Wednesday, 17 June 2015

HR. Tubuh dan Darah Kristus

Mg 7 Jun 2015 - Tubuh dan Darah Kristus
(Mrk 14:12-16)
 
DALAM KESATUAN BATIN
Rekan-rekan  yang baik!
Peristiwa yang dikisahkan dalam Injil hari ini, yakni perjamuan malam Yesus bersama para muridnya, dikaitkan Markus dengan Perjamuan Paskah Yahudi (Mrk 14:12-16). Begitu pula dalam Injil Matius dan Lukas (Mat 26:2. 17-19; Luk 22:7-14) yang memang ditulis atas dasar bahan Markus. Yohanes lain. Baginya, peristiwa itu bukan Perjamuan Paskah, melainkan perjamuan perpisahan Yesus dengan murid-muridnya. Pada hari Paskah Yahudi sendiri, menurut Yohanes, Yesus sudah meninggal (bdk. Yoh 18:28; 19:14) dan justru wafatnya diartikannya sebagai korban domba Paskah.
 
KAPAN TERJADI?
 
Di kalangan Yahudi zaman itu, hari dihitung mulai dari terbenamnya matahari hingga magrib berikutnya. Jadi satu hari terdiri dari sore dan malam hari serta siang hari berikutnya. Menjelang Paskah Yahudi, masih pada hari keenam (Jumat) domba kurban disembelih, tetapi baru dipersembahkan dalam upacara pada sore harinya yang sudah terhitung hari berikutnya, yakni malam Paskah Yahudi. Injil Yohanes mengartikan wafat Yesus di kayu salib sebagai penyembelihan domba yang terjadi pada hari Jumat, sedangkan sore harinya, yakni malam Paskah orang Yahudi, Yesus dikuburkan dan tinggal di sana sampai bangkit pada hari pertama minggu berikutnya. Berbeda dengan Yohanes, Injil-Injil Sinoptik (yakni Markus, Matius, dan Lukas) menampilkan penyaliban Yesus setelah Paskah Yahudi yang dirayakan Yesus bersama para muridnya.
Bagaimanapun juga, baik Injil Sinoptik maupun Injil Yohanes sama-sama menampilkan Yesus sebagai kurban Paskah. Tetapi kapan peristiwa ini terjadi, dan dalam bentuk apa, ada perbedaan. Injil Yohanes memakai cara penggambaran yang “mengurungkan” serta “mengubah” perjalanan waktu, seolah-olah semuanya kembali ke keadaan sebelum penciptaan. Bagi Yohanes, Paskah Yahudi dibarengi dengan kegelapan dalam kubur, dalam kematian. Ini keadaan sebelum sang Pencipta menyabdakan terang. Paskah Yahudi tampil sebagai yang tak berbentuk, keadaan kalang kabut (bdk. Kej 1:2). Perlu ada pengaturan dan terang. Dan Yang Maha Kuasa sendiri memberikannya, yakni Paskah yang baru, yaitu kebangkitan Yesus. Dia itu terang yang disabdakan bagi jagat. Dan terang itu kini berada bersama Yang Maha Kuasa, yang disebutnya Bapa. Dari sana ia akan mengirim Rohnya kepada para muridnya. Ini juga telah diutarakannya dalam pesan-pesan terakhirnya pada perjamuan malam sebelum ia ditangkap.
Injil Sinoptik memakai cara penggambaran yang mengarah ke depan dan mengantisipasi peristiwa wafat Yesus pada kayu salib dengan Perjamuan Paskah. Di sini Yesus menegaskan pemberian dirinya – tubuh dan darahnya – sebagai jaminan Perjanjian keselamatan yang baru. Barangsiapa bersatu dengannya akan terikut di dalam keselamatan. Roti yang disambut dan anggur yang diminum menandai kesatuan dengan tubuh dan darah Yesus – dengan dirinya sepenuh-penuhnya. Injil Sinoptik juga memakai Perjamuan Paskah, yakni peringatan pembebasan umat Perjanjian Lama dari perbudakan di Mesir, untuk mengartikan kurban diri Yesus di salib nanti. Dia itu kurban yang membebaskan kemanusiaan dari perbudakan dosa. Dengan demikian, Injil Sinoptik juga menampilkan perjamuan bersama para murid tadi sebagai perayaan penebusan.
 
