Thursday, 17 July 2008

Rabu Abu Tahun A

Rabu Abu tanggal 6 Februari 2008

[2Kor 5:20-6:2 dan Mat 6:1-6; 16-18]

Rekan-rekan!

Dalam 2Kor 5:20-6:2 yang dibacakan pada hari Rabu Abu tanggal 6 Februari 2008 ini, Paulus mengimbau umat agar membiarkan diri didamaikan dengan Yang Ilahi oleh pengorbanan Kristus. Orang Korintus diajak Paulus agar tidak lagi menganggap kehadiran ilahi sebagai ganjalan dalam hidup mereka. Itulah yang dimaksud dengan berdamai denganNya. Bagaimana penjelasannya?

TEOLOGI REKONSILIASI PAULUS

Bagi Paulus, berdamai dengan Allah bukan semata-mata mencari pengampunan dari pelbagai perbuatan yang salah. Bila hanya itu, maka tidak akan tercapai perdamaian atau rekonsiliasi yang utuh. Lebih-lebih, bukan bagi pengampunan seperti itulah kurban Yesus Kristus terjadi. Paulus melihat permasalahannya dalam ukuran yang jauh lebih besar. Ia bertolak pada pelbagai kenyataan yang ada dalam kehidupan manusia dan alam yang menunjukkan bahwa ciptaan ini bukanlah barang yang sempurna. Banyak cacatnya. Besar kekurangannya. Terasa kerapuhannya. Ada macam-macam ketimpangannya. Dan semua ini memang menjadi bagian dari kehidupan. Akan tetapi, bagi Paulus, keliru bila orang membiarkan keadaan ini berlangsung terus. Hanya mereka yang tidak mempercayai maksud baik Pencipta akan beranggapan demikian. Mereka itu sebetulnya tidak mau menerima bahwa Ia tetap bekerja memperbaiki dan menyempurnakan ciptaanNya. Allah belum beristirahat. Lebih tepat bila dikatakan, Ia belum dapat beristirahat karena karyaNya belum selesai. Hari ketujuh belum sepenuhnya tercapai. Hari ketujuh pada Kitab Kejadian itu dipaparkan untuk menegaskan bahwa hari itu nanti sungguh akan tercapai. Sementara itu yang kini sedang terlaksana ialah penciptaan dunia, isinya dan manusia yang menjadi gambar dan rupa Pencipta di jagat ini

Dunia beserta isinya masih terus berkembang. Berarti juga ada kemungkinan melawan maksud Pencipta. Ada kemungkinan menolak menjadi semakin sempurna. Inilah keberdosaan. Inilah yang membuat ciptaan, khususnya manusia belum ada dalam keadaan berdamai dengan Penciptanya. Bahkan menjadi pesaing. Atau merasa diperlakukan tidak semestinya. Atau kurang membiarkan diri semakin dijadikan gambar dan rupaNya.

Manusia tetap akan mengalami kematian. Dan bila direnggut maut, ia tidak akan kembali lagi dan habislah kehidupannya. Inilah kendala terbesar dalam kehidupan manusia. Juga alam semesta ini pada kenyataannya akan tidak berlangsung tanpa akhir. Dalam pikiran Paulus, hanya keberanian Allah untuk mengatasi kerapuhan ciptaanNya sendirilah yang akan membuat ciptaan dapat menjadi sesuai dengan kehendakNya. Peristiwa kematian dan kebangkitan Kristus itulah yang ada dalam pusat gagasan Paulus. Dengan membangkitkanNya dari kematian, Allah "mempercepat" perjalanan seorang manusia menuju kesempurnaan tadi. Ada satu dari yang tak sempurna yang kini telah utuh: Yesus Kristus. Keberanian Allah tadi bukan tanpa risiko. Ia memberanikan diri masuk dalam dunia untuk menjadikannya sempurna. Tetapi seketika masuk ke situ, ia ikut menjadi terbatas. Hanya kesediaan orang yang dipilihNyalah yang membuatNya dapat bertindak leluasa. Dan memang terjadi demikian. Yesus menjadi Yang Terurapi  - menjadi Mesias -  ketika ia membiarkan diri disempurnakan oleh Allah sendiri, membiarkan diri direnggut dari maut. Dengan demikian ia menjadi bagian keilahian sendiri, dan tetap satu dari ciptaan yang tadinya rapuh. Oleh karena itu ia menjadi yang pertama dari ciptaan yang telah utuh dan menjadi jaminan akan utuhnya seluruh ciptaan. Inilah yang diungkapkan dengan padat dalam 2Kor 5:21 "Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuatNya menjadi dosa karena kita, supaya dalam dia kita dibenarkan oleh Allah."

