesus  tidak menyangkal kemesiasan yang diyakini para murid tadi. Yang tidak  dimauinya ialah mengobral sebutan Mesias begitu saja dengan akibat mudah  disangkut-pautkan dengan gerakan mesianisme politik waktu itu. Dari peristiwa ini dapat diperkirakan bahwa yang diberitakan para utusan tadi  ialah kemesiasan Yesus yang sejati. Itulah yang mereka sampaikan dalam  ujud ajakan agar orang berpikiran luas (“bertobat”) dan menjadi manusia  utuh (tidak dikuasai “setan” dan “penyakit”) seperti tertulis dalam Mrk  6:12-13. Dengan keyakinan ini, para rasul sendiri juga semakin menyadari siapa Yesus itu. Inilah kiranya yang sekarang dibicarakan para rasul di  hadapan sang Guru. Sementara itu orang banyak juga berdatangan mengerumuni para rasul yang  sedang berkumpul kembali dengan Yesus. Orang-orang pergi datang menemui  murid-murid dan guru mereka sehingga makan pun mereka tak sempat (Mrk  6:31). Catatan ringkas Markus itu menunjukkan betapa besarnya harapan  orang-orang itu. (Makin terasa bedanya dengan orang-orang yang
mempertanyakan wibawa Yesus dalam Mrk 3:20-30.). Di sana, di sebuah  rumah, Yesus kini dikerumuni orang banyak. Markus menambahkan bahwa  “makan pun mereka tidak dapat” karena tidak mau kehilangan kesempatan  mendekat kepadanya. Tapi di tempat seperti ini, ironinya, sanak dekat  Yesus sendiri menganggapnya “tidak waras lagi”, dan ahli-ahli Taurat mengatakan Yesus “kerasukan Beelzebub”, nama iblis yang amat ditakuti.  Tetapi kini
dalam Mrk 6:30-34 komentar-komentar sumbang seperti itu tidak  lagi terdengar. Orang-orang yang berdatangan mengikuti para rasul  menemui Yesus itu penuh antusiasme dan harapan.

MENDALAMI PENGALAMAN
 
 
Yesus mengajak para murid pergi ke tempat yang terpencil, Yunaninya  “erēmos”, untuk sejenak beristirahat. Mereka pun berkayuh ke seberang  danau. Dalam bahasa Yunani, kata yang ini dipakai untuk menyebut tempat  sunyi dan juga bagi padang gurun. Tetapi tempat sepi kali ini ialah  perahu, tempat mereka berada hanya dengan guru mereka. Yesus mengajak murid-murid untuk menyepi seperti dia sendiri dulu di  padang gurun. Dulu di padang gurun Yesus semakin menyadari pernyataan  dari surga bahwa ia anak terkasih dan kepadanya Allah berkenan (Mrk  1:11-12). Para rasul baru saja mengalami keberhasilan dalam berwarta dan  menyembuhkan orang dari kuasa roh jahat dengan kuasa yang dibekalkan  Yesus. Mereka perlu mengendapkan pengalaman ini. Bila tidak, mereka  nanti bisa jatuh dalam tindakan pengusiran setan dan penumpangan tangan  serta macam-macam talk show dan tidak lagi melihat inti pelayanan yang
sebenarnya. Mereka mulai mengalami bagaimana memakai bekal kuasa atas  roh jahat. Perkara yang tidak bisa dilakukan dengan asal saja. Begitulah  setapak demi setapak mereka  iikutsertakan dalam pelayanan Yesus kepada  orang-orang sezamannya. Di tangan orang yang keyakinannya kurang lurus  dan mendalam, kuasa seperti itu malah bisa disalahgunakan untuk menunjukkan kebesaran diri, bukan menyiapkan kedatangan sang Guru. lebih  parah lagi, yang mau memakainya secara asal-asalan bisa celaka.  Diceritakan dalam Kis 19:13-20 nasib ketujuh anak Skewa yang mau  mengusir setan atas nama Yesus. Tapi orang yang kerasukan di Efesus itu  malah menertawakan, lalu menubruk ketujuh dukun mogol itu dan menindih  mereka sambil menghajar sampai mereka babak belur dan lari  terbirit-birit telanjang.Kita tidak mendengar seluk beluk yang terjadi selama para rasul berlayar  bersama Yesus. Boleh jadi sang Guru memberi petunjuk-petunjuk. Boleh  jadi mereka bertanya mengenai macam-macam roh. Bisa jadi tak banyak yang  diperkatakan. Tetapi mereka akan teringat pengalaman pernah ketakutan di  perahu yang diombang-ambingkan angin ribut dan amukan ombak. Ketika itu  Yesus tetap bisa tidur enak. Mereka juga menyaksikan bagaimana Yesus  menghardik diam gelombang dan badai. Masih terngiang kata-kata Yesus:  “Mengapa kamu begitu takut?  engapa kamu tidak percaya?” (Mrk 4:40).  Kini, juga di perahu, dalam suasana tenang mereka akan mengingat kembali  kejadian tadi. Betapa jauhnya ketakutan tadi, betapa jauhnya  ketakpercayaan tadi. Kuasa hebat itu juga sudah bisa dibekalkan kepada  kami. Dan bisa kami pakai menolong orang. Dan tentunya ada banyak hal  lagi yang terkilas dalam benak mereka dan mereka endapkan di saat-saat  hening bersama sang Guru ini.
 

DINAMIKA DI TEPIDANAU__

Orang banyak yang tadi berkerumun sempat melihat Yesus dan  murid-muridnya naik perahu menjauh. Orang-orang itu tahu ke mana Yesus  dan para murid pergi dan mendahuluinya lewat jalan darat. Tentunya  perahu berhenti di tengah danau dan di situ para murid diajak sang Guru mendalami pengalaman batin. Karena itu orang-orang yang mengikuti lewat  jalan darat lebih dahulu sampai. Mereka menunggu Yesus dan  murid-muridnya. Ketika turun dari perahu dan melihat orang banyak sudah  di sana maka Yesus tergerak hatinya melihat mereka seperti domba yang  tidak ada gembalanya. Yesus pun mengajarkan banyak hal kepada mereka.  Tersirat kritik kenabian dari pihak Yesus. Para pemimpin masyarakat  Yahudi membiarkan orang banyak tak terurus.

Apa kiranya “banyak hal” yang disebut Markus diajarkan Yesus kepada  orang-orang itu (Mrk 6:34)? Injil Matius tidak menyebutkannya. Boleh  jadi Matius mengandaikan pembacanya sudah tahu. Tetapi dari Injil Lukas  dapat sedikit didengar apa yang dimaksud Markus dengan “banyak hal” itu.  Dalam Luk 9:11 disebutkan Yesus menerima orang banyak yang sudah  menantikan di luar tempat ia berada dan “berkata-kata kepada mereka  tentang Kerajaan Allah”. Dan kiranya banyak hal yang diajarkan kepada  orang-orang tadi ialah mengenai Kerajaan Allah.. Mereka seperti domba  tanpa gembala. Kini gembala yang mereka temukan ialah yang membawa  mereka ke dalam Kerajaan Allah. Dan hari itu banyaklah yang mereka  peroleh dari pengajaran dari Yesus. Mereka mendapat makanan batin. Dan  sebentar lagi mereka akan mendapat makanan berlimpah juga.Kumpulan orang tidak akan bergerak bila tidak digerakkan. Cukup bila ada  orang yang berinisiatif dan yang lain-lain akan ikut. Bisa dilihat dalam  tiap kerumunan. Dan biasanya terjadi bila ditargetkan ke satu hal.  Misalnya arena tontonan pemusik rock, pertokoan dan rumah yang dijarah  dalam amuk masa, atau seperti di sini, kelompok Yesus dan  murid-muridnya. Apa yang dapat kita simpulkan? Di antara orang yang  berduyun-duyun datang tadi pasti ada murid para rasul yang menyemangati  dan menggerakkan orang berjalan ke tepi lain danau mendahului Yesus dan  murid-muridnya. Para penggerak itu tidak disebutkan secara khusus.  Tetapi kehadiran mereka tak diragukan. Dan mereka itulah nanti yang akan  menghidupkan kelompok ini. Mereka inilah yang mendengar dan mencatat  “banyak hal” yang diajarkan Yesus.Bacaan dari Mrk 6:30-34 ini boleh jadi membuat kita ingin menjadi  tokoh-tokoh yang ada di sana. Tapi akan kurang realistis bila kita  tempatkan diri kita sebagai Yesus atau para rasul. Sebaiknya mereka ini  kita amat-amatikita dengarkan, kita coba kenali lebih dalam.Dan kitaakan belajar banyak dari mereka. Ada dua peran lain yang dapat diikuti, yakni  orang banyak yang antusias dan penuh harapan dan para penggerak mereka  yang tak disebut, tapi hadir dan bekerja di antara mereka. Banyak yang  dapat terjadi. Mereka saling menguatkan. Mengusahakan perbaikan. Membaca  keadaan dan menghadapi dengan kekuatan harapan dan kepercayaan. Dan
masih banyak lagi yang bakal muncul dalam kehidupan nyata. Dan semuanya  ini boleh terjadi di sana, di tempat ia sudah ditunggu.

Salam hangat,A. Gianto
 

Monday, 6 July 2015

Minggu biasa XV B

InjMgBiasa XV-B 12 Juli 2015 (Mrk 6:7-13)
 
TULUS MENGHARAPKAN KEDATANGANNYA
 
Rekan-rekan  yang budiman!
Bagi kedua belas murid, seperti diutarakan dalam Mrk 6:7-13 (Injil Minggu Biasa XV tahun B), diutus berarti siap berangkat mewartakan tobat, mengusir setan, menyembuhkan orang sakit. Juga para utusan diminta agar berani pergi tanpa membawa kelengkapan. Hanya yang paling dibutuhkan boleh dipakai: tongkat dan alas kaki saja. Mereka juga tak boleh takut tidak diterima dengan baik. Itukah syarat-syarat agar dapat memakai kuasa yang dipercayakan Yesus kepada mereka? Begitulah perasaan kedua belas murid pada waktu itu. Ay. 12-13 memberi kesan bahwa mereka sanggup menjalankan pengutusan ini dengan gairah.
Bagaimana dengan kita para pendengar dan pembaca Injil pada zaman ini? Apakah kita diharapkan menjadi seperti mereka? Marilah kita dalami terlebih dahulu kisah pengutusan ini.
 
BERGANTI  PENDEKATAN
 
Yesus baru saja mengunjungi Nazaret. Di tempat asalnya ia tidak diterima dengan baik justru oleh orang-orang yang mengenalnya. Seperti dicatat Markus, kejadian ini membuatnya heran (Mrk 6:6). Maka ia berganti pendekatan. Ia tidak langsung datang ke tempat tertentu, melainkan mengirim berita terlebih dulu. Diutusnyalah orang-orang yang paling dekat untuk mengabarkan dan sekadar menunjukkan perbuatan-perbuatan kuasanya. Baru setelah orang-orang di tempat yang bakal dikunjungi siap, ia sendiri akan datang. Demikianlah Yesus berkeliling dan mengajar dari “desa ke desa”, yaitu pemukiman-pemukiman yang berada di luar tembok kota . Tak ada gagasan tempat yang tersendiri atau terpencil seperti kata “dusun” dalam bahasa kita. Malah mereka yang berdiam di situ sering mondar-mandir dari tempat ke tempat untuk urusan pekerjaan. Pasar dan pusat kegiatan sehari-hari pun berpindah-pindah dari tempat yang satu ke tempat yang lain menurut jenis kegiatan dan hari. Ke tempat-tempat itulah ia mengutus kedua belas muridnya dua berdua. Mereka menyiapkan orang-orang itu untuk menerima kedatangan Yesus sendiri nanti. Jangan sampai terulang yang terjadi di Nazaret. Di sana orang-orang belum siap menerima Yesus
Siapakah kedua belas murid yang diutus mendahuluinya itu? Sejak tampil di muka umum, Yesus mendapatkan pengikut. Menurut Mrk 1:16-20, ia memanggil murid-murid yang pertama, yaitu Simon dan Andreas yang sedang menebarkan jala di danau. Mereka akan dijadikan “penjala manusia” – maksudnya, mereka akan ikut membawa orang mendekat kepada Yesus sendiri. Juga Yakobus dan Yohanes termasuk kelompok pertama ini. Kemudian ia juga mengajak Lewi. Para murid ini berjalan bersama guru mereka dari tempat ke tempat mendengarkan pelbagai pengajarannya, menyaksikan macam-macam penyembuhan dan perbuatan kuasanya, melihat reaksi orang banyak. Semuanya dengan ringkas dicatat dalam Mrk 3:20-6:6. Baru kemudian, seperti dijelaskan dalam Mrk 3:13-19, dua belas dari antara para murid tadi ditetapkan sebagai “rasul”, maksudnya, utusan dengan tiga tugas yang disebut jelas di situ, yakni (1) menyertai Yesus, (2) memberitakan Injil, dan (3) mengusir setan dengan kuasa yang diberikan Yesus. Mereka itulah yang kini diutus dua berdua. Ada kebiasaan pada zaman itu, berita baru bisa dipercaya bila dikuatkan paling sedikit dua orang saksi.
 