BERSAMA ORANG BANYAK
 
Meskipun agak rumit, uraian di atas menunjukkan dinamika yang berbeda-beda dalam pemahaman para murid tentang Yesus sang Mesias yang telah mereka ikuti dari tempat ke tempat dan kini tetap menyertai mereka walaupun dengan cara yang lain. Dan perjamuan “berakah” (kata Ibrani yang dekat artinya dengan kata Indonesia asal Arab “berkat-an”) yang menjadi ibadat mereka sebagai orang Yahudi menjadi perayaan bersama untuk semakin menyadari kenyataan batin ini. Seperti halnya perjamuan “berakah” untuk memperingati dan menghadirkan kembali peristiwa keluaran dari Mesir, perjamuan ekaristi dijalankan untuk mengenang kembali kebersamaan batin dengan Yesus yang mengurbankan diri bagi keselamatan orang banyak. Patut dicatat, gagasan “eukharistia” ialah padanan dalam bahasa Yunani bagi “berakah” Ibrani. Dengan latar pemahaman di atas marilah kita petik warta Injil hari ini.
Bayangan kita mengenai perjamuan terakhir boleh jadi amat dipengaruhi lukisan gaya Leonardo da Vinci: di sebuah ruang khusus Yesus memimpin perjamuan yang dihadiri hanya oleh murid-murid paling dekat. Dan kita akan mengamati siapa-siapa dan bagaimana sikap mereka dan bagaimana sikap Yesus. Tafsiran artistik ini memang mengungkapkan kekhususan kesempatan itu. Saat itulah lahir kelompok kecil yang akan menjadi komunitas penerus karya dan kehadiran Yesus di dunia ini. Mereka akan berbagi ingatan akan siapa Yesus yang mereka kenal dari dekat, yang mereka kagumi, yang mereka ikuti. Walaupun demikian, gambaran itu tidak amat cocok dengan yang kiranya terjadi dulu. Ruang tempat Yesus dan murid-muridnya makan pasti dipenuhi orang-orang lain juga. Yesus ialah tokoh yang telah menggemparkan seluruh wilayah utara – Galilea – dan tempat-tempat di sepanjang perjalanannya ke Yerusalem. Ia disambut dengan sorak sorai ketika memasuki kota itu, bagaikan seorang raja. Yerusalem waktu itu juga ramai banyak didatangi para peziarah yang akan beribadat tahunan di kota suci itu. Ia bahkan disangka akan menggerakkan masa membangun kerajaan baru. Itulah yang dituduhkan oleh para pemimpin Yahudi sendiri di hadapan penguasa Romawi.
Pemilihan tempat perjamuan juga dikisahkan dalam Mrk 14:12-16 dengan cara yang unik. Seakan-akan semuanya sudah diatur. Dua orang murid disuruhnya memasuki kota dan di sana mereka akan berjumpa dengan seorang laki-laki yang membawa kendi air. Mereka disuruh mengikutinya. Dan orang itu akan menunjukkan ruang besar yang sudah diperlengkapi dan siap pakai. Pembaca zaman dulu tahu bahwa seorang lelaki yang membawa kendi air bukan pemandangan yang biasa, bahkan aneh. Biasanya air dibawa dengan kerbat dari kulit. Ini cara Markus menarik perhatian pembacanya. Juga untuk menunjukkan bahwa tempat perjamuan yang direncanakan ini mudah diketahui orang, bukan hal yang diam-diam dipilih bagi kelompok sendiri. Siapa saja akan bisa melihat orang yang membawa kendi air – sebuah pemandangan yang mencolok – dan mengetahui tempat yang ditunjukkan orang itu kepada kedua murid tadi.
 