PENERAPANNYA?

Dengan uraian tadi kiranya tidak sulit dimengerti mengapa Paulus mengimbau orang Korintus agar membiarkan diri didamaikan oleh Allah. Paulus mengajak orang agar menjadi seperti Yesus, membiarkan diri menjadi tempat Allah menyempurnakan ciptaanNya. Tidak banyak yang dituntut.  Cukup bila tidak menghalang-halangiNya. Tentunya tak banyak yang sengaja begitu. Bila diam saja dan membiarkan diri terbawa kerapuhan manusiawi maka sebenarnya orang menghalangi karya ilahi sendiri.

Baru-baru ini orang mengalami dari dekat macam-macam bencana: tsunami, gunung meletus, gempa bumi. Dan paling akhir, banjir. Semuanya itu gerakan alam. Menjadi bencana karena ada manusia yang terkena. Memang manusia belum seutuhnya selaras dengan gerakan alam. Ini bukan mistik alam, tetapi kenyataan. Bencana yang disebut paling belakangan itu menunjukkan hal ini. Yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya bukan hanya gerakan alam belaka, tetapi gerakan yang dikacaukan oleh macam-macam tindakan manusia yang membuat perputaran alam tidak lagi mengikuti irama dan keadaan yang lumrah. Air hujan tak teresap oleh tanah tapi mengalir terus ke bawah. Sungai di hilir makin sempit karena banyak himpitan-himpitan bangunan. Para ahli lingkungan akan dapat menjelaskan keadaan ini dengan lebih runut. Tetapi apa hubungan ini semua dengan "berdamai" dengan Allah tadi?

Bencana ialah kenyataan yang menunjukkan kerapuhan ciptaan, khususnya manusia. Keadaan inilah yang menyebabkan manusia belum bisa dikatakan berdamai dengan Pencipta. Lalu apa imbauan membiarkan diri didamaikan akan membuat manusia sempurna? Akan tidak lagi kena bencana? Tentunya tidak ke arah itu pemikirannya. Yang justru dapat menjadi pemikiran ialah bagaimana "membiarkan diri didamaikan" itu bisa diterjemahkan dalam kenyataan hidup sehari-hari di dalam masyarakat. Salah satunya ialah mengusahakan agar lingkungan semakin serasi dengan pemukiman dan pemukiman semakin melestarikan lingkungan. Artinya, orang sebaiknya paham tanda-tanda gerakan alam. Perlu ada sistem peringatan dini akan gempa dan tsunami. Sebaiknya dibuat perencanaan untuk menangani keadaan darurat. Tatakota hendaknya diatur sehingga menjamin penyaluran air. Penggundulan hutan perlu dikendalikan. Dan seterusnya. Hal-hal itu tidak bergantung  pada maksud baik saja melainkan juga pada perencanaan serta pelaksanaannya. Banyak akan ditentukan oleh strategi pemerintahan dan koordinasi badan-badan yang mengurus masing-masing wilayah. Ini semua sebenarnyalah yang dalam bahasa teologis terungkap sebagai "membiarkan diri didamaikan dengan Allah."