MENYIAPKAN KEDATANGANNYA
 
Kedua belas murid tadi diutus dua berdua dan dibekali kuasa atas roh-roh jahat. Mereka menyiapkan kedatangan Yesus ke tempat mereka diutus dengan membersihkan orang-orang itu dari kekuatan yang bisa jadi akan menentang kedatangannya. Mengajak mereka berpandangan luas, bertobat, kata Injil, dan memerdekakan batin mereka dari kungkungan ketidakpercayaan. Juga mengurangi penderitaan.
Salah satu pesan Yesus ialah agar mereka tinggal di tempat yang menerima mereka “sampai kamu berangkat dari tempat itu”. Bukan berarti mereka dinasihati agar berlama-lama di tempat yang menerima mereka. Mereka hanya perlu bertamu seperlunya dan menjelaskan apa yang bisa mereka peroleh nanti dari Yesus sendiri bila ia datang ke tempat mereka. Setelah orang-orang di situ paham, para utusan akan kembali menemui Yesus dan menceritakan kepadanya mengenai orang-orang yang telah mereka temui. Dapat kita simpulkan demikian dari Mrk 6:30 “Kemudian rasul-rasul itu kembali berkumpul dengan Yesus dan memberitahukan kepadanya semua yang mereka kerjakan dan ajarkan.”
Bagaimana dengan tempat yang tidak menyambut baik utusan tadi? Mereka disuruh meninggalkan tempat itu dan “mengebaskan debu dari kaki mereka sebagai peringatan”. Ini tindakan mengancam dan mengutuk? Menyatakan diri tidak mau dinodai oleh sikap menolak dari tempat itu? Bukan itulah maksudnya. Apa arti mengebaskan debu dari kaki? Martilah kita baca dengan saksama. Para utusan yang ditolak tak usah merasa perlu melaporkan bahwa pernah datang ke tempat tadi. Tak ada bukti dan petunjuk bahwa kami pernah ada di sana ! Lho, debu saja tak ada di kaki kami! Anggap saja penolakan tak pernah terjadi. Tak usah diingat, apalagi ditunjukkan bahwa para utusan pernah ke situ. Kaki mereka tak kena debu tempat itu!| Dengan demikian masih ada kesempatan lain bagi tempat itu. Boleh jadi dalam keadaan lain sikap mereka berubah. Tempat itu tak usah dicoret dari daftar tempat yang bakal menerima Yesus sendiri. Kiranya tafsiran ini lebih cocok dengan cara Yesus melayani orang-orang. Juga lebih sesuai dengan sikap pastoral yang memerdekakan, bukan yang mengucilkan.
Bepergian tanpa membawa bekal makanan, uang, dan pakaian menunjukkan kepercayaan besar pada penyelenggaraan ilahi? Semacam askese rasuli? Tak usah dibuat tafsiran yang serba saleh tetapi tak masuk akal baik bagi orang dulu maupun sekarang. Larangan membawa bekal tadi itu sebenarnya nasihat agar bersikap optimis. Toh urusannya dapat dikerjakan dalam waktu pendek. Mereka tak perlu bermalam – maka tak usah memikirkan membawa pakaian ganti. Tak perlu berbekal makanan, tak perlu membeli makan di jalan. Nanti di tempat tujuan mereka akan diterima baik dan disuguh makanan. Dan toh kalau tidak diterima, mereka sebaiknya segera meninggalkan tempat itu, dan pergi ke tempat lain yang lebih mau menerima.
Kedua belas murid diminta memusatkan perhatian pada pengutusan mereka. Yang mereka bawa bagi orang yang mereka datangi bukanlah diri dan kelengkapan mereka sendiri, melainkan kuasa yang mereka terima dari guru mereka untuk menjauhkan “roh-roh jahat”, yakni kekuatan yang merendahkan manusia dalam arti apapun. Kuasa itu kini bisa semakin dinikmati orang banyak. Inilah dinamika Kerajaan Allah dan warta pertobatannya. Bagi mereka yang merasa menjadi utusan, keprihatinan pada penderitaan dan upaya perbaikan kiranya menjadi pokok utama.
 
PEMBACA ZAMAN  KINI
 
Mengapa bertobat dibahasakan kembali menjadi berganti haluan dan melihat jauh ke depan? Keprihatinan utama orang waktu itu sifatnya eskatologis; ada keprihatinan bahwa tak lama lagi dunia akan berakhir dan saat itu mulailah zaman hidup baru yang dipimpin sang Terurapi. Agar dapat ikut serta, perlu “bertobat” terlebih dahulu, maksudnya, berupaya mengarahkan diri ke kehidupan baru tadi dengan meninggalkan cara-cara lama. Itulah keprihatinan orang pada zaman Yesus. Dan ia menanggapinya dengan menunjukkan arah yang melegakan. Diwartakannya bahwa zaman yang baru itu ialah hidup dalam Kerajaan Tuhan yang sebenarnya sudah hadir. Bertobat ialah mengarahkan diri ke sana dan memasukinya. Jadi, dalam bahasa sekarang, yang dimaksud dengan bertobat ialah berani berwawasan luas dan memberi ruang gerak pada yang ilahi dalam kehidupan ini. Tetapi juga tidak begitu saja mencampurbaurkan urusan Allah dengan urusan dunia. Yang dijalankan dalam hidup sehari-hari ada tempatnya, ada aturan-aturannya sendiri. Juga ruang khusus bagi kepercayaan ada tempatnya. Membawahkan semua begitu saja pada rumus kepercayaan malah akan memiskinkan iman dan mengurangi ketepercayaan agama dan para penganutnya sendiri.
Bagi kebanyakan pembaca pertama tulisan Markus, para rasul yang dua belas itu sudah menjadi bagian dari ingatan turun-temurun. Boleh dikatakan, tidak ada lagi yang pernah melihat orang-orang itu sendiri. Hanya para penerus merekalah yang dikenal pembaca dulu. Dalam hal ini keadaan kita tidak banyak berbeda dengan pembaca awal. Dan memang Injil ditulis bagi pembaca seperti itu, juga bagi kita sekarang. Pembaca dulu, dan kita sekarang, akan membayangkan diri sebagai orang di tempat yang dikunjungi para utusan tadi – bukan sebagai para utusan sendiri. Mereka, juga kita, dibantu agar semakin siap menerima Yesus yang bakal datang sendiri. Seperti kita, para pendengar awal ini sebenarnya termasuk orang-orang yang sudah percaya. Bukan orang yang menolak, bukan orang yang membuat Yesus heran seperti di Nazaret dulu. Tetapi orang yang percaya pun masih merasa perlu meluaskan pandangan, atau dalam cara berbicara Injil, “bertobat”. Orang yang percaya juga tetap mengharapkan macam-macam perbaikan dalam masyarakat. Tekanan “roh jahat dan penyakit” masih dirasakan kuat dan orang butuh bantuan dari atas untuk melepaskan diri dari pengaruh yang tak dapat diatasi sendiri. Begitulah kemanusiaan akan semakin utuh. Itulah kemanusiaan yang diwartakan para utusan dan ditunjukkan oleh Yesus sendiri nanti.

Salam hangat,
A. Gianto
 

Wednesday, 1 July 2015

Minggu Biasa XIV B

Injil Minggu Biasa XIVB 5 Juli 2015 (Mrk 6:1-6)
 
HERAN MEREKA TIDAK PERCAYA
 
Dalam Mrk 6:1-6, yang dibacakan pada hari Minggu Biasa XIV tahun B, diceritakan bahwa di Nazaret, di tempat asalnya sendiri, Yesus “tidak dapat mengadakan satu mukjizat pun”. Amat berbeda dengan bagian-bagian sebelumnya yang mengisahkan bagaimana ia meredakan angin ribut, mengusir banyak roh jahat dari orang Gerasa, menyembuhkan seorang perempuan, dan menghidupkan kembali anak Yairus. Di Nazaret pengajarannya memang dikagumi dan kabar mengenai mukjizat-mukjizatnya jadi bahan pembicaraan. Tetapi orang-orang itu tidak bisa menerima bahwa dia itu cuma salah seorang dari antara mereka sendiri. Mereka sudah mengenal latar belakang pekerjaannya dan keluarganya. Tak ada yang baru! Dan mereka “tersandung olehnya” (terjemahan LAI: “menolak dia”), demikian catat Markus.
 
SIAPAKAH DIA ITU?
 
Kemarin kami berempat makan angin di taman Biblicum di sore yang gerah sambil berbincang-bincang mengenai kisah Markus tadi.
GUS: Orang-orang di Nazaret menyebut Yesus “tukang kayu, anak Maria”. Apa benar, seperti dikatakan beberapa penafsir, menyebut orang hanya dengan nama ibunya zaman itu sama dengan melecehkan?
LEO: Betul. Jadi kurang enak di telinga pendengar Inji waktu itu. Tapi begiitulah yang diperkatakan orang-orang di sana.
GUS: Tapi ada naskah tua Injil Markus yang berbunyi “Bukankah dia ini ANAK tukang kayu DAN Maria?
LEO: Maksudnya Papirus 45 dan beberapa naskah penting lain kan? Paham, di kalangan tertentu, nada merendahkan di atas dirasa keterlaluan. Maka diubah. Itulah yang terjadi dengan naskah-naskah itu.
GUS: Jadi seperti Mat 13:55. Di situ terbaca “Bukankah dia ini anak Yusuf? Bukankah ibunya bernama Maria?” Malah menurut Luk 4:22 orang-orang itu berkata, “Bukankah ia ini anak Yusuf?” Soal tadi dihilangkan.
LEO: Mrk 6:3 itu berdasarkan kesaksian orang-orang yang ingat betul peristiwanya. Soal lain yang berhubungan dengan itu ialah “tukang kayu”, aslinya “tektōn”. Kata ini sebetulnya tidak selalu menunjuk pada tukang mebel dan pengrajin kecil, bisa juga maksudnya “ahli teknik perkayuan” atau bahkan arsitek bangunan kayu. Eh, katanya Yesuit punya lembaga pendidikan industri kayu dengan teknologi dan manajemen canggih di Semarang.
GUS: [Heran kok Leo tahu kiat Yesuit.] Bila begitu “tukang kayu, anak Maria” tak usah dipahami sebagai ungkapan yang menunjukkan Yesus itu dari kalangan sederhana?
LEO: Ehm, itu urusan kalian. Tapi “tektōn” tidak menunjukkan status sosial sederhana. Lagipula masalahnya bukan status sosial. Kritikan mereka malah logikanya bisa begini: lha kan sudah punya kedudukan mapan – ahli bangunan kayu – kok sekarang jadi guru keliling, memang bagus, tapi...! Dalam hati kecil mereka ingin agar Yesus memenuhi angan-angan mereka sendiri, yakni tokoh yang memperjuangkan ideal umat Yahudi dulu. Intinya, mereka mau agar Yesus yang mereka kenal itu kini tampil sebagai Mesias menurut bayangan dan harapan politik orang waktu itu. Tapi Yesus tidak mengorbankan pengutusannya demi memuaskan angan-angan mereka. Karena itu mereka mulai tak menyukainya dan mau mendiskreditkannya!
GUS: Jadi orang-orang Nazaret kesandung dan menolak Yesus karena ia tak mau tampil sebagai Mesias politik?
LEO: Berkali-kali nanti Yesus menghindar agar tidak dianggap Mesias seperti itu. Bahkan murid-murid terdekatnya sendiri pun sering berpikir dia itu akan membangun kembali masa lampau negeri mereka.
NANDI: [Tiba-tiba menyela.] Menurut Luk 4:16-22, di rumah ibadat di Nazaret tadi Yesus mewartakan, pada hari itu terpenuhilah nubuat Yesaya (Yes 61:1-2 dan 58:6), yakni bahwa Roh Tuhan turun ke atas dirinya dan mengurapinya – menjadi Mesias yang menyampaikan Kabar Baik bagi kaum miskin. Ia menyadari dirinya diutus untuk melepaskan orang tawanan, memberi penglihatan kepada orang buta, dan membebaskan kaum tertindas, dan mewartakan datangnya tahun rahmat dari Tuhan. Bukan untuk jadi pemimpin gerakan Mesianik.
GUS: Tapi orang-orang yang takjub akan uraiannya itu akhirnya juga menolaknya
NANDI: Malah lebih seram lagi. Lukas menceritakan, mereka mau memaksanya bermukjizat dan mempertontonkan kuasanya sehingga bisa diikuti banyak orang. Tapi Yesus tetap tak mau. Mereka marah dan malah mau membantingnya ke jurang agar ia membuat mukjizat bagi diri sendiri tak mati dihempas ke jurang. Syukur ia berhasil melepaskan diri dari masa yang lupa daratan itu.
ANGIE: Benar, Yesus tidak mau dijadikan pemimpin gerakan yang punya ilmu gaib. Itu bakal mengaburkan yang dibawakannya dari atas sana.
 
MUKJIZAT...APA SYARATNYA?
 