ROTI DAN ANGGUR
 
Yesus sudah jadi tokoh tenar waktu itu. Ke mana saja ia pergi, ia selalu diiringi orang banyak. Juga tempat ia berjamu dengan para muridnya pasti didatangi orang banyak pula. Mereka ingin melihat tokoh ini bersama kelompok murid yang kondang itu. Boleh kita hubung-hubungkan keadaan ini dengan peristiwa Yesus memberi makan orang banyak yang diceritakan sampai enam kali dalam Injil-Injil. Ia berbagi rezeki yang diperoleh dari Bapanya dengan orang banyak yang mengikutinya dan menaruh kepercayaan serta harapan kepadanya. Ia berusaha memurnikan harapan serta angan-angan mereka. Ia datang bukan sebagai Mesias yang akan membangun kembali kejayaan dulu atau menumbangkan lembaga penindas. Ia datang untuk memperkenalkan Allah yang bisa didekati. Juga kali ini, di Yerusalem, di kota-Nya yang suci itu, Yesus memperkenalkan-Nya sebagai Allah yang bisa dijangkau orang banyak. Bukan lewat kurban dan upacara, tetapi lewat diri Yesus, lewat dia yang berani dengan tulus memanggil-Nya sebagai “Bapa”. Tentu peristiwa ini mengagetkan. Dan ini terjadi bukan di Bait Allah, melainkan di sebuah ruang tempat ia mengadakan perjamuan dengan para muridnya.
Pada kesempatan itulah Yesus membuat roti dan anggur perjamuan menjadi tanda pemberian diri seutuhnya kepada mereka yang ikut makan dan minum. Kata-kata “inilah tubuhku” (Mrk 14:22) dan “inilah darahku” (24) menjadi ajakan bagi mereka yang ikut serta dalam perjamuan itu untuk menyadari bahwa sebenarnya mereka bersatu dengan dia yang kini menjadi tanda keselamatan bagi orang banyak. Injil merumuskannya sebagai darah perjanjian, yakni yang dulu secara ritual diadakan dalam upacara kurban sembelihan untuk meresmikan Perjanjian.
Bagaimana kita memahami perayaan yang dikisahkan Injil itu bagi orang sekarang? Yang terjadi pada kesempatan itu erat hubungannya dengan inti perayaan ekaristi seperti kita kenal kini. Dalam peristiwa itu kumpulan orang di sekitar Yesus menyadari adanya dua kenyataan. Pertama, kurban Yesus, dan yang kedua ialah kemungkinan berbagi kehidupan dengannya. Kepercayaan inilah yang kemudian berkembang dalam ujud perayaan ibadat ekaristi mengenang kurban tadi. Dan ingatan ini diteruskan turun temurun hingga zaman ini. Tak ada satu hari pun lewat tanpa kenangan tadi. Dalam hal inilah peristiwa perjamuan terakhir tadi masih terus berlangsung. Juga kesatuan dengan dia yang mengorbankan diri demi orang banyak menjadi semakin nyata.
 
DARI BACAAN  KEDUA (Ibr 9:11-15)
 
Dalam petikan surat kepada orang Ibrani kali ini Kristus digambarkan sebagai Imam Agung surgawi yang memperoleh kelepasan hukuman bagi umat  dengan mengurbankan dirinya sendiri (ay. 11-14) . Ia  juga menjadi pengantara yang membangun kembali ikatan baik kemanusiaan dengan Allah yang hidup (ay. 15). Bagi pembaca dulu yang berasal dari kalangan Yahudi, dua gambaran ini amat menggarisbawahi betapa kini manusia boleh merasa disatukan dan dihubungkan kembali dengan asalnya. Di tempat lain, di zaman lain kekuatan gambaran ini masih dapat ditonjolkan, tentu saja dengan menunjukkan apa yang hendak disampaikan: peran Kristus dalam membawa kemanusiaan dekat kembali dengan kehadiran Yang Ilahi dengan kehidupannya. Orang diajak  mendalami pengalaman bahwa Kristus kini hidup dan berada di tengah-tengah umat dan bersama-sama umat ia menghadap Allah, dan dengan demikian membarui  wajah  kemanusiaan. Orang boleh menyadari kenyataan ini di tengah-tengah keadaan apapun, termasuk pelbagai macam kekaburan di dalam kehidupan ini.

Salam hangat,
A. Gianto

Sent from my Sony Xperia™ smartphone

Tuesday, 16 June 2015

Hr Minggu Biasa XII B

Injil Minggu Biasa XII th B 21 Juni 2015 (Mrk 4:35-41)
 
TAK PEDULIKAH ENGKAU KALAU KAMI BINASA?
Rekan-rekan yang baik!
Setelah menceritakan perumpamaan mengenai benih yang ditaburkan, pelita dan ukuran, benih yang bertumbuh, biji sesawi yang tumbuh menjadi pohon besar, kini Markus mengajak pembaca mendengarkan serangkaian kisah mukjizat yang dikerjakan Yesus. Ia meredakan angin ribut, mengusir roh jahat, menghidupkan kembali anak Yairus dan menyembuhkan perempuan yang sakit pendarahan. Pada hari Minggu Biasa XII tahun B ini dibacakan kisah Yesus meredakan angin ribut yang mengancam perahu yang ditumpanginya bersama para muridnya Mrk 4:35-41.
 