WARTA INJIL

Injil Rabu Abu (Mat 6:1-6; 16-18) termasuk salah satu dari rangkaian pengajaran Yesus kepada murid-muridnya di sebuah bukit (Mat 5-7;  lihat juga catatan tentang "Mengajar di sebuah bukit" dalam ulasan Injil Minggu IV/A 3 Feb 2008).  Dalam petikan bagi Rabu Abu ini terdapat ajakan untuk mengamati cara bersedekah (ay. 1-4), berdoa (ay. 5-6), dan berpuasa (ay. 16-18). Para murid dihimbau agar tidak seperti "orang munafik" yang bersedekah dengan tujuan agar dipuji orang, yang berdoa dengan di tempat-tempat umum agar dilihat, dan yang berpuasa dengan memasang wajah muram. Sebaliknya dianjurkan memberi sedekah dengan diam-diam, berdoa kepada Bapa yang ada di tempat yang tak segera kelihatan, dan menjalankan puasa dengan penampilan biasa. Demikian ibadah tadi ditujukan kepada Dia Yang Tersembunyi dan bukan untuk dipertontonkan kepada orang-orang lain. Bila begitu maka pahala akan datang dari Dia, dan bukan sekedar "wah" yang diucapkan orang.

Spiritualitas sejati? Bisa dikatakan begitu. Namun ada yang lebih mendalam yang hendak diutarakan di dalam petikan itu. Orang diminta mencari Dia Yang Tersembunyi, yang juga dapat disebut Bapa. KeadiranNya itu nyata walau tidak selalu terasa jelas. Dan bersedekah, doa, puasa itu ialah ibadat untuk mendekat kepadaNya dan menemukanNya.

Bacaan Injil ini dibacakan untuk mengantar orang memasuki Masa Prapaskah, yaitu masa berpuasa menyongsong peristiwa wafat dan kebangkitan Kristus yang menjadi misteri paling besar dalam iman umat kristiani. Misteri tidak bakal ditembus sepenuhnya, hanya dapat didekati dan diakrabi. Dan tindakan berpuasa, berdoa, berbuat baik bukan demi dipuji dan dilihat orang melainkan demi membangun hubungan rohani dengan keilahan ialah cara menghayati misteri iman itu.

MASA PRAPASKAH

Rabu Abu mengawali Masa Prapaskah - masa puasa untuk menemukan kembali kuatnya arus-arus yang membawa kita mendekat pada Allah dan menjauhi ganasnya tarikan-tarikan menjauhiNya. Rabu Abu juga dijalani dengan menerima tanda abu di dahi atau kepala. Kita diingatkan bahwa kita akan menjadi hancuran seperti abu. Tapi kita tidak akan tetap di situ bila kita mau membiarkan diri disempurnakan Allah sendiri...dengan percaya kepada Kabar Gembira. Khususnya bahwa Allah berani memperbaiki ciptaanNya dengan upaya khusus. Tinggal menerima. Tinggal ikut serta. Tinggal membiarkanNya semakin leluasa bertindak. Tinggal mengajak orang lain rela demikian.

Satu wilayah dapat dikembangkan dalam ukuran kecil tapi akan luas dampaknya, yakni menumbuhkan kesadaran lingkungan. Pendidikan kesadaran lingkungan, baik alami maupun sosial. Juga di situ akan dapat terjadi apa itu "membiarkan diri didamaikan dengan Allah."  Ini juga persiapan menyambut Paskah - peristiwa utama yang mendamaikan manusia dengan Allah.