Kami berhenti sebentar, ada yang pergi cari Fanta dingin penolak dahaga. Ada yang kirim SMS. Ada yang ambil semangka. Saya sendiri mulai berpikir, orang-orang Nazaret waktu itu mulai melihat tindakan luar biasa yang dilakukan Yesus bukan sebagai tanda kebenaran wartanya, melainkan sebagai ilmu dan kekuatan yang semestinya dimiliki pemimpin yang mereka idam-idamkan. Jadi terbalik. Mereka beranggapan, “Nah kita sudah menganut jalannya, maka ia pun akan membela dengan kekuatan luar biasa di hadapan lawan-lawan kita – kekuatan militer Romawi dan kelompok-kelompok lain. Kita akan punya Mesias yang akan memukul mundur mereka.” Maka nanti ada yang menginginkan kedudukan di kanan kirinya. Tapi itu bukan ke-Mesias-an yang dihayatiya.
LEO: Yesus tidak dapat mengadakan satu mukjizat pun di Nazaret, ia hanya dapat menyembuhkan beberapa orang sakit dengan meletakkan tangan di atas mereka.
GUS: Perkara tidak bisa membuat mukjizat ini retorika pencerita. Kalau mau Yesus mesti bisa!
LEO: Bukan retorika! Yesus sungguh tidak bisa, dengan atau tanpa memaui. Ia sendiri heran. Gus, yang kita sebut mukjizat itu kan muncul dari respons iman terhadap kehadirannya. Kalau ada, dahsyat luar biasa dayanya! Terjadi pada orang yang mempercayainya secara tulus. Percaya pada yang dikerjakan dan dikatakan Yesus mengenai dirinya sendiri. Baru dengan demikian terjadi “dynamis” (=mukjizat) yang melampaui ukuran alam dan pikiran.
GUS: Kok penjelasannya tinggi-tinggi gitu!
LEO: Ketika di perahu bersama para murid yang ketakutan badai itu, Yesus kan mengatakan mengapa kalian tidak percaya – artinya kenapa kalian tidak betul-betul memegang yang sudah kalian temukan.
GUS: [Mulai paham.] Ah, jadi seperti perempuan yang menyentuh ujung jubahnya. Kepercayaannya membuatnya utuh kembali. Itu mukjizatnya, itu “dynamis” yang keluar dari diri Yesus!.
Yesus mengatakan, “Nak kepercayaanmu sudah menyelamatkanmu”. Saya lihat Leo setuju, juga Angie dan Nandi mengangguk-angguk. Tak sering mereka bertiga akur dalam mengatakan perkara-perkara, tapi dalam hal ini mereka sama.
 
WARTA BAGI ORANG SEKARANG
 
NANDI: Yesus memakai pepatah, “nabi dihormati di mana-mana kecuali di tempat asalnya”. Luk 4:23 malah menyebut, orang-orang di Nazaret menghendaki agar Yesus juga mengerjakan mukjizat seperti yang telah dilakukannya di Kapernaum. Mereka minta bukti mengenai kebenaran berita tentang dirinya.
LEO: Orang-orang itu minta bukti. Tapi yang ingin mereka mengerti bukan berita yang benar mengenai dirinya. Orang yang sungguh mengenalnya akan mengatakan bahwa kekuatannya terletak pada kabar yang diumumkannya, yakni Kerajaan Tuhan sudah datang. Karena itu orang diajak mengarahkan diri ke sana, lebih lebar daripada pandangan mereka sendiri.
NANDI: Benar, ada ajakan agar kita mengikuti cakrawala baru, yakni kehadiran ilahi di dunia, di dalam sesama, atau kayak Luk 4:16-19 tadi, dalam sesama yang kini masih terbelenggu kegelapan dan tak bisa bergerak – mereka itulah yang butuh diperhatikan sehingga mereka dapat ikut menerima sisi-sisi ilahi dalam hidup mereka.
GUS: Jadi buat orang sekarang yang juga sudah menjalankan agama tetap masih berlaku ajakan meluangkan batin demi kehadiran ilahi tadi?
Orang-orang Nazaret itu kehilangan kesempatan melihat siapa sebenarnya Yesus karena memenjarakan diri dengan kategori-kategori yang itu-itu juga: mereka merasa sudah tahu betul siapa dia, sudah tahu Kristologi komplit, dan juga mereka bersikeras bahwa tugasnya ialah membangun kembali kejayaan umat di mata orang lain. Tapi justru kedua anggapan itu menyesatkan. Mereka gagal melihat siapa sebenarnya Yesus dan apa yang dibawakannya. Mereka seperti kelaparan dalam lumbung karena tidak mengenali makanan yang tersedia. Bagaimanapun juga, kehadiran Yesus tidak sia-sia. Ia tersedia bagi orang luar. Seperti perumpamaan para undangan yang menolak datang, maka kini perjamuan dibuka bagi siapa saja. Dan kita termasuk yang mendapat rezeki itu.
Yesus mengembalikan manusia pada martabatnya yang sejati. Bukan manusia yang sakit, yang tak lagi memiliki daya hidup, yang diombang-ambingkan kekuatan-kekuatan gelap, yang kehilangan arah. Ia membawa kembali mereka menjadi manusia yang utuh. Itulah mukjizatnya. Dan itulah pengutusan dari atas sana: mendekatkan sosok manusia sehingga makin cocok dengan yang diinginkan Pencipta. Dan kita sekarang boleh ambil bagian dalam pengutusannya itu. Kita bisa ikut memungkinkan “dynamis”-nya – mukjizatnya yang dapat dinikmati orang banyak!
_____
CATATAN TAMBAHAN: Orang-orang di Nazaret mengatakan bahwa mereka mengenal saudara-saudara Yesus dan menyebut nama-nama mereka: Yakobus, Yoses, Yudas, dan Simon (Mrk 6:3, bdk. Mat 13:55-56). Bahkan saudara-saudara perempuannya mereka kenal. Pengertian “saudara” di sini kerap diperdebatkan. Memang dalam Alkitab cakupan kata itu bukan hanya saudara sekandung, melainkan juga kerabat dekat, seperti sepupu dan misan. Jadi nama-nama yang disebut tadi tak bisa mutlak diartikan saudara sekandung Yesus, tetapi di lain tidak juga bisa diartikan bahwa tak seorang pun sekandung. Bagaimana menjernihkan hal ini?
Masalah ini sebetulnya belum ada pada masa Injil ditulis. Baru timbul beberapa abad kemudian setelah keperawanan Maria semakin dirumuskan. Baik diketahui bahwa pengakuan iman yang berkenaan dengan itu terdapat dalam Syahadat Para Rasul, yakni “aku percaya...akan Yesus Kristus yang dikandung dari Roh Kudus dan dilahirkan oleh perawan Maria.” Lalu apakah Maria tetap perawan sampai melahirkan Yesus, tapi setelah itu? Pertanyaan seperti ini terjawab dalam penegasan turun temurun dalam Gereja mengenai Maria “tetap perawan”. Kompendium (bentuk ringkas yang terbit tahun 2005) Katekismus Gereja Katolik no. 99 menjelaskannya demikian: Dalam arti mana Maria adalah “tetap Perawan”? Dalam arti ia “tetap Perawan selama mengandung Anaknya, Perawan dalam melahirkan, Perawan sewaktu mengandung, Perawan ketika jadi ibu, Perawan selama-lamanya” (St. Agustinus). Maka dari itu, apabila Injil berbicara mengenai “saudara lelaki dan perempuan Yesus” yang dimaksud adalah kerabat dekat Yesus, menurut pemakaian ungkapan itu dalam Alkitab. Demikian katekismus.
Penjelasan itu bukan rumus syahadat sendiri. Katekismus menunjukkan khazanah pemahaman Gereja dan mengajarkannya kepada generasi selanjutnya. Judul katekismus itu juga menegaskan dari dan bagi siapa penjelasan itu diberikan: Gereja Katolik.

Salam hangat,
A. Gianto

Sent from my Sony Xperia™ smartphone

Wednesday, 17 June 2015

HR. Tubuh dan Darah Kristus

Mg 7 Jun 2015 - Tubuh dan Darah Kristus
(Mrk 14:12-16)
 
DALAM KESATUAN BATIN
Rekan-rekan  yang baik!
Peristiwa yang dikisahkan dalam Injil hari ini, yakni perjamuan malam Yesus bersama para muridnya, dikaitkan Markus dengan Perjamuan Paskah Yahudi (Mrk 14:12-16). Begitu pula dalam Injil Matius dan Lukas (Mat 26:2. 17-19; Luk 22:7-14) yang memang ditulis atas dasar bahan Markus. Yohanes lain. Baginya, peristiwa itu bukan Perjamuan Paskah, melainkan perjamuan perpisahan Yesus dengan murid-muridnya. Pada hari Paskah Yahudi sendiri, menurut Yohanes, Yesus sudah meninggal (bdk. Yoh 18:28; 19:14) dan justru wafatnya diartikannya sebagai korban domba Paskah.
 
KAPAN TERJADI?
 
Di kalangan Yahudi zaman itu, hari dihitung mulai dari terbenamnya matahari hingga magrib berikutnya. Jadi satu hari terdiri dari sore dan malam hari serta siang hari berikutnya. Menjelang Paskah Yahudi, masih pada hari keenam (Jumat) domba kurban disembelih, tetapi baru dipersembahkan dalam upacara pada sore harinya yang sudah terhitung hari berikutnya, yakni malam Paskah Yahudi. Injil Yohanes mengartikan wafat Yesus di kayu salib sebagai penyembelihan domba yang terjadi pada hari Jumat, sedangkan sore harinya, yakni malam Paskah orang Yahudi, Yesus dikuburkan dan tinggal di sana sampai bangkit pada hari pertama minggu berikutnya. Berbeda dengan Yohanes, Injil-Injil Sinoptik (yakni Markus, Matius, dan Lukas) menampilkan penyaliban Yesus setelah Paskah Yahudi yang dirayakan Yesus bersama para muridnya.
Bagaimanapun juga, baik Injil Sinoptik maupun Injil Yohanes sama-sama menampilkan Yesus sebagai kurban Paskah. Tetapi kapan peristiwa ini terjadi, dan dalam bentuk apa, ada perbedaan. Injil Yohanes memakai cara penggambaran yang “mengurungkan” serta “mengubah” perjalanan waktu, seolah-olah semuanya kembali ke keadaan sebelum penciptaan. Bagi Yohanes, Paskah Yahudi dibarengi dengan kegelapan dalam kubur, dalam kematian. Ini keadaan sebelum sang Pencipta menyabdakan terang. Paskah Yahudi tampil sebagai yang tak berbentuk, keadaan kalang kabut (bdk. Kej 1:2). Perlu ada pengaturan dan terang. Dan Yang Maha Kuasa sendiri memberikannya, yakni Paskah yang baru, yaitu kebangkitan Yesus. Dia itu terang yang disabdakan bagi jagat. Dan terang itu kini berada bersama Yang Maha Kuasa, yang disebutnya Bapa. Dari sana ia akan mengirim Rohnya kepada para muridnya. Ini juga telah diutarakannya dalam pesan-pesan terakhirnya pada perjamuan malam sebelum ia ditangkap.
Injil Sinoptik memakai cara penggambaran yang mengarah ke depan dan mengantisipasi peristiwa wafat Yesus pada kayu salib dengan Perjamuan Paskah. Di sini Yesus menegaskan pemberian dirinya – tubuh dan darahnya – sebagai jaminan Perjanjian keselamatan yang baru. Barangsiapa bersatu dengannya akan terikut di dalam keselamatan. Roti yang disambut dan anggur yang diminum menandai kesatuan dengan tubuh dan darah Yesus – dengan dirinya sepenuh-penuhnya. Injil Sinoptik juga memakai Perjamuan Paskah, yakni peringatan pembebasan umat Perjanjian Lama dari perbudakan di Mesir, untuk mengartikan kurban diri Yesus di salib nanti. Dia itu kurban yang membebaskan kemanusiaan dari perbudakan dosa. Dengan demikian, Injil Sinoptik juga menampilkan perjamuan bersama para murid tadi sebagai perayaan penebusan.
 