KISAH MUKJIZAT
 
Sebelum memasuki kisah itu sendiri, marilah kita tengok tujuan Markus menceritakan kisah-kisah mukjizat dalam Injilnya. Seperti disebut di atas, kisah-kisah itu diletakkan berdekatan dengan bagian-bagian yang menyampaikan pengajaran Yesus. Rupa-rupanya kisah mukjizat disampaikan dengan tujuan agar orang semakin melihat siapa sebenarnya Yesus itu. Pusat perhatian tidak diletakkan pada mukjizatnya sendiri. Kisah mukjizat dimaksud agar pembaca semakin mantap mengikuti Yesus. Dengan kata lain, kisah mukjizat ditampilkan dengan tujuan membuat orang lebih dekat pada diri Yesus dan pengajarannya, dan bukan sebagai kisah ajaib belaka. Boleh kita bayangkan, penyusun Injil seolah-olah berkata, lihat, dia yang pengajarannya telah kalian dengar itu adalah tokoh yang memiliki kuasa besar atas alam, terhadap penyakit dan roh jahat, bahkan terhadap kematian sendiri. Pertanyaan dasar yang sebaiknya dipegang pembaca ialah: apa yang dapat kita tarik keluar mengenai Yesus dari kisah ini?
Itulah kunci memahami kisah mukjizat dalam Injil. Kisah mukjizat bukan dimaksud untuk membuat orang kagum akan kehebatan Yesus. Juga bukan untuk menimbulkan hasrat di kalangan para murid dulu dan sekarang untuk bermukjizat.
Dalam petikan ini diperlihatkan betapa para murid yang terdekat mengalami sendiri bagaimana Yesus mempunyai kuasa atas kekuatan-kekuatan yang menakutkan. Gagasan ini bersumber pada dunia keagamaan Perjanjian Lama. Di situ didapati gambaran mengenai kekuatan Allah yang menguasai gejolak laut dan badai. Boleh diingat Mzm 89:9-10 “Tuhan, Allah semesta alam, siapakah seperti Engkau? Engkau kuat, ya Tuhan, dan kesetiaanMu ada di sekelilingMu. Engkaulah yang berkuasa atas kecongkakan laut, pada waktu gelombang-gelombangnya naik, Engkau juga yang meredakannya!” Lihat juga Mzm 93:3-4; 106:8-9; Yes 51:9b-10. Badai dan laut memang dihubungkan dengan kekuatan yang selalu mengancam kehidupan orang yang takwa Karena itulah dalam doa-doa Perjanjian Lama, bahaya terbesar biasa digambarkan sebagai badai di lautan. Ini terungkap misalnya dalam doa Mzm 69:15-16: “Lepaskanlah aku dari dalam lumpur, supaya aku jangan tenggelam, biarkan aku lepas dari orang-orang yang membenci aku, dan dari air yang dalam! Janganlah gelombang air menghanyutkan aku...” Itulah kiranya yang dirasakan para murid waktu itu. Dan dalam keadaan ini mereka berseru kepada Yesus. Ia memang meredakan badai. Namun, sebelum mengamati lebih lanjut marilah kita teliti cara pengisahan Markus.
 
TIDUR DI BURITAN...MEMAKAI BANTAL?
 
Markus mengisahkan Yesus tidur di buritan - bagian belakang perahu - dengan memakai bantal. Kedua kata itu, “buritan” dan “bantal” hanya ada dalam kisah Markus, tidak ditemukan dalam teks Matius dan Lukas. Apakah perbedaan ini berarti? Mudahnya, boleh diduga Markus hendak mengatakan Yesus benar-benar sedang tidur nyenyak! Ini cara Markus membuat pembaca semakin bertanya-tanya. Lho, dalam keadaan gawat seperti itu kok masih bisa tidur lelap, malah pakai bantal segala!
Tetapi boleh jadi Markus juga ingin mengung kapkan hal-hal yang bisa ditemukan bila kisahnya diikuti dengan saksama. Seperti disebutkan di atas, kata “bantal” tidak dijumpai dalam Matius dan Lukas. Boleh jadi kedua penginjil ini tidak memakainya karena menganggap perkaranya sudah jelas. Kata yang diterjemahkan dengan “bantal” itu memang artinya bantal yang biasa kita pakai menyandarkan kepala. Tetapi di sini barang yang berperan sebagai bantal itu ialah semacam papan melintang yang biasanya dipakai duduk atau bersandar oleh orang yang bertugas memegang kemudi perahu. Ini juga jelas karena dikatakan tempatnya di buritan yang tidak disebut oleh kedua Injil lain. Tempat itu biasanya sempit dan hanya bisa diduduki oleh juru mudi – tidak ada cukup ruang untuk orang lain. Pembaca kini boleh mulai menduga-duga maksud Markus. Apakah ia hendak mengatakan bahwa Yesus bertugas mengemudikan perahu. Bila begitu ia seharusnya mengarahkan ke tempat yang tidak diamuk gelombang. Kok malah enak-enak tidur di situ! Bisa dimengerti mengapa para murid yang ketakutan itu berseru dengan nada kesal, “Guru, tak pedulikah engkau kalau kami binasa?” (ay. 38). Nada kesal ini tidak dijumpai dalam kisah yang sejajar dalam Mat 8:25: Tuhan, tolonglah, kami binasa.”, maupun Luk 8:24, “Guru, Guru, kita binasa!” Kedua Injil itu lebih memusatkan pada permintaan tolong dalam ketakutan.
Markus hendak memperlihatkan sisi-sisi Yesus dan para murid yang tidak ditonjolkan kedua Injil lainnya. Bisa tidur dengan enak itu bagi orang sekarang dan orang dulu punya arti sama. Hati nurani bersih dan percaya bahwa dilindungi Allah sendiri. Lihat Amsal 3:23-24; Mzm 4 9; Ayub 11:18-19. Yesus di sini manusia yang sedemikian merasa aman. Ia juga berani menyerahkan orang-orang yang mengikutinya berada dalam lindungan Allah sendiri. Tokoh seperti ini memang boleh dikagumi, tapi sekaligus juga membuat gemas orang-orang yang dekat. Kok tak peduli kami bakal mati ketakutan begini! Enak-enak sendiri? Segera sesudah adegan ini kisah berubah. Yesus bangun dan menghardik angin dan membuat danau teduh. Pembaca akan ingat motif dari Perjanjian Lama mengenai kuasa terhadap kekuatan laut dan badai yang mengancam kehidupan. Ditawarkan dua gambar mengenai sosok Yesus: sosok manusia yang percaya teguh pada lindungan Allah, dan sosok dia yang menjadi tempat Allah memperlihatkan kuasanya atas daya-daya alam yang menakutkan. Pembaca yang jeli bisa memandangi yang satu dan tetap melihat yang lainnya karena memang sama. Inilah hikmat teks Markus.
 