TENTANG PENERIMAAN ABU

Penerimaan abu pada Rabu Abu ini berasal dari kebiasaan yang ada pada abad pertengahan dalam menjalani denda dosa muka umum (penitensi umum). Mereka berpakaian berpakaian bahan kasar/bagor, dan menaburkan abu di atas kepala mereka. Dalam Perjanjian Lama ada kebiasaan menjalankan upacara menyesali dosa (juga upacara berkabung) dengan duduk bersimpuh di atas debu dan menaburi diri dengan abu itu, lihat Yes 58:5; 61:3; Yer 6:26 (menarik di baca, gulung koming!) Rabu Abu yang mengawali Masa Prapaskah (=masa puasa) ini ditandai dengan upacara pemberian abu di dahi (atau di bagian kepala yang dibotaki, ditonsur, bagi kaum klerus) seperti yang sekarang. Abu-nya diperoleh dari abu bakaran daun palem kering dari Minggu Palem tahun sebelumnya.

Kebiasaan ini sudah dikenal sejak abad ke-8. Pada zaman itu mulai dipakai kata-kata yang dibisikkan imam ketika menandai dahi dengan abu "Ingatlah, hai manusia, kamu dari debu dan akan kembali menjadi debu". (Rujukannya ialah Kej 3:19; alih-alih kini sering lebih dibisikkan kutipan Mrk 1:15 "Bertobatlah dan percayalah kepada Injil!") Abu atau debu? Barangnya memang berbeda, tetapi dalam perkara upacara orang tidak pertama-tama memikirkan barangnya, tapi lambang serta yang diperlambangkan. Pemikiran simboliknya begini: baik abu maupun debu itu barang yang remeh, tak ada bobotnya, ditiup saja terhambur ke mana-mana dan akhirnya diinjak-injak.  Dalam perkembangannya, diingat dua hal. Manusia menurut Kej 2:7 dibentuk dari debu tanah yang dihembusi nafas kehidupan Tuhan. Nah, kalau nafas kehidupan ini kembali ke Tuhan, maka manusia ya kembali ke debunya tanah tadi. Lebih lanjut, debu dan abu ini membuat orang menyadari betapa lemahnya manusia; ia dekat pada dosa (Ay 30:19, Kej 18:27). Itulah yang dapat diingat bila menerima tanda abu pada hari Rabu Abu.


Salam,

A. Gianto

 

Wednesday, 16 July 2008

Minggu Prapaskah I/A

Injil dan bacaan pertama Minggu Prapaskah I/A tgl. 10 Februari 2008 (Mat
4:1-11; Kej 2:7-9 dan 3:1-7
05 Februari 2008 08:47
Rekan-rekan yang budiman!

Karena Injil Minggu Prapaskah kali ini akan diuraikan dengan panjang lebar
oleh Matt sendiri, maka catatan berikut hanya menyangkut bacaan pertama,
yakni Kej 2:7-9 dan 3:1-7. Disebutkan pada bagian awal bagaimana Tuhan
membentuk manusia dari "debu tanah", yakni bahan yang ujudnya
gumpalan-gumpalan berserakan belaka. Inilah cara Alkitab menggambarkan sisi
ringkih dari manusia. Namun sentuhan-sentuhan tangan ilahi memberinya
bentuk. Begitu pula, hembusan nafas hidup dariNya menjadikannya makhluk yang
hidup. Ini bukan hanya cerita melainkan penegasan iman yang berani. Bila
tetap bersentuhan dengan Yang Mahakuasa dan membiarkan diri dihidupi
olehNya, maka serapuh dan seringkih apapun manusia akan se-nafas denganNya.
Karena itu manusia juga memiliki tempat kehidupan yang membahagiakan di
firdaus. Tetapi, seperti dikisahkan dalam bagian kedua, manusia akhirnya
menjauh dari padaNya karena terpukau ajakan sang nakhasy (kata Ibrani bagi
'ular'), yakni tarikan-tarikan kekuatan jahat yang memakai ujud seperti
manusia, bisa bicara, bisa meyakin-yakinkan, tetapi yang melilit dan
akhirnya melumpuhkan.