BERSAMA ORANG BANYAK
 
Meskipun agak rumit, uraian di atas menunjukkan dinamika yang berbeda-beda dalam pemahaman para murid tentang Yesus sang Mesias yang telah mereka ikuti dari tempat ke tempat dan kini tetap menyertai mereka walaupun dengan cara yang lain. Dan perjamuan “berakah” (kata Ibrani yang dekat artinya dengan kata Indonesia asal Arab “berkat-an”) yang menjadi ibadat mereka sebagai orang Yahudi menjadi perayaan bersama untuk semakin menyadari kenyataan batin ini. Seperti halnya perjamuan “berakah” untuk memperingati dan menghadirkan kembali peristiwa keluaran dari Mesir, perjamuan ekaristi dijalankan untuk mengenang kembali kebersamaan batin dengan Yesus yang mengurbankan diri bagi keselamatan orang banyak. Patut dicatat, gagasan “eukharistia” ialah padanan dalam bahasa Yunani bagi “berakah” Ibrani. Dengan latar pemahaman di atas marilah kita petik warta Injil hari ini.
Bayangan kita mengenai perjamuan terakhir boleh jadi amat dipengaruhi lukisan gaya Leonardo da Vinci: di sebuah ruang khusus Yesus memimpin perjamuan yang dihadiri hanya oleh murid-murid paling dekat. Dan kita akan mengamati siapa-siapa dan bagaimana sikap mereka dan bagaimana sikap Yesus. Tafsiran artistik ini memang mengungkapkan kekhususan kesempatan itu. Saat itulah lahir kelompok kecil yang akan menjadi komunitas penerus karya dan kehadiran Yesus di dunia ini. Mereka akan berbagi ingatan akan siapa Yesus yang mereka kenal dari dekat, yang mereka kagumi, yang mereka ikuti. Walaupun demikian, gambaran itu tidak amat cocok dengan yang kiranya terjadi dulu. Ruang tempat Yesus dan murid-muridnya makan pasti dipenuhi orang-orang lain juga. Yesus ialah tokoh yang telah menggemparkan seluruh wilayah utara – Galilea – dan tempat-tempat di sepanjang perjalanannya ke Yerusalem. Ia disambut dengan sorak sorai ketika memasuki kota itu, bagaikan seorang raja. Yerusalem waktu itu juga ramai banyak didatangi para peziarah yang akan beribadat tahunan di kota suci itu. Ia bahkan disangka akan menggerakkan masa membangun kerajaan baru. Itulah yang dituduhkan oleh para pemimpin Yahudi sendiri di hadapan penguasa Romawi.
Pemilihan tempat perjamuan juga dikisahkan dalam Mrk 14:12-16 dengan cara yang unik. Seakan-akan semuanya sudah diatur. Dua orang murid disuruhnya memasuki kota dan di sana mereka akan berjumpa dengan seorang laki-laki yang membawa kendi air. Mereka disuruh mengikutinya. Dan orang itu akan menunjukkan ruang besar yang sudah diperlengkapi dan siap pakai. Pembaca zaman dulu tahu bahwa seorang lelaki yang membawa kendi air bukan pemandangan yang biasa, bahkan aneh. Biasanya air dibawa dengan kerbat dari kulit. Ini cara Markus menarik perhatian pembacanya. Juga untuk menunjukkan bahwa tempat perjamuan yang direncanakan ini mudah diketahui orang, bukan hal yang diam-diam dipilih bagi kelompok sendiri. Siapa saja akan bisa melihat orang yang membawa kendi air – sebuah pemandangan yang mencolok – dan mengetahui tempat yang ditunjukkan orang itu kepada kedua murid tadi.
 
ROTI DAN ANGGUR
 
Yesus sudah jadi tokoh tenar waktu itu. Ke mana saja ia pergi, ia selalu diiringi orang banyak. Juga tempat ia berjamu dengan para muridnya pasti didatangi orang banyak pula. Mereka ingin melihat tokoh ini bersama kelompok murid yang kondang itu. Boleh kita hubung-hubungkan keadaan ini dengan peristiwa Yesus memberi makan orang banyak yang diceritakan sampai enam kali dalam Injil-Injil. Ia berbagi rezeki yang diperoleh dari Bapanya dengan orang banyak yang mengikutinya dan menaruh kepercayaan serta harapan kepadanya. Ia berusaha memurnikan harapan serta angan-angan mereka. Ia datang bukan sebagai Mesias yang akan membangun kembali kejayaan dulu atau menumbangkan lembaga penindas. Ia datang untuk memperkenalkan Allah yang bisa didekati. Juga kali ini, di Yerusalem, di kota-Nya yang suci itu, Yesus memperkenalkan-Nya sebagai Allah yang bisa dijangkau orang banyak. Bukan lewat kurban dan upacara, tetapi lewat diri Yesus, lewat dia yang berani dengan tulus memanggil-Nya sebagai “Bapa”. Tentu peristiwa ini mengagetkan. Dan ini terjadi bukan di Bait Allah, melainkan di sebuah ruang tempat ia mengadakan perjamuan dengan para muridnya.
Pada kesempatan itulah Yesus membuat roti dan anggur perjamuan menjadi tanda pemberian diri seutuhnya kepada mereka yang ikut makan dan minum. Kata-kata “inilah tubuhku” (Mrk 14:22) dan “inilah darahku” (24) menjadi ajakan bagi mereka yang ikut serta dalam perjamuan itu untuk menyadari bahwa sebenarnya mereka bersatu dengan dia yang kini menjadi tanda keselamatan bagi orang banyak. Injil merumuskannya sebagai darah perjanjian, yakni yang dulu secara ritual diadakan dalam upacara kurban sembelihan untuk meresmikan Perjanjian.
Bagaimana kita memahami perayaan yang dikisahkan Injil itu bagi orang sekarang? Yang terjadi pada kesempatan itu erat hubungannya dengan inti perayaan ekaristi seperti kita kenal kini. Dalam peristiwa itu kumpulan orang di sekitar Yesus menyadari adanya dua kenyataan. Pertama, kurban Yesus, dan yang kedua ialah kemungkinan berbagi kehidupan dengannya. Kepercayaan inilah yang kemudian berkembang dalam ujud perayaan ibadat ekaristi mengenang kurban tadi. Dan ingatan ini diteruskan turun temurun hingga zaman ini. Tak ada satu hari pun lewat tanpa kenangan tadi. Dalam hal inilah peristiwa perjamuan terakhir tadi masih terus berlangsung. Juga kesatuan dengan dia yang mengorbankan diri demi orang banyak menjadi semakin nyata.
 
DARI BACAAN  KEDUA (Ibr 9:11-15)
 
Dalam petikan surat kepada orang Ibrani kali ini Kristus digambarkan sebagai Imam Agung surgawi yang memperoleh kelepasan hukuman bagi umat  dengan mengurbankan dirinya sendiri (ay. 11-14) . Ia  juga menjadi pengantara yang membangun kembali ikatan baik kemanusiaan dengan Allah yang hidup (ay. 15). Bagi pembaca dulu yang berasal dari kalangan Yahudi, dua gambaran ini amat menggarisbawahi betapa kini manusia boleh merasa disatukan dan dihubungkan kembali dengan asalnya. Di tempat lain, di zaman lain kekuatan gambaran ini masih dapat ditonjolkan, tentu saja dengan menunjukkan apa yang hendak disampaikan: peran Kristus dalam membawa kemanusiaan dekat kembali dengan kehadiran Yang Ilahi dengan kehidupannya. Orang diajak  mendalami pengalaman bahwa Kristus kini hidup dan berada di tengah-tengah umat dan bersama-sama umat ia menghadap Allah, dan dengan demikian membarui  wajah  kemanusiaan. Orang boleh menyadari kenyataan ini di tengah-tengah keadaan apapun, termasuk pelbagai macam kekaburan di dalam kehidupan ini.

Salam hangat,
A. Gianto

Sent from my Sony Xperia™ smartphone

Tuesday, 16 June 2015

Hr Minggu Biasa XII B

Injil Minggu Biasa XII th B 21 Juni 2015 (Mrk 4:35-41)
 
TAK PEDULIKAH ENGKAU KALAU KAMI BINASA?
Rekan-rekan yang baik!
Setelah menceritakan perumpamaan mengenai benih yang ditaburkan, pelita dan ukuran, benih yang bertumbuh, biji sesawi yang tumbuh menjadi pohon besar, kini Markus mengajak pembaca mendengarkan serangkaian kisah mukjizat yang dikerjakan Yesus. Ia meredakan angin ribut, mengusir roh jahat, menghidupkan kembali anak Yairus dan menyembuhkan perempuan yang sakit pendarahan. Pada hari Minggu Biasa XII tahun B ini dibacakan kisah Yesus meredakan angin ribut yang mengancam perahu yang ditumpanginya bersama para muridnya Mrk 4:35-41.
 
KISAH MUKJIZAT
 
Sebelum memasuki kisah itu sendiri, marilah kita tengok tujuan Markus menceritakan kisah-kisah mukjizat dalam Injilnya. Seperti disebut di atas, kisah-kisah itu diletakkan berdekatan dengan bagian-bagian yang menyampaikan pengajaran Yesus. Rupa-rupanya kisah mukjizat disampaikan dengan tujuan agar orang semakin melihat siapa sebenarnya Yesus itu. Pusat perhatian tidak diletakkan pada mukjizatnya sendiri. Kisah mukjizat dimaksud agar pembaca semakin mantap mengikuti Yesus. Dengan kata lain, kisah mukjizat ditampilkan dengan tujuan membuat orang lebih dekat pada diri Yesus dan pengajarannya, dan bukan sebagai kisah ajaib belaka. Boleh kita bayangkan, penyusun Injil seolah-olah berkata, lihat, dia yang pengajarannya telah kalian dengar itu adalah tokoh yang memiliki kuasa besar atas alam, terhadap penyakit dan roh jahat, bahkan terhadap kematian sendiri. Pertanyaan dasar yang sebaiknya dipegang pembaca ialah: apa yang dapat kita tarik keluar mengenai Yesus dari kisah ini?
Itulah kunci memahami kisah mukjizat dalam Injil. Kisah mukjizat bukan dimaksud untuk membuat orang kagum akan kehebatan Yesus. Juga bukan untuk menimbulkan hasrat di kalangan para murid dulu dan sekarang untuk bermukjizat.
Dalam petikan ini diperlihatkan betapa para murid yang terdekat mengalami sendiri bagaimana Yesus mempunyai kuasa atas kekuatan-kekuatan yang menakutkan. Gagasan ini bersumber pada dunia keagamaan Perjanjian Lama. Di situ didapati gambaran mengenai kekuatan Allah yang menguasai gejolak laut dan badai. Boleh diingat Mzm 89:9-10 “Tuhan, Allah semesta alam, siapakah seperti Engkau? Engkau kuat, ya Tuhan, dan kesetiaanMu ada di sekelilingMu. Engkaulah yang berkuasa atas kecongkakan laut, pada waktu gelombang-gelombangnya naik, Engkau juga yang meredakannya!” Lihat juga Mzm 93:3-4; 106:8-9; Yes 51:9b-10. Badai dan laut memang dihubungkan dengan kekuatan yang selalu mengancam kehidupan orang yang takwa Karena itulah dalam doa-doa Perjanjian Lama, bahaya terbesar biasa digambarkan sebagai badai di lautan. Ini terungkap misalnya dalam doa Mzm 69:15-16: “Lepaskanlah aku dari dalam lumpur, supaya aku jangan tenggelam, biarkan aku lepas dari orang-orang yang membenci aku, dan dari air yang dalam! Janganlah gelombang air menghanyutkan aku...” Itulah kiranya yang dirasakan para murid waktu itu. Dan dalam keadaan ini mereka berseru kepada Yesus. Ia memang meredakan badai. Namun, sebelum mengamati lebih lanjut marilah kita teliti cara pengisahan Markus.
 
TIDUR DI BURITAN...MEMAKAI BANTAL?
 
Markus mengisahkan Yesus tidur di buritan - bagian belakang perahu - dengan memakai bantal. Kedua kata itu, “buritan” dan “bantal” hanya ada dalam kisah Markus, tidak ditemukan dalam teks Matius dan Lukas. Apakah perbedaan ini berarti? Mudahnya, boleh diduga Markus hendak mengatakan Yesus benar-benar sedang tidur nyenyak! Ini cara Markus membuat pembaca semakin bertanya-tanya. Lho, dalam keadaan gawat seperti itu kok masih bisa tidur lelap, malah pakai bantal segala!
Tetapi boleh jadi Markus juga ingin mengung kapkan hal-hal yang bisa ditemukan bila kisahnya diikuti dengan saksama. Seperti disebutkan di atas, kata “bantal” tidak dijumpai dalam Matius dan Lukas. Boleh jadi kedua penginjil ini tidak memakainya karena menganggap perkaranya sudah jelas. Kata yang diterjemahkan dengan “bantal” itu memang artinya bantal yang biasa kita pakai menyandarkan kepala. Tetapi di sini barang yang berperan sebagai bantal itu ialah semacam papan melintang yang biasanya dipakai duduk atau bersandar oleh orang yang bertugas memegang kemudi perahu. Ini juga jelas karena dikatakan tempatnya di buritan yang tidak disebut oleh kedua Injil lain. Tempat itu biasanya sempit dan hanya bisa diduduki oleh juru mudi – tidak ada cukup ruang untuk orang lain. Pembaca kini boleh mulai menduga-duga maksud Markus. Apakah ia hendak mengatakan bahwa Yesus bertugas mengemudikan perahu. Bila begitu ia seharusnya mengarahkan ke tempat yang tidak diamuk gelombang. Kok malah enak-enak tidur di situ! Bisa dimengerti mengapa para murid yang ketakutan itu berseru dengan nada kesal, “Guru, tak pedulikah engkau kalau kami binasa?” (ay. 38). Nada kesal ini tidak dijumpai dalam kisah yang sejajar dalam Mat 8:25: Tuhan, tolonglah, kami binasa.”, maupun Luk 8:24, “Guru, Guru, kita binasa!” Kedua Injil itu lebih memusatkan pada permintaan tolong dalam ketakutan.
Markus hendak memperlihatkan sisi-sisi Yesus dan para murid yang tidak ditonjolkan kedua Injil lainnya. Bisa tidur dengan enak itu bagi orang sekarang dan orang dulu punya arti sama. Hati nurani bersih dan percaya bahwa dilindungi Allah sendiri. Lihat Amsal 3:23-24; Mzm 4 9; Ayub 11:18-19. Yesus di sini manusia yang sedemikian merasa aman. Ia juga berani menyerahkan orang-orang yang mengikutinya berada dalam lindungan Allah sendiri. Tokoh seperti ini memang boleh dikagumi, tapi sekaligus juga membuat gemas orang-orang yang dekat. Kok tak peduli kami bakal mati ketakutan begini! Enak-enak sendiri? Segera sesudah adegan ini kisah berubah. Yesus bangun dan menghardik angin dan membuat danau teduh. Pembaca akan ingat motif dari Perjanjian Lama mengenai kuasa terhadap kekuatan laut dan badai yang mengancam kehidupan. Ditawarkan dua gambar mengenai sosok Yesus: sosok manusia yang percaya teguh pada lindungan Allah, dan sosok dia yang menjadi tempat Allah memperlihatkan kuasanya atas daya-daya alam yang menakutkan. Pembaca yang jeli bisa memandangi yang satu dan tetap melihat yang lainnya karena memang sama. Inilah hikmat teks Markus.
 