BADAI KETIDAKPERCAYAAN?
 
Apakah kisah mukjizat ini dapat dipahami sebagai kiasan bagi keadaan para murid yang terombang-ambing dan ketakutan di tengah badai kehidupan, baik dulu dan sekarang? Memang ada tafsiran seperti ini. Namun, cocokkah kita baca kisah mukjizat ini dengan cara itu? Yesus mengatakan bahwa mereka sebenarnya kurang percaya. Memang kisah-kisah Kitab Suci lebih mudah dibaca dengan mengenakan skema “percaya” lawan “tak percaya”, lebih-lebih bila di dalam petikan ini sendiri kata-kata itu dipakai.
Seperti dua Injil lainnya, Markus menghubungkan ketakutan para murid dengan sikap kurang percaya. Kurang percaya kepada siapa? Pembaca bisa jadi segera berpikir mengenai sikap kurang percaya kepada kehadiran Yesus. Tetapi sebenarnya Injil mau mengajarkan hal yang lebih dalam. Di situ ditonjolkan perbedaan antara sikap Yesus yang pasrah dan bisa tidur enak di tengah-tengah ancaman badai dan ombak di satu pihak dan para murid yang mudah guncang di lain pihak. Inilah yang kiranya hendak diperlihatkan dalam kisah mukjizat ini. Para murid diminta agar belajar bersikap tenang dalam bahaya. Bukannya tak peduli, melainkan seperti yang terjadi pada diri Yesus. Ia gambar orang yang percaya, yang merasa sepenuhnya berada dalam lindungan ilahi.
Memang tak dapat disangkal bahwa di sini juga diajarkan sikap percaya kepada Yesus. Tetapi tentunya yang dimaksud ialah percaya kepada dua sisi Yesus ini: dia yang sedemikian pasrah kepada Yang Maha Kuasa itu dan dia yang mampu membungkam badai. Ay. 41 mengungkapkan pertanyaan para murid satu sama lain “Siapa sebenarnya orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepadanya?” Pertanyaan ini tak perlu dijawab dengan gampang dengan pernyataan-pernyataan teologis yang besar yang lazim kita ucapkan: ia itu Anak Allah, Mesias, Penyelamat, meski semuanya benar. Kisah ini juga memberi jawaban sederhana tapi mendalam: ia itu orang yang bisa sepenuhnya menyerahkan diri kepada lindungan ilahi
Sebuah amatan lagi. Matius dan Lukas hanyalah mengatakan bahwa Yesus membentak badai dan gelombang, tapi Markus menyampaikan hardikannya dalam bentuk kutipan: “Diam! Tenanglah!”. Kata yang kedua itu lebih daripada hanya menyuruh reda. Secara harfiah artinya “terberanguslah!”, seperti moncong ular naga yang tadinya terbuka mengancam dan kini diikat rapat. Dalam sastra Ibrani dan sekitarnya, badai dan ombak dibayangkan sebagai ular naga raksasa yang menghujat wibawa ilahi yang telah mengatur jagat ini. Kekuatan-kekuatan yang mengacaubalaukan itulah yang disuruh diam dan terberangus. Bila jalan pikiran ini diikuti, akan jelas bahwa bukan tiap kesulitan hidup boleh dibaca sebagai badai yang hanya bisa ditenangkan oleh kekuatan ilahi. Hanya yang menggugat wibawa ilahilah yang akan disuruh diam dan diikat mulutnya, hanya yang mau mengacaukan wibawanya. Para murid diajak membeda-bedakan badai yang hanya dapat diatasi kekuatan ilahi sendiri: badai ketidakpercayaan.
 