Kisah memakan buah larangan tentu sudah lazim dikenal. Buah itu, bila
dimakan, menurut sang nakhasy, akan membuat manusia terbuka matanya dan tahu
tentang "yang baik dan yang jahat" , artinya jadi mahatahu seperti sang
Pencipta sendiri. Tetapi baiklah kita jeli menafsirkan hal ini dan tidak
segera menghukum dorongan ingin tahu sebagai kesombongan manusia di hadapan
Tuhan. Tak ada jeleknya kan ingin mengetahui apa saja. Bahkan bukankah ini
ciri hakiki manusia? Coba kita ingat, manusia ditegaskan sebagai makhluk
yang se-nafas dengan Dia Juga diceritakan dalam kisah firdaus yang tidak
ikut dibacakan hari ini, bagaimana manusia dipimpin Pencipta untuk memberi
nama kepada semua makhluk hidup yang diciptakanNya (Kej 2:19-20). Begitu
maka ia diberi kemampuan mengetahui apa saja yang bisa diketahui. Bukan di
situ letak permasalahan dan kendala manusia. Memang dalam kisah kejatuhan
manusia ini ditandaskan pula bahwa keinginan tahu akan segala sesuatu itu
tidak tercapai dan mereka tidak menjadi seperti Tuhan sendiri. Yang
diperoleh hanyalah kesadaran mengenai keadaan diri sendiri: telanjang (Kej
3:7). Begitu maka manusia menyadari keterpisahannya dengan Yang Ilahi.

Yang membuat manusia menjauh adalah ketidaksetiaan terhadap pesan agar tidak
memakan buah pengetahuan baik dan jahat yang bisa mematikan (Kej 2:17). Bila
dibaca ulang, akan menjadi jelas bahwa bukan larangannyalah yang ditekankan,
melainkan pesan agar menjaga kehidupan yang dihembuskan ke dalam diri
manusia. Manusia diminta agar memelihara keadaan se-nafas denganNya. Tapi
gagal.

Setelah makan buah larangan, memang manusia menyadari keadaan diri sendiri,
tetapi mengapa tidak langsung mati seperti terungkap dalam larangan tadi?
Bisa dijelaskan bahwa maksudnya ialah manusia menjadi makhluk yang mengalami
kematian, seperti kenyataannya. Akan tetapi bisa dilihat sisi lain dari
kejadian ini. Memang sebenarnya kematian akan langsung terjadi pada saat
manusia melanggar pesan tadi dan hanya kemurahan Tuhan sendirilah yang
mengurungkan kematian langsung itu. Ini kiranya warta yang tersirat dalam
kisah di atas. Semakin didalami, semakin terang bahwa kisah ini bukannya
berpusat pada hukuman melainkan pada kerahimanNya. Memang manusia kini
mengalami jerih payahnya menjaga nafas hidup yang diberikan Pencipta. Tetapi
ia tetap disertainya dalam pelbagai cara. Dan hanya dengan demikianlah bisa
dimengerti betapa keramatnya pesan menjaga kehidupan tadi. Dalam Injil kali
ini oleh Matt akan ditampilkan seorang manusia yang mampu berteguh
menghayati pesan ilahi menjalani kehidupan yang berasal dari padaNya seperti
apa adanya. Tetapi baiklah kita dengarkan uraian Matt sendiri berikut ini.
Selamat menikmatinya! A. Gianto

___________________________________________________________________

Kawan-kawan sekalian!

Dengar-dengar pada hari Minggu pertama masa puasa sebelum paskah tahun ini
dibacakan kisah Yesus dicobai di padang gurun. Tahun lalu dari versi Luc,
tahun depan tentunya dari Mark. Saya dan Luc (Luk 4:1-13) mengolah kembali
catatan Mark (Mrk 1:12-13) dengan menyertakan bahan mengenai pembicaraan
Yesus dengan penggodanya yang belum tersedia ketika Mark menulis.
Seluk-beluk selanjutnya tanya Gus; ia gemar menduga-duga maksud kami. Tapi
ia malah minta saya menjelaskan sendiri, "biar rada otentik" bujuknya.