BADAI KETIDAKPERCAYAAN?
 
Apakah kisah mukjizat ini dapat dipahami sebagai kiasan bagi keadaan para murid yang terombang-ambing dan ketakutan di tengah badai kehidupan, baik dulu dan sekarang? Memang ada tafsiran seperti ini. Namun, cocokkah kita baca kisah mukjizat ini dengan cara itu? Yesus mengatakan bahwa mereka sebenarnya kurang percaya. Memang kisah-kisah Kitab Suci lebih mudah dibaca dengan mengenakan skema “percaya” lawan “tak percaya”, lebih-lebih bila di dalam petikan ini sendiri kata-kata itu dipakai.
Seperti dua Injil lainnya, Markus menghubungkan ketakutan para murid dengan sikap kurang percaya. Kurang percaya kepada siapa? Pembaca bisa jadi segera berpikir mengenai sikap kurang percaya kepada kehadiran Yesus. Tetapi sebenarnya Injil mau mengajarkan hal yang lebih dalam. Di situ ditonjolkan perbedaan antara sikap Yesus yang pasrah dan bisa tidur enak di tengah-tengah ancaman badai dan ombak di satu pihak dan para murid yang mudah guncang di lain pihak. Inilah yang kiranya hendak diperlihatkan dalam kisah mukjizat ini. Para murid diminta agar belajar bersikap tenang dalam bahaya. Bukannya tak peduli, melainkan seperti yang terjadi pada diri Yesus. Ia gambar orang yang percaya, yang merasa sepenuhnya berada dalam lindungan ilahi.
Memang tak dapat disangkal bahwa di sini juga diajarkan sikap percaya kepada Yesus. Tetapi tentunya yang dimaksud ialah percaya kepada dua sisi Yesus ini: dia yang sedemikian pasrah kepada Yang Maha Kuasa itu dan dia yang mampu membungkam badai. Ay. 41 mengungkapkan pertanyaan para murid satu sama lain “Siapa sebenarnya orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepadanya?” Pertanyaan ini tak perlu dijawab dengan gampang dengan pernyataan-pernyataan teologis yang besar yang lazim kita ucapkan: ia itu Anak Allah, Mesias, Penyelamat, meski semuanya benar. Kisah ini juga memberi jawaban sederhana tapi mendalam: ia itu orang yang bisa sepenuhnya menyerahkan diri kepada lindungan ilahi
Sebuah amatan lagi. Matius dan Lukas hanyalah mengatakan bahwa Yesus membentak badai dan gelombang, tapi Markus menyampaikan hardikannya dalam bentuk kutipan: “Diam! Tenanglah!”. Kata yang kedua itu lebih daripada hanya menyuruh reda. Secara harfiah artinya “terberanguslah!”, seperti moncong ular naga yang tadinya terbuka mengancam dan kini diikat rapat. Dalam sastra Ibrani dan sekitarnya, badai dan ombak dibayangkan sebagai ular naga raksasa yang menghujat wibawa ilahi yang telah mengatur jagat ini. Kekuatan-kekuatan yang mengacaubalaukan itulah yang disuruh diam dan terberangus. Bila jalan pikiran ini diikuti, akan jelas bahwa bukan tiap kesulitan hidup boleh dibaca sebagai badai yang hanya bisa ditenangkan oleh kekuatan ilahi. Hanya yang menggugat wibawa ilahilah yang akan disuruh diam dan diikat mulutnya, hanya yang mau mengacaukan wibawanya. Para murid diajak membeda-bedakan badai yang hanya dapat diatasi kekuatan ilahi sendiri: badai ketidakpercayaan.
 
DARI BACAAN KEDUA 2Kor 5:14-17  kemanusiaan baru
 
Dalam petikan ini Paulus berusaha membuat orang-orang di Korintus menemukan siapa itu Kristus bagi kehidupan mereka, bagi kemanusiaan. Ia bukan lagi yang bisa dikenali sebagai manusia semata-mata, betapa luhurnya, betapa besarnya, betapa kuatnya kepribadiannya. Ini semua tidak  cukup guna memahami Dia yang ada di tengah-tengah orang yang percaya. Cara yang lebih cocok ialah melihatnya sebagai dia dapat membawa kemanusiaan menjadi  yang sungguh dimaui oleh Pencipta. Kristus menjadi ciptaan baru yang sudah mulai. Barangsiapa mengikutinya akan menjadi ciptaan baru.
Dalam  gagasan Paulus, Allah Yang Mahakuasa itu tidak meninggalkan manusia melainkan yang membuatnya bisa mendekat kepadaNya. Orang kini bisa mulai memandangi kehidupan bukan semata-mata dari sisi dan perhitungan manusiawi belaka. Di situlah letak kekuatan untuk menjalani kehidupan dengan segala permasalahannya.
 
Salam hangat, A. Gianto


Sent from my Sony Xperia™ smartphone

Wednesday, 3 June 2015

HR Tubuh & Darah Kristus

Mg 7 Jun 2015 - Tubuh dan Darah Kristus
(Mrk 14:12-16)
 
DALAM KESATUAN BATIN
Rekan-rekan  yang baik!
Peristiwa yang dikisahkan dalam Injil hari ini, yakni perjamuan malam Yesus bersama para muridnya, dikaitkan Markus dengan Perjamuan Paskah Yahudi (Mrk 14:12-16). Begitu pula dalam Injil Matius dan Lukas (Mat 26:2. 17-19; Luk 22:7-14) yang memang ditulis atas dasar bahan Markus. Yohanes lain. Baginya, peristiwa itu bukan Perjamuan Paskah, melainkan perjamuan perpisahan Yesus dengan murid-muridnya. Pada hari Paskah Yahudi sendiri, menurut Yohanes, Yesus sudah meninggal (bdk. Yoh 18:28; 19:14) dan justru wafatnya diartikannya sebagai korban domba Paskah.
 
KAPAN TERJADI?
 
Di kalangan Yahudi zaman itu, hari dihitung mulai dari terbenamnya matahari hingga magrib berikutnya. Jadi satu hari terdiri dari sore dan malam hari serta siang hari berikutnya. Menjelang Paskah Yahudi, masih pada hari keenam (Jumat) domba kurban disembelih, tetapi baru dipersembahkan dalam upacara pada sore harinya yang sudah terhitung hari berikutnya, yakni malam Paskah Yahudi. Injil Yohanes mengartikan wafat Yesus di kayu salib sebagai penyembelihan domba yang terjadi pada hari Jumat, sedangkan sore harinya, yakni malam Paskah orang Yahudi, Yesus dikuburkan dan tinggal di sana sampai bangkit pada hari pertama minggu berikutnya. Berbeda dengan Yohanes, Injil-Injil Sinoptik (yakni Markus, Matius, dan Lukas) menampilkan penyaliban Yesus setelah Paskah Yahudi yang dirayakan Yesus bersama para muridnya.
Bagaimanapun juga, baik Injil Sinoptik maupun Injil Yohanes sama-sama menampilkan Yesus sebagai kurban Paskah. Tetapi kapan peristiwa ini terjadi, dan dalam bentuk apa, ada perbedaan. Injil Yohanes memakai cara penggambaran yang "mengurungkan" serta "mengubah" perjalanan waktu, seolah-olah semuanya kembali ke keadaan sebelum penciptaan. Bagi Yohanes, Paskah Yahudi dibarengi dengan kegelapan dalam kubur, dalam kematian. Ini keadaan sebelum sang Pencipta menyabdakan terang. Paskah Yahudi tampil sebagai yang tak berbentuk, keadaan kalang kabut (bdk. Kej 1:2). Perlu ada pengaturan dan terang. Dan Yang Maha Kuasa sendiri memberikannya, yakni Paskah yang baru, yaitu kebangkitan Yesus. Dia itu terang yang disabdakan bagi jagat. Dan terang itu kini berada bersama Yang Maha Kuasa, yang disebutnya Bapa. Dari sana ia akan mengirim Rohnya kepada para muridnya. Ini juga telah diutarakannya dalam pesan-pesan terakhirnya pada perjamuan malam sebelum ia ditangkap.
Injil Sinoptik memakai cara penggambaran yang mengarah ke depan dan mengantisipasi peristiwa wafat Yesus pada kayu salib dengan Perjamuan Paskah. Di sini Yesus menegaskan pemberian dirinya – tubuh dan darahnya – sebagai jaminan Perjanjian keselamatan yang baru. Barangsiapa bersatu dengannya akan terikut di dalam keselamatan. Roti yang disambut dan anggur yang diminum menandai kesatuan dengan tubuh dan darah Yesus – dengan dirinya sepenuh-penuhnya. Injil Sinoptik juga memakai Perjamuan Paskah, yakni peringatan pembebasan umat Perjanjian Lama dari perbudakan di Mesir, untuk mengartikan kurban diri Yesus di salib nanti. Dia itu kurban yang membebaskan kemanusiaan dari perbudakan dosa. Dengan demikian, Injil Sinoptik juga menampilkan perjamuan bersama para murid tadi sebagai perayaan penebusan.
 
BERSAMA ORANG BANYAK
 
Meskipun agak rumit, uraian di atas menunjukkan dinamika yang berbeda-beda dalam pemahaman para murid tentang Yesus sang Mesias yang telah mereka ikuti dari tempat ke tempat dan kini tetap menyertai mereka walaupun dengan cara yang lain. Dan perjamuan "berakah" (kata Ibrani yang dekat artinya dengan kata Indonesia asal Arab "berkat-an") yang menjadi ibadat mereka sebagai orang Yahudi menjadi perayaan bersama untuk semakin menyadari kenyataan batin ini. Seperti halnya perjamuan "berakah" untuk memperingati dan menghadirkan kembali peristiwa keluaran dari Mesir, perjamuan ekaristi dijalankan untuk mengenang kembali kebersamaan batin dengan Yesus yang mengurbankan diri bagi keselamatan orang banyak. Patut dicatat, gagasan "eukharistia" ialah padanan dalam bahasa Yunani bagi "berakah" Ibrani. Dengan latar pemahaman di atas marilah kita petik warta Injil hari ini.
Bayangan kita mengenai perjamuan terakhir boleh jadi amat dipengaruhi lukisan gaya Leonardo da Vinci: di sebuah ruang khusus Yesus memimpin perjamuan yang dihadiri hanya oleh murid-murid paling dekat. Dan kita akan mengamati siapa-siapa dan bagaimana sikap mereka dan bagaimana sikap Yesus. Tafsiran artistik ini memang mengungkapkan kekhususan kesempatan itu. Saat itulah lahir kelompok kecil yang akan menjadi komunitas penerus karya dan kehadiran Yesus di dunia ini. Mereka akan berbagi ingatan akan siapa Yesus yang mereka kenal dari dekat, yang mereka kagumi, yang mereka ikuti. Walaupun demikian, gambaran itu tidak amat cocok dengan yang kiranya terjadi dulu. Ruang tempat Yesus dan murid-muridnya makan pasti dipenuhi orang-orang lain juga. Yesus ialah tokoh yang telah menggemparkan seluruh wilayah utara – Galilea – dan tempat-tempat di sepanjang perjalanannya ke Yerusalem. Ia disambut dengan sorak sorai ketika memasuki kota itu, bagaikan seorang raja. Yerusalem waktu itu juga ramai banyak didatangi para peziarah yang akan beribadat tahunan di kota suci itu. Ia bahkan disangka akan menggerakkan masa membangun kerajaan baru. Itulah yang dituduhkan oleh para pemimpin Yahudi sendiri di hadapan penguasa Romawi.
Pemilihan tempat perjamuan juga dikisahkan dalam Mrk 14:12-16 dengan cara yang unik. Seakan-akan semuanya sudah diatur. Dua orang murid disuruhnya memasuki kota dan di sana mereka akan berjumpa dengan seorang laki-laki yang membawa kendi air. Mereka disuruh mengikutinya. Dan orang itu akan menunjukkan ruang besar yang sudah diperlengkapi dan siap pakai. Pembaca zaman dulu tahu bahwa seorang lelaki yang membawa kendi air bukan pemandangan yang biasa, bahkan aneh. Biasanya air dibawa dengan kerbat dari kulit. Ini cara Markus menarik perhatian pembacanya. Juga untuk menunjukkan bahwa tempat perjamuan yang direncanakan ini mudah diketahui orang, bukan hal yang diam-diam dipilih bagi kelompok sendiri. Siapa saja akan bisa melihat orang yang membawa kendi air – sebuah pemandangan yang mencolok – dan mengetahui tempat yang ditunjukkan orang itu kepada kedua murid tadi.
 