DARI BACAAN KEDUA 2Kor 5:14-17  kemanusiaan baru
 
Dalam petikan ini Paulus berusaha membuat orang-orang di Korintus menemukan siapa itu Kristus bagi kehidupan mereka, bagi kemanusiaan. Ia bukan lagi yang bisa dikenali sebagai manusia semata-mata, betapa luhurnya, betapa besarnya, betapa kuatnya kepribadiannya. Ini semua tidak  cukup guna memahami Dia yang ada di tengah-tengah orang yang percaya. Cara yang lebih cocok ialah melihatnya sebagai dia dapat membawa kemanusiaan menjadi  yang sungguh dimaui oleh Pencipta. Kristus menjadi ciptaan baru yang sudah mulai. Barangsiapa mengikutinya akan menjadi ciptaan baru.
Dalam  gagasan Paulus, Allah Yang Mahakuasa itu tidak meninggalkan manusia melainkan yang membuatnya bisa mendekat kepadaNya. Orang kini bisa mulai memandangi kehidupan bukan semata-mata dari sisi dan perhitungan manusiawi belaka. Di situlah letak kekuatan untuk menjalani kehidupan dengan segala permasalahannya.
 
Salam hangat, A. Gianto


Sent from my Sony Xperia™ smartphone

Wednesday, 3 June 2015

HR Tubuh & Darah Kristus

Mg 7 Jun 2015 - Tubuh dan Darah Kristus
(Mrk 14:12-16)
 
DALAM KESATUAN BATIN
Rekan-rekan  yang baik!
Peristiwa yang dikisahkan dalam Injil hari ini, yakni perjamuan malam Yesus bersama para muridnya, dikaitkan Markus dengan Perjamuan Paskah Yahudi (Mrk 14:12-16). Begitu pula dalam Injil Matius dan Lukas (Mat 26:2. 17-19; Luk 22:7-14) yang memang ditulis atas dasar bahan Markus. Yohanes lain. Baginya, peristiwa itu bukan Perjamuan Paskah, melainkan perjamuan perpisahan Yesus dengan murid-muridnya. Pada hari Paskah Yahudi sendiri, menurut Yohanes, Yesus sudah meninggal (bdk. Yoh 18:28; 19:14) dan justru wafatnya diartikannya sebagai korban domba Paskah.
 
KAPAN TERJADI?
 
Di kalangan Yahudi zaman itu, hari dihitung mulai dari terbenamnya matahari hingga magrib berikutnya. Jadi satu hari terdiri dari sore dan malam hari serta siang hari berikutnya. Menjelang Paskah Yahudi, masih pada hari keenam (Jumat) domba kurban disembelih, tetapi baru dipersembahkan dalam upacara pada sore harinya yang sudah terhitung hari berikutnya, yakni malam Paskah Yahudi. Injil Yohanes mengartikan wafat Yesus di kayu salib sebagai penyembelihan domba yang terjadi pada hari Jumat, sedangkan sore harinya, yakni malam Paskah orang Yahudi, Yesus dikuburkan dan tinggal di sana sampai bangkit pada hari pertama minggu berikutnya. Berbeda dengan Yohanes, Injil-Injil Sinoptik (yakni Markus, Matius, dan Lukas) menampilkan penyaliban Yesus setelah Paskah Yahudi yang dirayakan Yesus bersama para muridnya.
Bagaimanapun juga, baik Injil Sinoptik maupun Injil Yohanes sama-sama menampilkan Yesus sebagai kurban Paskah. Tetapi kapan peristiwa ini terjadi, dan dalam bentuk apa, ada perbedaan. Injil Yohanes memakai cara penggambaran yang "mengurungkan" serta "mengubah" perjalanan waktu, seolah-olah semuanya kembali ke keadaan sebelum penciptaan. Bagi Yohanes, Paskah Yahudi dibarengi dengan kegelapan dalam kubur, dalam kematian. Ini keadaan sebelum sang Pencipta menyabdakan terang. Paskah Yahudi tampil sebagai yang tak berbentuk, keadaan kalang kabut (bdk. Kej 1:2). Perlu ada pengaturan dan terang. Dan Yang Maha Kuasa sendiri memberikannya, yakni Paskah yang baru, yaitu kebangkitan Yesus. Dia itu terang yang disabdakan bagi jagat. Dan terang itu kini berada bersama Yang Maha Kuasa, yang disebutnya Bapa. Dari sana ia akan mengirim Rohnya kepada para muridnya. Ini juga telah diutarakannya dalam pesan-pesan terakhirnya pada perjamuan malam sebelum ia ditangkap.
Injil Sinoptik memakai cara penggambaran yang mengarah ke depan dan mengantisipasi peristiwa wafat Yesus pada kayu salib dengan Perjamuan Paskah. Di sini Yesus menegaskan pemberian dirinya – tubuh dan darahnya – sebagai jaminan Perjanjian keselamatan yang baru. Barangsiapa bersatu dengannya akan terikut di dalam keselamatan. Roti yang disambut dan anggur yang diminum menandai kesatuan dengan tubuh dan darah Yesus – dengan dirinya sepenuh-penuhnya. Injil Sinoptik juga memakai Perjamuan Paskah, yakni peringatan pembebasan umat Perjanjian Lama dari perbudakan di Mesir, untuk mengartikan kurban diri Yesus di salib nanti. Dia itu kurban yang membebaskan kemanusiaan dari perbudakan dosa. Dengan demikian, Injil Sinoptik juga menampilkan perjamuan bersama para murid tadi sebagai perayaan penebusan.
 