Sebelum menulis Mat 4:1-11, saya sudah dengar dari Mark bahwa Yesus dibawa
Roh ke padang gurun untuk dicobai Iblis selama 40 hari. Maksudnya, Yesus
dibawa Roh sampai ke tempat itu dan tetap disertai olehNya di sana selama
itu. Luc memperjelas dengan mengatakan Yesus dibimbing Roh "di" padang
gurun. Jadi Yesus tidak ditinggalkan Roh yang turun ke atasnya pada waktu
menerima baptisan (Mrk 1:10 Mat 3:16 Luk 3:22). Catatan Oom Hans malah
menyebut Yohanes Pembaptis melihat Roh turun dari langit dan tinggal di atas
Yesus (Yoh 1:32). Tolong ini diingat bila kalian menguraikan teks kami.

Tak usah kisah itu ditafsirkan sebagai kisah tentang orang yang luar biasa
laku tapanya sehingga mampu mengalahkan godaan sebesar apapun seperti yang
digambarkan dalam kakawin Arjunawiwaha, mahakarya sastra Jawa Kuno itu. Kami
tidak ada maksud menampilkan Yesus sebagai manusia sakti atau petapa
digdaya, ksatria suci yang siap menempur si angkara murka Niwatakawaca,
bukan pula sebagai manusia teladan yang dijadikan ideal. Tujuan kami
berbeda. Yesus kami wartakan sebagai manusia yang disertai Roh, bukan agar
dikagumi dan dicontoh, melainkan agar diikuti. Dia itu yang diutus Yang
Mahakuasa kepada semua orang untuk membawa kita semua kembali ke diri kita
yang sejati.

Ada tiga godaan. Yang pertama yakni mau mengurus semuanya sendiri sehingga
tak ada kesempatan mendengarkan isyarat-isyarat ilahi. Akhirnya Yang Ilahi
tak masuk dalam pola bertingkahlaku. Mau merebut yang termasuk wilayah Sana.
Ini godaan besar. Kami mengatakannya dengan memakai lambang dari dunia orang
Yahudi. Yesus lapar dan digoda agar mengubah batu jadi roti. Ingat kisah
umat pilihan yang kelaparan dan kehausan di padang gurun dulu dan mulai
menyangsikan Tuhan, mereka datang ke Musa minta mukjizat (Kel 17:1-7). Ini
namanya mencobai Tuhan. Mukjizat akhirnya terjadi, tapi mukjizat yang
diminta dengan paksa itu cuma menepis rasa haus, tidak memuaskan batin.
Yesus tidak memaksa batu jadi makanan, seperti dulu Musa yang terpaksa
membuat padas kersang memancarkan air segar. Memang Yesus lapar, tapi ia
tidak menukar kesertaan Roh dengan makanan. Ia tetap Anak Allah, maksudnya,
orang yang amat dekat denganNya sampai dapat membiarkanNya sendiri terlihat.
Ia anak Allah bukan dalam arti yang hendak diisikan oleh penggoda: pembuat
mukjizat untuk diri sendiri. Yesus yang disertai Roh itu bersedia hidup dari
sabda ilahi yang menyebutnya "anak terkasih" yang diperdengarkan pada saat
ia dibaptis.

Godaan kedua lebih berat. Menjatuhkan diri dari puncak Bait Allah agar Allah
mau tak mau menyelamatkan. Jadi memaksaNya bikin mukjizat! Apakah Ia
membiarkannya binasa terbanting? Dan malaikat-malaikat akan berpangku tangan
nonton saja? Kan tertulis dalam Mzm 91:11-12 bahwa Allah akan menyuruh
malaikat-malaikat menadahi kakinya agar tak terantuk batu, begitulah bisikan
Iblis. Ia juga mahir memakai Kitab Suci dan menafsirkannya bagi tujuan
sendiri. Tetapi Roh menjernihkan budi Yesus sehingga ia tetap melihat
kedudukan dirinya sebagai Anak Allah sejati. Tidak mau mencobai Dia. Roh
juga mengarahkan ingatan pada ayat suci Ul 6:16 yang melarang orang
membiarkan diri dikuasai perasaan ragu akan Yang Mahakuasa. Jadi, tak usah
gentar pada Iblis, ada Roh yang menyertai kalian. Biarkan Roh menjernihkan
kembali tafsir yang dikisruhkan Iblis.