ROTI DAN ANGGUR
 
Yesus sudah jadi tokoh tenar waktu itu. Ke mana saja ia pergi, ia selalu diiringi orang banyak. Juga tempat ia berjamu dengan para muridnya pasti didatangi orang banyak pula. Mereka ingin melihat tokoh ini bersama kelompok murid yang kondang itu. Boleh kita hubung-hubungkan keadaan ini dengan peristiwa Yesus memberi makan orang banyak yang diceritakan sampai enam kali dalam Injil-Injil. Ia berbagi rezeki yang diperoleh dari Bapanya dengan orang banyak yang mengikutinya dan menaruh kepercayaan serta harapan kepadanya. Ia berusaha memurnikan harapan serta angan-angan mereka. Ia datang bukan sebagai Mesias yang akan membangun kembali kejayaan dulu atau menumbangkan lembaga penindas. Ia datang untuk memperkenalkan Allah yang bisa didekati. Juga kali ini, di Yerusalem, di kota-Nya yang suci itu, Yesus memperkenalkan-Nya sebagai Allah yang bisa dijangkau orang banyak. Bukan lewat kurban dan upacara, tetapi lewat diri Yesus, lewat dia yang berani dengan tulus memanggil-Nya sebagai "Bapa". Tentu peristiwa ini mengagetkan. Dan ini terjadi bukan di Bait Allah, melainkan di sebuah ruang tempat ia mengadakan perjamuan dengan para muridnya.
Pada kesempatan itulah Yesus membuat roti dan anggur perjamuan menjadi tanda pemberian diri seutuhnya kepada mereka yang ikut makan dan minum. Kata-kata "inilah tubuhku" (Mrk 14:22) dan "inilah darahku" (24) menjadi ajakan bagi mereka yang ikut serta dalam perjamuan itu untuk menyadari bahwa sebenarnya mereka bersatu dengan dia yang kini menjadi tanda keselamatan bagi orang banyak. Injil merumuskannya sebagai darah perjanjian, yakni yang dulu secara ritual diadakan dalam upacara kurban sembelihan untuk meresmikan Perjanjian.
Bagaimana kita memahami perayaan yang dikisahkan Injil itu bagi orang sekarang? Yang terjadi pada kesempatan itu erat hubungannya dengan inti perayaan ekaristi seperti kita kenal kini. Dalam peristiwa itu kumpulan orang di sekitar Yesus menyadari adanya dua kenyataan. Pertama, kurban Yesus, dan yang kedua ialah kemungkinan berbagi kehidupan dengannya. Kepercayaan inilah yang kemudian berkembang dalam ujud perayaan ibadat ekaristi mengenang kurban tadi. Dan ingatan ini diteruskan turun temurun hingga zaman ini. Tak ada satu hari pun lewat tanpa kenangan tadi. Dalam hal inilah peristiwa perjamuan terakhir tadi masih terus berlangsung. Juga kesatuan dengan dia yang mengorbankan diri demi orang banyak menjadi semakin nyata.
 
DARI BACAAN  KEDUA (Ibr 9:11-15)
 
Dalam petikan surat kepada orang Ibrani kali ini Kristus digambarkan sebagai Imam Agung surgawi yang memperoleh kelepasan hukuman bagi umat  dengan mengurbankan dirinya sendiri (ay. 11-14) . Ia  juga menjadi pengantara yang membangun kembali ikatan baik kemanusiaan dengan Allah yang hidup (ay. 15). Bagi pembaca dulu yang berasal dari kalangan Yahudi, dua gambaran ini amat menggarisbawahi betapa kini manusia boleh merasa disatukan dan dihubungkan kembali dengan asalnya. Di tempat lain, di zaman lain kekuatan gambaran ini masih dapat ditonjolkan, tentu saja dengan menunjukkan apa yang hendak disampaikan: peran Kristus dalam membawa kemanusiaan dekat kembali dengan kehadiran Yang Ilahi dengan kehidupannya. Orang diajak  mendalami pengalaman bahwa Kristus kini hidup dan berada di tengah-tengah umat dan bersama-sama umat ia menghadap Allah, dan dengan demikian membarui  wajah  kemanusiaan. Orang boleh menyadari kenyataan ini di tengah-tengah keadaan apapun, termasuk pelbagai macam kekaburan di dalam kehidupan ini.

Salam hangat,
A. Gianto

Sent from my BlackBerry®

Saturday, 30 May 2015

HR Tritunggal Mahakudus

HARI RAYA TRITUNGGAL MAHAKUDUS
Tg 31 Mei 2015 (Mat 28:16-20)
 
Seperti diperintahkan sang Guru, para murid kini berkumpul di Galilea. Yesus sendiri telah mendahului mereka. Begitulah, seperti disampaikan Matius pada akhir Injil pada Hari Raya Tritunggal Mahakudus tahun ini (Mat 28:16-20), di Galilea, di sebuah bukit yang ditunjukkan sang Guru, mereka melihat Yesus dan mengenali kebesarannya, dan mereka sujud kepadanya. Kepada mereka ia menegaskan bahwa semua kuasa di surga dan di bumi telah diberikan kepadanya (ay. 18); sehingga tak perlu lagi ada keraguan (terungkap pada akhir ay. 17). Para murid diminta memperlakukan semua bangsa sebagai muridnya dan membaptis mereka dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus (ay. 19-20a). Ia juga berjanji menyertai mereka hingga akhir zaman (ay. 20b).
Injil Matius menampilkan Yesus sebagai tokoh Musa yang membawakan hukum-hukum dari Allah sendiri kepada umat. Tetapi berbeda dengan Musa, Yesus mengajar di sebuah bukit yang dapat didekati orang banyak, tidak dari puncak gunung yang tak terjangkau, yang diliputi awan-awan tebal. Bukit tempat Yesus mengajar menampilkan suasana lega, tidak mencekam. Para murid dapat memandanginya, tidak seperti Musa dulu yang wajahnya sedemikian menyilaukan. Tempat pemberian hukum sudah bukan lagi di wilayah yang terpisah dari masyarakat luas dan kehidupan sehari-hari. Bukan lagi di padang gurun, bukan lagi di puncak Sinai, tak lagi terpusatkan di Yerusalem dan Bait Allah. Hukum baru ini tersedia bagi siapa saja. Injil mengutarakannya dengan "Galilea", yakni wilayah persimpangan tempat macam-macam orang bisa bertemu. Yang disampaikan bukan lagi seperangkat aturan dan hukum, melainkan ajaran kehidupan, kesahajaan, serta keluguan batin, karena Kerajaan Allah berdiam dalam kesahajaan dan keluguan seperti itu. Kini pada akhir Injil Matius, para murid diminta agar membuat ajaran tadi lebih dikenal lebih banyak orang lagi. Akan kita dalami hal ini lebih lanjut nanti.
 
KUASA DI SURGA DAN DI BUMI
 
Gambaran ini bukan barang baru. Sudah dikenal dari kitab Daniel 7:14. Dalam penglihatan Daniel, tampillah sosok yang seperti manusia datang menghadap Yang Lanjut Usia untuk memperoleh kuasa daripada-Nya. Dan kekuasaan ini tak akan ada selesainya. Bagaimana menafsirkan gambaran ini? Sering sosok itu diterapkan kepada seorang Mesias yang akan datang. Pendapat ini tidak banyak berguna. Hanya membuai harapan. Juga sering dipandang sebagai kejayaan kaum beriman. Tetapi pemahaman ini juga tidak banyak membantu. Malah kurang cocok dengan kehidupan beragama yang sejati yang tidak mencari kejayaan, melainkan terarah pada sikap bersujud. Penglihatan Daniel tadi sebetulnya menggambarkan kemanusiaan yang baru. Yakni kemanusiaan yang selalu mengarah kepada Yang Ilahi. Kemanusiaan yang berkembang dalam hubungan dengan dia yang memberi kuasa atas jagat ini. Itulah yang telah diperoleh kembali oleh Yesus dengan salib dan kebangkitannya. Dan itulah yang kini dibagikan kepada umat manusia.
Yesus membuat kemanusiaan baru dalam penglihatan Daniel tadi menjadi kenyataan. Di dalam dirinya Yang Ilahi dapat tampil dengan leluasa, bukan hanya di surga, tapi juga di bumi. Juga tidak ada lagi tempat di surga atau di bumi yang menjadi terlarang bagi kemanusiaan karena semuanya diciptakan bagi kemanusiaan baru ini. Bukan berarti ruang leluasa itu dapat dipakai begitu saja. Keleluasaan membawa serta tanggung jawab menjaga kelestarian. Justru kemanusiaan yang terbuka ini ialah yang ikut mengembangkan jagat sehingga menjadi tempat Yang Ilahi dimuliakan.
 
SEMUA DIANGGAP SESAMA MURID
 
Kata-kata Yesus dalam ay. 19 itu tidak perlu ditafsirkan sebagai perintah untuk "mempertobatkan" semua bangsa menjadi muridnya. Dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, perintah itu dapat dirumuskan demikian: "Kalian akan pergi ke mana-mana dan menjumpai macam-macam orang; perlakukanlah mereka itu sebagai muridku!" Jadi tekanan bukan pada membuat bangsa-bangsa menjadi murid Yesus dengan menurunkan ilmu atau pengetahuan. Yang diminta Yesus ialah agar para murid tadi menganggap siapa saja yang akan mereka jumpai nanti sebagai sesama murid. Pernyataan ini amat berani. Di situ terungkap kepercayaan besar. Bagaimana penjelasannya? Wafat dan kebangkitan Yesus telah mengubah jagat ini secara menyeluruh sehingga siapa saja, pernah ketemu atau tidak dengannya, pernah mendengar atau belum tentangnya, pada dasarnya sudah menjadi ciptaan baru, menjadi kemanusiaan baru. Dalam bahasa Injil – mereka sudah menjadi murid Yesus sendiri. Dan murid-murid yang mengikutinya dari tempat ke tempat dulu diminta menganggap semua orang yang mereka jumpai nanti sebagai sesama murid. Tak ada ruang lagi bagi mereka untuk berbangga-bangga. Mereka tidak lebih dekat, tidak lebih baik, tidak lebih memiliki ajaran benar. Semua orang ialah muridnya dan para murid pertama justru diminta memperlakukan mereka seperti diri mereka sendiri. Dan yang memang merasa dekat hendaknya memperlakukan orang lain yang belum pernah mendengar tentang Yesus sebagai yang sama-sama telah mendapat pengajaran batin dari Yesus sendiri! Tentu saja janganlah kita mengerti hal ini sebagai gagasan sama rata sama rasa yang akan membuat pengajaran ini sebuah karikatur belaka.
Apakah tafsiran ini tidak berseberangan dengan ciri misioner Gereja? Samasekali tidak. Pemahaman ini justru menunjukkan betapa luhurnya pengutusan para murid. Mereka diminta memperlakukan semua orang sebagai sesama, bahkan sesama murid. Mereka dapat saling belajar tentang kekayaan masing-masing. Baru demikian komunitas para pengikut Yesus akan memenuhi keinginannya. Inilah yang membuat iman tidak berlawanan dengan kebudayaan. Bahkan iman berkembang dengan kebudayaan. Bila begitu kemanusiaan dapat menjadi juga kemanusiaan yang dapat didiami keilahian seperti dalam kehidupan Yesus sendiri.
Pengutusan tidak perlu diartikan sebagai penugasan membagi-bagikan kebenaran kepada mereka yang dianggap berada dalam ketidaktahuan. Sebaliknyalah, para murid itu baru boleh disebut menjadi utusan yang sungguh bila membiarkan diri diperkaya oleh "para bangsa" – oleh orang-orang yang mereka datangi. Para murid diutus ke mana-mana dan di semua tempat itulah mereka akan menemukan orang-orang lain yang memiliki pelbagai pengalaman mengenai Yang Ilahi.
Dalam Injil hari ini hal itu dikatakan dengan "Baptislah mereka dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus!" Artinya, mengajak orang mengenal adanya pengasal hidup (Bapa), dan yang menjalankannya sebaik-baiknya (Putra), serta yang melangsungkan dan menjaganya (Roh Kudus). Menginisiasikan orang ke dalam hidup komunitas Gereja – membaptis – ialah sebuah cara untuk menandai niat untuk mendalami serta menghayati perintah tadi. Ada pelbagai cara lain dalam hidup bersama sebagai murid Yesus. Kehidupan Gereja pada abad-abad pertama justru menunjukkan kenyataan ini. Orang dari kalangan Yahudi diajak terbuka menerima orang dari kalangan Yunani. Inilah kekayaan pengutusan para murid.
Sekadar catatan mengenai paham Tritunggal. Dalam menjelaskan pokok iman ini, akan membantu bila diperlihatkan juga pendapat mana yang tidak cocok dengan penghayatan iman yang nyata dalam Gereja. Yang bukan ajaran iman ialah gagasan "tri-teisme", adanya tiga sesembahan. Ada dua pendapat lain yang tidak amat kentara ketidaksesuaiannya dengan penghayatan iman. Yang pertama mengatakan bahwa Putra dan Roh Kudus itu diciptakan oleh Bapa, atau semacam perpanjangan dari Allah yang satu – pendapat ini biasanya disebut "subordinasionisme" karena membawahkan kedua pribadi pada salah satu. Ada pula penjelasan yang mengatakan bahwa Tritunggal hanyalah sekadar tiga bentuk atau cara Allah tampil bagi manusia dan bukan sungguh pribadi ilahi. Pendapat ini sering disebut "modalisme". Termasuk di sini pendapat bahwa ketiganya hanya kiasan mengenai sifat-sifat ilahi belaka. Iman yang nyata tidak berdasarkan gagasan-gagasan tadi, melainkan menerima keilahian sebagai yang esa dan mengalaminya sebagai yang merahimi kehidupan, melaksanakannya, dan menjaganya. Inilah iman akan Tritunggal yang menghidupi Gereja sepanjang zaman.
 