BERSAMA ORANG BANYAK
 
Meskipun agak rumit, uraian di atas menunjukkan dinamika yang berbeda-beda dalam pemahaman para murid tentang Yesus sang Mesias yang telah mereka ikuti dari tempat ke tempat dan kini tetap menyertai mereka walaupun dengan cara yang lain. Dan perjamuan "berakah" (kata Ibrani yang dekat artinya dengan kata Indonesia asal Arab "berkat-an") yang menjadi ibadat mereka sebagai orang Yahudi menjadi perayaan bersama untuk semakin menyadari kenyataan batin ini. Seperti halnya perjamuan "berakah" untuk memperingati dan menghadirkan kembali peristiwa keluaran dari Mesir, perjamuan ekaristi dijalankan untuk mengenang kembali kebersamaan batin dengan Yesus yang mengurbankan diri bagi keselamatan orang banyak. Patut dicatat, gagasan "eukharistia" ialah padanan dalam bahasa Yunani bagi "berakah" Ibrani. Dengan latar pemahaman di atas marilah kita petik warta Injil hari ini.
Bayangan kita mengenai perjamuan terakhir boleh jadi amat dipengaruhi lukisan gaya Leonardo da Vinci: di sebuah ruang khusus Yesus memimpin perjamuan yang dihadiri hanya oleh murid-murid paling dekat. Dan kita akan mengamati siapa-siapa dan bagaimana sikap mereka dan bagaimana sikap Yesus. Tafsiran artistik ini memang mengungkapkan kekhususan kesempatan itu. Saat itulah lahir kelompok kecil yang akan menjadi komunitas penerus karya dan kehadiran Yesus di dunia ini. Mereka akan berbagi ingatan akan siapa Yesus yang mereka kenal dari dekat, yang mereka kagumi, yang mereka ikuti. Walaupun demikian, gambaran itu tidak amat cocok dengan yang kiranya terjadi dulu. Ruang tempat Yesus dan murid-muridnya makan pasti dipenuhi orang-orang lain juga. Yesus ialah tokoh yang telah menggemparkan seluruh wilayah utara – Galilea – dan tempat-tempat di sepanjang perjalanannya ke Yerusalem. Ia disambut dengan sorak sorai ketika memasuki kota itu, bagaikan seorang raja. Yerusalem waktu itu juga ramai banyak didatangi para peziarah yang akan beribadat tahunan di kota suci itu. Ia bahkan disangka akan menggerakkan masa membangun kerajaan baru. Itulah yang dituduhkan oleh para pemimpin Yahudi sendiri di hadapan penguasa Romawi.
Pemilihan tempat perjamuan juga dikisahkan dalam Mrk 14:12-16 dengan cara yang unik. Seakan-akan semuanya sudah diatur. Dua orang murid disuruhnya memasuki kota dan di sana mereka akan berjumpa dengan seorang laki-laki yang membawa kendi air. Mereka disuruh mengikutinya. Dan orang itu akan menunjukkan ruang besar yang sudah diperlengkapi dan siap pakai. Pembaca zaman dulu tahu bahwa seorang lelaki yang membawa kendi air bukan pemandangan yang biasa, bahkan aneh. Biasanya air dibawa dengan kerbat dari kulit. Ini cara Markus menarik perhatian pembacanya. Juga untuk menunjukkan bahwa tempat perjamuan yang direncanakan ini mudah diketahui orang, bukan hal yang diam-diam dipilih bagi kelompok sendiri. Siapa saja akan bisa melihat orang yang membawa kendi air – sebuah pemandangan yang mencolok – dan mengetahui tempat yang ditunjukkan orang itu kepada kedua murid tadi.
 