Godaan ketiga makin gencar. Yesus ditawari kekuasaan atas seluruh dunia
beserta kemegahannya. Syaratnya, sujud menyembah Iblis. Semakin dipikir
semakin mengerikan. Iblis bisa menawarkan dunia dan kemegahannya. Berarti
semuanya bisa dialihmilikkan begitu saja oleh Iblis! Dan kalian hidup di
dunia yang begitu itu. Untunglah ini baru wacana, belum kejadian yang nyata.
Baru menjadi nyata kalau Yesus menurutinya. Syukur tidak. Roh tetap
menyertainya dalam berteguh pada pilihannya. Karena itu penggoda kehabisan
akal dan tersingkir oleh daya Roh.

Nanti Yesus menjadi Kristus Raja Alam Semesta seperti kalian tahu. Tapi ini
terjadi karena ia tetap meniti jalan ilahi, tidak mengikuti lorong satani.
Ia tidak mendahului langkah-langkah Roh.

Dalam semua godaan itu Yesus berpegang pada ayat-ayat suci, semuanya dari
Kitab Ulangan. (Ay. 4 = Ul 8:3; ay. 7 = Ul 6:16; ay. 10 = Ul 6:13.) Apa
intinya? Seruan untuk mementingkan Dia Yang Mahatinggi itu. Tiga ayat suci
itu memberi ruang bagi sabda yang datang dari Dia, bagi kesungguhanNya
melindungi, bagi kebesaranNya.

Mau mengenali si penggoda dari dekat? Dalam petikan yang kalian bacakan itu
ia tampil sebagai "diabolos" (= Iblis, ay. 1, 5, 8, 11), "peirazoon" (=
pembujuk, ay. 3), dan "satana" (= setan, ay. 10). Yang ketiga ini bahkan
diucapkan oleh Yesus sendiri. Sayang dalam terjemahan LAI, kata "setan"
dalam ay. 10 itu cuma dialihkan jadi "Iblis" - kata yang sudah beberapa kali
dipakai. Yesus kan menggertak, "Enyahlah, Setan!" Hardikan ini terdengar
sekali lagi dalam kesempatan lain, lihat di bawah.

Penggoda tampil pertama-tama sebagai "Iblis", Yunaninya "diabolos". Menurut
arti kata itu, pekerjaannya ialah memecah belah pikiran dan membuat hati
bercabang. Ia mau menduakan perhatian Yesus yang sepenuhnya terarah kepada
Bapanya. Iblis mau membuatnya berorientasi pada dia juga. Perhatikan yang
dikatakan dalam ay. 8 ketika Iblis menawari Yesus kekuasaan akan dunia dan
kemegahannya. Ia tidak meminta Yesus meninggalkan Yang Mahakuasa. Iblis cuma
ingin agar dirinya ikut diakui oleh Yesus. Itu cukup. Jadi inti godaannya
ialah menyisihkan sedikit tempat bagi Iblis dengan imbalan seluruh isi dunia
dan kebesarannya. Pemikirannya begini: ah, Yang Mahakuasa kan sudah punya
apa saja, kalau kita ada simpanan rahasia sedikit tak apa kan? Apalagi kalau
sedang tak beres hubungan dengan Dia, ke mana kita ngumpet?