RAGU-RAGU?
 
Dalam ay. 17b disebutkan ada beberapa orang yang ragu-ragu. Maksudnya, tidak begitu yakin bahwa yang mereka dapati dan mereka lihat di gunung di Galilea itu ialah Yesus yang sudah bangkit. Dalam hati kecil mereka bertanya, betulkah demikian? Kok sesederhana ini, kok tidak menggetarkan, kok tidak membuat orang takluk langsung. Dan juga, kok tidak memberi kemuliaan besar kepada mereka yang telah setia mengikutinya dari tempat ke tempat? Terhadap keraguan ini Yesus hanyalah memberi penegasan iman: yang dibawakannya ke dunia ini ialah kemanusiaan yang tertebus, kemanusiaan baru, yang terbuka bagi keilahian. Dan itulah kuasa atas surga dan bumi. Menjadi muridnya berarti ambil bagian dalam kemanusiaan yang tertebus ini. Bila demikian para murid boleh yakin akan tetap disertai guru mereka hingga akhir zaman, hingga saat kemanusiaan yang tertebus itu menjadi kenyataan di bumi dan di surga seutuhnya. Kata-kata ini menjadi bekal hidup bagi siapa saja yang mau mengikuti Yesus. Juga bagi kita sekarang.
 
DARI BACAAN KEDUA: PENGARAHAN PAULUS (Rom 8:14-17)
 
Paulus dalam petikan surat Roma yang dibacakan kali ini menegaskan bahwa siapa saja- semua orang – yang dipimpin Roh Allah ialah "anak Allah", artinya, sudah amat dekat dengan-Nya. Inilah kekuatan Roh-Nya. Penegasan ini menggemakan iman akan karya ilahi dalam tiap orang seperti tertera dalam Mat 28:19 yang dikupas  di atas, yakni menganggap siapa saja sebagai sesama murid. Bukan untuk ditobatkan, melainkan untuk diajak berbagi keyakinan akan karya ilahi dalam diri masing-masing.
Pandangan seperti ini bisa terasa terlalu optimis dan bisa jadi rada naif dalam dunia yang terbagi-bagi dalam agama. Tetapi yang diarah Paulus bukan sekadar keagamaan melainkan kerohanian mempercayai kehadiran ilahi di dalam diri siapa saja.

Salam hangat A.Gianto


Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT

Monday, 25 May 2015

HR Tritunggal Maha Kudus

HARI RAYA TRITUNGGAL MAHAKUDUS
Tg 31 Mei 2015 (Mat 28:16-20)
 
Seperti diperintahkan sang Guru, para murid kini berkumpul di Galilea. Yesus sendiri telah mendahului mereka. Begitulah, seperti disampaikan Matius pada akhir Injil pada Hari Raya Tritunggal Mahakudus tahun ini (Mat 28:16-20), di Galilea, di sebuah bukit yang ditunjukkan sang Guru, mereka melihat Yesus dan mengenali kebesarannya, dan mereka sujud kepadanya. Kepada mereka ia menegaskan bahwa semua kuasa di surga dan di bumi telah diberikan kepadanya (ay. 18); sehingga tak perlu lagi ada keraguan (terungkap pada akhir ay. 17). Para murid diminta memperlakukan semua bangsa sebagai muridnya dan membaptis mereka dalam nama Bapa, Putra dan Roh Kudus (ay. 19-20a). Ia juga berjanji menyertai mereka hingga akhir zaman (ay. 20b).
Injil Matius menampilkan Yesus sebagai tokoh Musa yang membawakan hukum-hukum dari Allah sendiri kepada umat. Tetapi berbeda dengan Musa, Yesus mengajar di sebuah bukit yang dapat didekati orang banyak, tidak dari puncak gunung yang tak terjangkau, yang diliputi awan-awan tebal. Bukit tempat Yesus mengajar menampilkan suasana lega, tidak mencekam. Para murid dapat memandanginya, tidak seperti Musa dulu yang wajahnya sedemikian menyilaukan. Tempat pemberian hukum sudah bukan lagi di wilayah yang terpisah dari masyarakat luas dan kehidupan sehari-hari. Bukan lagi di padang gurun, bukan lagi di puncak Sinai, tak lagi terpusatkan di Yerusalem dan Bait Allah. Hukum baru ini tersedia bagi siapa saja. Injil mengutarakannya dengan "Galilea", yakni wilayah persimpangan tempat macam-macam orang bisa bertemu. Yang disampaikan bukan lagi seperangkat aturan dan hukum, melainkan ajaran kehidupan, kesahajaan, serta keluguan batin, karena Kerajaan Allah berdiam dalam kesahajaan dan keluguan seperti itu. Kini pada akhir Injil Matius, para murid diminta agar membuat ajaran tadi lebih dikenal lebih banyak orang lagi. Akan kita dalami hal ini lebih lanjut nanti.
 
KUASA DI SURGA DAN DI BUMI
 
Gambaran ini bukan barang baru. Sudah dikenal dari kitab Daniel 7:14. Dalam penglihatan Daniel, tampillah sosok yang seperti manusia datang menghadap Yang Lanjut Usia untuk memperoleh kuasa daripada-Nya. Dan kekuasaan ini tak akan ada selesainya. Bagaimana menafsirkan gambaran ini? Sering sosok itu diterapkan kepada seorang Mesias yang akan datang. Pendapat ini tidak banyak berguna. Hanya membuai harapan. Juga sering dipandang sebagai kejayaan kaum beriman. Tetapi pemahaman ini juga tidak banyak membantu. Malah kurang cocok dengan kehidupan beragama yang sejati yang tidak mencari kejayaan, melainkan terarah pada sikap bersujud. Penglihatan Daniel tadi sebetulnya menggambarkan kemanusiaan yang baru. Yakni kemanusiaan yang selalu mengarah kepada Yang Ilahi. Kemanusiaan yang berkembang dalam hubungan dengan dia yang memberi kuasa atas jagat ini. Itulah yang telah diperoleh kembali oleh Yesus dengan salib dan kebangkitannya. Dan itulah yang kini dibagikan kepada umat manusia.
Yesus membuat kemanusiaan baru dalam penglihatan Daniel tadi menjadi kenyataan. Di dalam dirinya Yang Ilahi dapat tampil dengan leluasa, bukan hanya di surga, tapi juga di bumi. Juga tidak ada lagi tempat di surga atau di bumi yang menjadi terlarang bagi kemanusiaan karena semuanya diciptakan bagi kemanusiaan baru ini. Bukan berarti ruang leluasa itu dapat dipakai begitu saja. Keleluasaan membawa serta tanggung jawab menjaga kelestarian. Justru kemanusiaan yang terbuka ini ialah yang ikut mengembangkan jagat sehingga menjadi tempat Yang Ilahi dimuliakan.
 
SEMUA DIANGGAP SESAMA MURID
 
Kata-kata Yesus dalam ay. 19 itu tidak perlu ditafsirkan sebagai perintah untuk "mempertobatkan" semua bangsa menjadi muridnya. Dengan bahasa yang lebih mudah dipahami, perintah itu dapat dirumuskan demikian: "Kalian akan pergi ke mana-mana dan menjumpai macam-macam orang; perlakukanlah mereka itu sebagai muridku!" Jadi tekanan bukan pada membuat bangsa-bangsa menjadi murid Yesus dengan menurunkan ilmu atau pengetahuan. Yang diminta Yesus ialah agar para murid tadi menganggap siapa saja yang akan mereka jumpai nanti sebagai sesama murid. Pernyataan ini amat berani. Di situ terungkap kepercayaan besar. Bagaimana penjelasannya? Wafat dan kebangkitan Yesus telah mengubah jagat ini secara menyeluruh sehingga siapa saja, pernah ketemu atau tidak dengannya, pernah mendengar atau belum tentangnya, pada dasarnya sudah menjadi ciptaan baru, menjadi kemanusiaan baru. Dalam bahasa Injil – mereka sudah menjadi murid Yesus sendiri. Dan murid-murid yang mengikutinya dari tempat ke tempat dulu diminta menganggap semua orang yang mereka jumpai nanti sebagai sesama murid. Tak ada ruang lagi bagi mereka untuk berbangga-bangga. Mereka tidak lebih dekat, tidak lebih baik, tidak lebih memiliki ajaran benar. Semua orang ialah muridnya dan para murid pertama justru diminta memperlakukan mereka seperti diri mereka sendiri. Dan yang memang merasa dekat hendaknya memperlakukan orang lain yang belum pernah mendengar tentang Yesus sebagai yang sama-sama telah mendapat pengajaran batin dari Yesus sendiri! Tentu saja janganlah kita mengerti hal ini sebagai gagasan sama rata sama rasa yang akan membuat pengajaran ini sebuah karikatur belaka.
Apakah tafsiran ini tidak berseberangan dengan ciri misioner Gereja? Samasekali tidak. Pemahaman ini justru menunjukkan betapa luhurnya pengutusan para murid. Mereka diminta memperlakukan semua orang sebagai sesama, bahkan sesama murid. Mereka dapat saling belajar tentang kekayaan masing-masing. Baru demikian komunitas para pengikut Yesus akan memenuhi keinginannya. Inilah yang membuat iman tidak berlawanan dengan kebudayaan. Bahkan iman berkembang dengan kebudayaan. Bila begitu kemanusiaan dapat menjadi juga kemanusiaan yang dapat didiami keilahian seperti dalam kehidupan Yesus sendiri.
Pengutusan tidak perlu diartikan sebagai penugasan membagi-bagikan kebenaran kepada mereka yang dianggap berada dalam ketidaktahuan. Sebaliknyalah, para murid itu baru boleh disebut menjadi utusan yang sungguh bila membiarkan diri diperkaya oleh "para bangsa" – oleh orang-orang yang mereka datangi. Para murid diutus ke mana-mana dan di semua tempat itulah mereka akan menemukan orang-orang lain yang memiliki pelbagai pengalaman mengenai Yang Ilahi.
Dalam Injil hari ini hal itu dikatakan dengan "Baptislah mereka dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus!" Artinya, mengajak orang mengenal adanya pengasal hidup (Bapa), dan yang menjalankannya sebaik-baiknya (Putra), serta yang melangsungkan dan menjaganya (Roh Kudus). Menginisiasikan orang ke dalam hidup komunitas Gereja – membaptis – ialah sebuah cara untuk menandai niat untuk mendalami serta menghayati perintah tadi. Ada pelbagai cara lain dalam hidup bersama sebagai murid Yesus. Kehidupan Gereja pada abad-abad pertama justru menunjukkan kenyataan ini. Orang dari kalangan Yahudi diajak terbuka menerima orang dari kalangan Yunani. Inilah kekayaan pengutusan para murid.
Sekadar catatan mengenai paham Tritunggal. Dalam menjelaskan pokok iman ini, akan membantu bila diperlihatkan juga pendapat mana yang tidak cocok dengan penghayatan iman yang nyata dalam Gereja. Yang bukan ajaran iman ialah gagasan "tri-teisme", adanya tiga sesembahan. Ada dua pendapat lain yang tidak amat kentara ketidaksesuaiannya dengan penghayatan iman. Yang pertama mengatakan bahwa Putra dan Roh Kudus itu diciptakan oleh Bapa, atau semacam perpanjangan dari Allah yang satu – pendapat ini biasanya disebut "subordinasionisme" karena membawahkan kedua pribadi pada salah satu. Ada pula penjelasan yang mengatakan bahwa Tritunggal hanyalah sekadar tiga bentuk atau cara Allah tampil bagi manusia dan bukan sungguh pribadi ilahi. Pendapat ini sering disebut "modalisme". Termasuk di sini pendapat bahwa ketiganya hanya kiasan mengenai sifat-sifat ilahi belaka. Iman yang nyata tidak berdasarkan gagasan-gagasan tadi, melainkan menerima keilahian sebagai yang esa dan mengalaminya sebagai yang merahimi kehidupan, melaksanakannya, dan menjaganya. Inilah iman akan Tritunggal yang menghidupi Gereja sepanjang zaman.
 
RAGU-RAGU?
 