ROTI DAN ANGGUR
 
Yesus sudah jadi tokoh tenar waktu itu. Ke mana saja ia pergi, ia selalu diiringi orang banyak. Juga tempat ia berjamu dengan para muridnya pasti didatangi orang banyak pula. Mereka ingin melihat tokoh ini bersama kelompok murid yang kondang itu. Boleh kita hubung-hubungkan keadaan ini dengan peristiwa Yesus memberi makan orang banyak yang diceritakan sampai enam kali dalam Injil-Injil. Ia berbagi rezeki yang diperoleh dari Bapanya dengan orang banyak yang mengikutinya dan menaruh kepercayaan serta harapan kepadanya. Ia berusaha memurnikan harapan serta angan-angan mereka. Ia datang bukan sebagai Mesias yang akan membangun kembali kejayaan dulu atau menumbangkan lembaga penindas. Ia datang untuk memperkenalkan Allah yang bisa didekati. Juga kali ini, di Yerusalem, di kota-Nya yang suci itu, Yesus memperkenalkan-Nya sebagai Allah yang bisa dijangkau orang banyak. Bukan lewat kurban dan upacara, tetapi lewat diri Yesus, lewat dia yang berani dengan tulus memanggil-Nya sebagai "Bapa". Tentu peristiwa ini mengagetkan. Dan ini terjadi bukan di Bait Allah, melainkan di sebuah ruang tempat ia mengadakan perjamuan dengan para muridnya.
Pada kesempatan itulah Yesus membuat roti dan anggur perjamuan menjadi tanda pemberian diri seutuhnya kepada mereka yang ikut makan dan minum. Kata-kata "inilah tubuhku" (Mrk 14:22) dan "inilah darahku" (24) menjadi ajakan bagi mereka yang ikut serta dalam perjamuan itu untuk menyadari bahwa sebenarnya mereka bersatu dengan dia yang kini menjadi tanda keselamatan bagi orang banyak. Injil merumuskannya sebagai darah perjanjian, yakni yang dulu secara ritual diadakan dalam upacara kurban sembelihan untuk meresmikan Perjanjian.
Bagaimana kita memahami perayaan yang dikisahkan Injil itu bagi orang sekarang? Yang terjadi pada kesempatan itu erat hubungannya dengan inti perayaan ekaristi seperti kita kenal kini. Dalam peristiwa itu kumpulan orang di sekitar Yesus menyadari adanya dua kenyataan. Pertama, kurban Yesus, dan yang kedua ialah kemungkinan berbagi kehidupan dengannya. Kepercayaan inilah yang kemudian berkembang dalam ujud perayaan ibadat ekaristi mengenang kurban tadi. Dan ingatan ini diteruskan turun temurun hingga zaman ini. Tak ada satu hari pun lewat tanpa kenangan tadi. Dalam hal inilah peristiwa perjamuan terakhir tadi masih terus berlangsung. Juga kesatuan dengan dia yang mengorbankan diri demi orang banyak menjadi semakin nyata.
 
DARI BACAAN  KEDUA (Ibr 9:11-15)
 
Dalam petikan surat kepada orang Ibrani kali ini Kristus digambarkan sebagai Imam Agung surgawi yang memperoleh kelepasan hukuman bagi umat  dengan mengurbankan dirinya sendiri (ay. 11-14) . Ia  juga menjadi pengantara yang membangun kembali ikatan baik kemanusiaan dengan Allah yang hidup (ay. 15). Bagi pembaca dulu yang berasal dari kalangan Yahudi, dua gambaran ini amat menggarisbawahi betapa kini manusia boleh merasa disatukan dan dihubungkan kembali dengan asalnya. Di tempat lain, di zaman lain kekuatan gambaran ini masih dapat ditonjolkan, tentu saja dengan menunjukkan apa yang hendak disampaikan: peran Kristus dalam membawa kemanusiaan dekat kembali dengan kehadiran Yang Ilahi dengan kehidupannya. Orang diajak  mendalami pengalaman bahwa Kristus kini hidup dan berada di tengah-tengah umat dan bersama-sama umat ia menghadap Allah, dan dengan demikian membarui  wajah  kemanusiaan. Orang boleh menyadari kenyataan ini di tengah-tengah keadaan apapun, termasuk pelbagai macam kekaburan di dalam kehidupan ini.

Salam hangat,
A. Gianto

Sent from my BlackBerry®