Tetapi Yesus mengusir Iblis dan menghardiknya sebagai "setan". Kalian ingat
peristiwa pemberitahuan pertama mengenai penderitaan Yesus? Langsung Petrus
berusaha mencegah agar Yesus tidak terus berjalan ke arah penderitaan itu.
Yesus berpaling dan mengucapkan (Mat 16:23 Mrk 8:33) "Enyahlah setan!"
seperti ketika menggertak penggoda tadi. Petrus mau menduakan perhatian
Yesus. Lihat betapa lembutnya godaan itu. Setan pintar menabur benih
perseteruan di dalam batin manusia sendiri. Ia menuduh-nuduh apa cara
hidupmu ini benar, apa yang ini yang terbaik, kok ndak gini saja, dst. Ia
membimbangkan, ia membuat orang jadi ragu-ragu. Ia itu bisa terasa amat
dekat, bahkan kayak orang kepercayaan. Dalam Injil, setan itu bukan jejadian
yang membikin bulu kuduk berdiri kayak yang disuguhkan tontonan horor di TV
kalian. Ia punya wajah kalem tapi diam-diam menjerumuskan ke jalan buntu.

Heran bahwa hardikan keras kepada Petrus di atas tidak ikut disebut Luc?
Tapi kawan kita ini kiranya mau menyampaikannya dengan cara lain. Segera
setelah pemberitahuan pertama mengenai sengsara (Luk 9:22), Luc mengutipkan
beberapa ajaran tegas Yesus tentang arti mengikutinya..., baca Luk 9:23-27.
Seluk-beluknya tanya sama Luc sendiri, atau minta Gus njelasin.

Bagaimana membeda-bedakan yang benar dari yang tipuan? Sendirian kita tak
bisa. Hanya dengan bantuan Roh kita akan mendapati jalan kebenaran. Tak bisa
dengan kekuatan sendiri saja. Tak mungkin dengan keberanian belaka. Tak
cukup dengan laku tapa dan askesis melulu. Bahkan berkutat menjalani retret
Ignatian sebulan tak akan membekali kalau dalam waktu itu belum bisa belajar
membiarkan diri disertai Roh.

Memang tak gampang mengenali "pembujuk", Yunaninya "peirazoon" dan maknanya
"dia yang berusaha meyakin-yakinkan dengan niat menipu dan menjatuhkan".
Orang dulu paling takut pada cobaan seperti ini. Pasti kalah. Pada akhir doa
Bapa Kami yang diajarkan Yesus dan diteruskan Luc secara apa adanya (Luk
11:4) itu ada permohonan, "Dan janganlah masukkan kami ke dalam percobaan".
Untuk menjelaskan lebih lanjut, saya perluas rumusannya dengan "tapi
bebaskanlah kami dari yang jahat"(Mat 6:13). Godaan itu alam yang jahat yang
amat mengerikan. Manusia tak bisa melawan. Satu-satunya yang bisa dilakukan
ialah minta Bapa melepaskan dari kuasa jahat itu. Dan Ia menjalankannya
dengan kekuatan yang datang dariNya sendiri, yakni Roh. Ingat juga, nanti di
Getsemani Yesus tergoda untuk ambil jalan lain, tapi ia tetap mendekatkan
diri kepada Bapanya (Mrk 14:36 Mat 26:39 Luk 22:42).

Begitulah di padang gurun Yesus berjumpa dengan "diabolos", Iblis pemecah
belah, bertemu "peirazoon", pembujuk yang menyebar benih permusuhan, dan
bertatap muka dengan "setan" yang mau menyeretnya ke jalan sesat. Yesus
berhasil keluar dari padang gurun karena ia tetap disertai Roh. Tokoh utama
dalam kisah di padang gurun itu Roh sendiri! Kalian amati gerak geriknya
ketika menyertai Yesus dan ambillah hikmatnya!

Bagaimana kita tahu kita didampingi Roh? Bila kita ikuti jalan Yesus, bila
tidak kita sangsikan kesungguhan Yang Mahakuasa, dan bila kita membiarkan
diri dituntun kekuatan dari atas untuk mengerti kebesaran ilahi yang
sesungguhnya. Semoga kalian tetap didampingi Roh!

Matt