Dalam ay. 17b disebutkan ada beberapa orang yang ragu-ragu. Maksudnya, tidak begitu yakin bahwa yang mereka dapati dan mereka lihat di gunung di Galilea itu ialah Yesus yang sudah bangkit. Dalam hati kecil mereka bertanya, betulkah demikian? Kok sesederhana ini, kok tidak menggetarkan, kok tidak membuat orang takluk langsung. Dan juga, kok tidak memberi kemuliaan besar kepada mereka yang telah setia mengikutinya dari tempat ke tempat? Terhadap keraguan ini Yesus hanyalah memberi penegasan iman: yang dibawakannya ke dunia ini ialah kemanusiaan yang tertebus, kemanusiaan baru, yang terbuka bagi keilahian. Dan itulah kuasa atas surga dan bumi. Menjadi muridnya berarti ambil bagian dalam kemanusiaan yang tertebus ini. Bila demikian para murid boleh yakin akan tetap disertai guru mereka hingga akhir zaman, hingga saat kemanusiaan yang tertebus itu menjadi kenyataan di bumi dan di surga seutuhnya. Kata-kata ini menjadi bekal hidup bagi siapa saja yang mau mengikuti Yesus. Juga bagi kita sekarang.
 
DARI BACAAN KEDUA: PENGARAHAN PAULUS (Rom 8:14-17)
 
Paulus dalam petikan surat Roma yang dibacakan kali ini menegaskan bahwa siapa saja- semua orang – yang dipimpin Roh Allah ialah "anak Allah", artinya, sudah amat dekat dengan-Nya. Inilah kekuatan Roh-Nya. Penegasan ini menggemakan iman akan karya ilahi dalam tiap orang seperti tertera dalam Mat 28:19 yang dikupas  di atas, yakni menganggap siapa saja sebagai sesama murid. Bukan untuk ditobatkan, melainkan untuk diajak berbagi keyakinan akan karya ilahi dalam diri masing-masing.
Pandangan seperti ini bisa terasa terlalu optimis dan bisa jadi rada naif dalam dunia yang terbagi-bagi dalam agama. Tetapi yang diarah Paulus bukan sekadar keagamaan melainkan kerohanian mempercayai kehadiran ilahi di dalam diri siapa saja.

Salam hangat A.Gianto


Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Monday, 18 May 2015

Hari Raya Pentakosta 2015

Pentakosta 24 Mei 2015 (Yoh 15:26-27; 16:12-15)
 
Di kalangan umat Perjanjian Lama, Pentakosta (artinya "hari ke-50") dirayakan 7 minggu setelah panen gandum, seperti disebutkan dalam Im 23:15-21 dan Ul 16:9-12. Perayaan ini juga disebut dalam hubungan dengan perayaan lain, lihat Kel 23:14-17; 34:22; Bil 28:26-31 dan 2Taw 8:13. Dalam perkembangan selanjutnya, hari "ke-50" ini dihitung dari tanggal 14 Nisan, yaitu Paskah Yahudi. Hari itu kemudian juga dipakai untuk memperingati turunnya Taurat kepada Musa. Di kalangan umat Kristen, peringatan "hari ke-50" ini terjadi 7 minggu setelah kebangkitan Yesus dan dirayakan sebagai hari turunnya Roh Kudus kepada para murid seperti digambarkan dalam Kis 2:1-11. Jadi perayaan 7 minggu setelah panen dari dunia Perjanjian Lama itu diterapkan dalam Perjanjian Baru pada panenan rohani yang kini mulai melimpah.

Pada hari Pentakosta tahun B ini dibacakan kata-kata Yesus dalam Yoh 15:26-27. Teks itu jelas-jelas menyebut kedatangan Penolong yang diutus Yesus dari Bapa. Bagaimana memetik warta Pentakosta khususnya bagi kita sekarang?  Adakah relevansinya bagi zaman kita dan lingkungan kita sekarang?
 
KETABAHAN BERSAMA
 
Petikan hari ini sebenarnya bagian dari pesan-pesan Yesus kepada para murid pada perjamuan terakhir. Setelah menyampaikan perumpamaan pokok anggur dan ranting ( Yoh 15:1-8; Minggu Paskah V tahun B) dan imbauan agar menumbuhkan kebersamaan yang sejati (Yoh 15:9-17; Minggu Paskah VI tahun B), Yesus mengajak mereka melihat pelbagai kenyataan hidup yang kerap kali kurang memberi rasa tenteram. Ditegaskannya bahwa ia sendiri dimusuhi dunia. Maka tak usah heran bila para pengikutnya juga akan mengalami hal yang sama. Kedatangan Yesus ke dunia membuat jelas siapa dan apa yang termasuk wilayah gelap tadi. Yang tadinya tidak kentara sekarang mulai dapat dirasakan hadir dan mencekam. Inilah teka teki kehidupan di dunia ini. Sering yang jahat, yang menyakitkan, yang membingungkan itu tidak dapat diterangkan kejadiannya, hanya dapat dirasakan adanya serta daya perusaknya. Ini semua dikatakan dalam Yoh 15:18-25 yang menjadi lanjutan dari bacaan Injil hari-hari Minggu sebelumnya tadi. Dapatkah kita hidup terus dalam keadaan ini? Mana bisa kita tahan? Begitulah tanya para murid dalam hati kecil mereka. Apalagi katanya sebentar lagi guru mereka akan diambil dan mereka akan sendirian. Apa gunanya bertahan? Injil hari Pentakosta kali ini menjawab kegundahan itu. Dan kekuatan yang muncul dari Injil itu dapat juga membuat kita berani ikut merasakan penderitaan saudara-saudara kita yang tertimpa bencana. Keberanian itu bisa menjadi kekuatan bagi mereka.

Mari kita lihat keadaan para murid dulu. Hingga saat itu mereka bisa membanggakan menjadi pengikut seorang tokoh tenar dan dianggap penting di mana-mana. Semua yang dilakukan Yesus serta tanggapan orang banyak membuat mereka percaya diri. Masa depan yang cemerlang kini tersedia bagi mereka. Yesus sendiri sebenarnya beberapa kali berusaha membuat kepala mereka tetap dingin. Tetapi biasanya antusiasme orang tidak gampang diatur akal. Hanya kenyataanlah yang dapat membuat mereka sadar apa yang sedang terjadi. Permusuhan, kedengkian para pimpinan masyarakat Yahudi waktu itu mulai terasa. Mula-mula hanya dalam ujud mempertanyakan kompetensi Yesus mengajarkan Taurat. Kelompok baru di sekitar Yesus ini dirasa sebagai ancaman. Konflik menjadi makin tajam dan akhirnya mereka menemukan pelbagai cara untuk mendiskreditkan Yesus di hadapan lembaga resmi agama dan pemerintahan Romawi. Kelanjutannya kita ketahui. Ketika Yesus ditangkap dan disalibkan, para murid bubar. Dari bangga dan penuh keyakinan, kini mereka berkecil hati. Dari orang-orang yang berani bercerita mengenai sang Guru, sekarang mereka menjadi orang yang takut dituduh pengacau dengan risiko ditangkap. Mereka juga dianggap menawarkan ajaran yang keliru oleh para simpatisan mereka dulu. Mereka kehilangan muka di hadapan kaum sendiri. Inilah situasi para murid.
 
MENGENANG PERKATAAN  YESUS
 
Dalam keadaan itulah mereka teringat akan pesan-pesan Yesus pada perjamuan terakhir. Injil memang terjadi sebagai kumpulan kenangan bersama mengenai tindakan dan kata-kata sang Guru. Pada kesempatan itu ia berbicara mengenai Penolong yang akan diutusnya dari Bapa. Pengertian kunci di sini ialah "Penolong". Yunaninya ialah "parakleetos", arti harfiahnya ialah yang diseru, dipanggil, diminta agar datang menolong. Ungkapan ini sebenarnya kata biasa dalam bahasa Yunani. Orang datang menolong mereka yang kena musibah dengan memberi bantuan apa saja. Mulai dengan memberi pertolongan sebisanya sampai ke regu khusus yang menangani keadaan yang paling gawat. Juga pertolongan bisa berujud penghiburan untuk membesarkan hati, menumbuhkan harapan dan kekuatan. Apa saja yang dapat menopang orang yang tidak dapat mengatasi keadaan dengan kekuatan sendiri dan oleh karenanya membutuhkan pertolongan secepatnya. Itulah "parakleetos". Dalam keadaan bencana, kehadiran para penolong memang lebih terasa. Tapi dalam kehidupan sehari-hari sebenarnya penolong ada di mana-mana. Boleh dikata, bakat alamiah manusia yang paling dasar ialah tumbuh menjadi orang yang bisa dimintai tolong orang lain. Bakat ini biasanya berkembang menjadi macam-macam pola tingkah laku "baik" di masyarakat.
Itulah latar pemakaian ungkapan "Penolong" dalam Yoh 15:27. Di situ Yesus mengatakan bahwa ia mengutus dia yang menanggapi seruan minta tolong tadi itu. Ditambahkannya bahwa Penolong itu berasal dari Bapa sendiri. Diutus berarti dikirim, seperti orang yang diutus menjalankan urusan tertentu. Itulah yang dimaksud Yesus dengan "Penolong yang kuutus". Tugasnya ialah menanggapi kebutuhan orang yang minta tolong apa saja. Dan Penolong ini "keluar dari Bapa". Artinya, pertolongan yang akan diterima orang yang berseru itu berasal dari Yang Maha Kuasa yang beperhatian sebagai bapak. Bagi orang zaman itu, cara berbicara seperti sarat muatan maknanya. Dulu orang Yahudi berseru minta tolong ketika mengalami penderitaan di Mesir. Dan Tuhan mendengar keluhan mereka dan turun untuk menolong mereka dan menuntun mereka ke tanah yang akan diberikan-Nya kepada mereka (lihat Kel 3:7-10; 6:5-7 Ul 26:5-9). Kekuatan seperti itulah yang dimaksud oleh Yesus sebagai "Penolong yang kuutus dari Bapa". Ia adalah Roh Kebenaran, yakni kekuatan yang benar, yang tepercaya, bukan yang bakal membawa ke tujuan lain
 
BERSAKSI?
 
Roh Kebenaran tadi akan menegaskan bahwa yang dikerjakan Yesus selama hidupnya itu benar-benar dari Bapa asalnya. Ia menjauhkan kekuatan yang jahat, menyembuhkan, menghibur yang kena kesusahan, mengajar, membimbing banyak orang. Semuanya itu untuk memperbaiki kemanusiaan. Bagaimana? Roh tidak membuat orang takjub dan takut. Ia datang ke dalam kehidupan para murid dan dari dalam diri mereka ia menegaskan bahwa semua yang dilakukan Yesus adalah karya ilahi sendiri. Itulah yang dimaksud dengan Penolong atau Roh Kebenaran yang "bersaksi tentang diriku".
Kekuatan ini mengatasi apa saja yang dirasa mencengkam dan tak bisa dihadapi sendiri. Tidak bergantung pada jenisnya, bisa berupa penindasan sosial dan religius seperti di Mesir dulu, bisa pula dirasa sebagai bencana alam, bisa pula dialami sebagai kekuatan-kekuatan yang tak tergambarkan tetapi yang selalu mengancam kehidupan. Inilah yang sering membuat orang merasa tak berdaya dan hanya bisa berdoa berseru minta tolong.
Para murid percaya bahwa sang Penolong sudah datang. Bagaimana penjelasannya? Ada dalam Yoh 15:26. Di situ mereka diminta menjadi saksi. Alasannya, mereka sejak semula sudah ada bersama dengan Yesus sendiri dan melihat karyanya. Kini mereka diminta melihat kembali semua itu sebagai karya ilahi dalam Roh Kebenaran yang datang kepada mereka. Kesaksian yang dimaksud jelas bukan sedia mati demi mempertahankan agama. Ini lain perkara. Dalam ayat-ayat Yohanes ini, kesaksian yang dimaksud ialah membiarkan sang Penolong yang ada dalam komunitas orang beriman leluasa bertindak. Inilah kekuatan yang bisa memperbaiki kemanusiaan yang sedang mengalami kejadian seburuk apapun. Para murid Yesus didampingi Sang Parakleetos yang siap dimintai tolong dan selalu ada di dekat. Kita juga. Pelbagai upaya pertolongan yang kita usahakan dapat makin kuat, makin ambil bagian dalam yang dikerjakan Yesus dan yang kini dilakukan bersama dengan kekuatan yang dikirimkannya dari atas sana.

Sang Penolong tadi membuat orang percaya bahwa yang dilakukan Yesus itu ialah karya ilahi. Inilah kesaksian sang Penolong. Murid-murid Yesus di masa kini pun ikut diminta menjadi saksi karya ilahi yang masih berlangsung. Juga di tengah-tengah orang yang paling membutuhkan penghiburan dan pertolongan. Sabda Tuhan dapat menjadi bagian dalam kehidupan, khususnya pada saat-saat orang merasa tak berdaya, di waktu kesusahan dan penderitaan, juga dalam kesulitan rohani. Kita biarkan Sabda Tuhan ikut memikul beban penderitaan kita. Marilah kita pahami gerak gerik kehadiran Penolong yang diutus Yesus bagi murid-muridnya dan bagi kita juga, sekarang ini, dalam keadaan ini.

Salam hangat,
A. Gianto

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com