Friday, 27 March 2015

Membangun Keluarga

         MEMBANGUN KELUARGA YANG HARMONIS

KELUARGA adalah sebuah pokok refleksi mendalam Gereja dan sebuah proses yang melibatkan dua Sinode: Sinode luar biasa baru-baru ini dan Sinode biasa yang dijadwalkan pada Oktober mendatang. Maka, hemat saya, tepatlah bila tema untuk Hari Komunikasi Sedunia yang akan datang semestinya menjadikan keluarga sebagai titik acuannya.
Bagaimanapun juga, dalam konteks keluarga itulah kita pertama-tama belajar bagaimana berkomunikasi. Memusatkan perhatian pada konteks ini dapat membantu menjadikan komunikasi kita lebih autentik dan manusiawi, seraya pada saat yang sama membantu kita melihat keluarga seturut perspektif baru.
 
Kita dapat menimba ilham dari perikop Injil yang mengisahkan kunjungan Maria kepada Elisabet (Luk 1:39-56). "Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: 'Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu'" (ay. 41-42).
 
Kisah perikop itu sekali lagi memperlihatkan bagaimana komunikasi itu pada dasarnya juga melibatkan bahasa tubuh. Respon Elisabet atas salam Maria pertama-tama diekspresikan oleh bayi di dalam kandungannya yang melonjak kegirangan. Merasakan sukacita karena berjumpa sesama –suatu pengalaman personal yang kita alami, bahkan sebelum lahir pun- dalam artian tertentu merupakan wujud asali dan simbol dari semua bentuk komunikasi.
 
Rahim adalah "sekolah" komunikasi yang pertama, tempat mendengarkan dan kontak fisik di mana kita mulai mengakrabkan diri dengan dunia luar dalam sebuah lingkungan yang terlindung, dengan suara yang menenteramkan dari detak jantung sang ibu. Pertemuan di antara dua orang, yang saling terkait begitu erat namun tetap berbeda satu sama lain, sebuah pertemuan yang sarat janji, adalah pengalaman komunikasi kita yang pertama. Ini adalah pengalaman yang kita semua miliki, karena masing-masing kita terlahir dari seorang ibu.
 
Bahkan setelah kita terlahir ke dunia, dalam arti tertentu kita masih tetap berada dalam sebuah "rahim", yakni keluarga. Sebuah rahim terdiri dari berbagai orang yang saling terkait: keluarga adalah tempat "di mana kita, meskipun berbeda, belajar hidup bersama orang lain" (Evangelii Gaudium, 66). Betapapun ada perbedaan jenis kelamin dan usia di antara mereka, namun para anggota keluarga menerima satu sama lain karena ada ikatan di antara mereka. Semakin lebar cakupan relasi ini dan semakin besar perbedaan usia, maka akan semakin kaya lingkungan hidup kita. Ikatan inilah yang merupakan akar bahasa, yang pada gilirannya memperkuat ikatan tersebut. Kita tidak menciptakan bahasa kita; kita dapat menggunakan bahasa karena kita telah mewarisinya. Di dalam keluarga inilah kita belajar menuturkan "bahasaibu" kita, yaitu bahasa dari mereka yang telah mendahului kita. (Bdk. 2 Makabe 7:25, 27). Di dalam keluarga kita menyadari bahwa ada orang-orang lain yang telah mendahului kita, mereka memungkinkan kita untuk berada dan pada gilirannya kita mesti menghasilkan kehidupan dan melakukan sesuatu yang baik lagi indah. Kita mampu memberi karena kita telah menerima. Lingkaran luhur ini merupakan intipati kemampuan keluarga untuk berkomunikasi di antara para anggotanya dan dengan orang-orang lain. Secara umum, lingkaran tersebut adalah model untuk semua komunikasi.
 
Pengalaman tentang relasi yang "mendahului" kita memungkinkan keluarga untuk menjadi latar di mana bentuk komunikasi yang paling dasar, yaitu doa, diwariskan. Ketika para orangtua menidurkan anak-anak mereka yang baru lahir, mereka sering kali mempercayakan anak-anak itu kepada Tuhan, seraya memohon agar Ia menjaga mereka. Ketika anak-anak itu bertambah usia, para orangtua membantu mereka untuk mendaraskan beberapa doa sederhana, seraya mengenang kasih sayang orang-orang lain, seperti kakek-nenek, para kerabat, orang-orang sakit dan menderita, dan semua orang yang membutuhkan pertolongan Tuhan. Di dalam keluarga itulah sebagian besar kita mempelajari dimensi rohani komunikasi, yang di dalam Kekristenan diresapi dengan kasih, yaitu kasih yang Allah anugerahkan kepada kita dan yang kemudian kita tawarkan kepada orang-orang lain.
 
Di dalam keluarga itulah kita belajar bagaimana masing-masing bisa saling berbagi dan mendukung, belajar mampu mengartikan secara tepat ekspresi wajah orang dan membaca isi hatinya sekalipun diam tak berkata-kata; kita tertawa dan menangis bersama pribadi-pribadi yang tidak saling memilih tetapi begitu berarti satu sama lain. Realitas ini tentu saja sangat membantu kita untuk memahami makna komunikasi sebagai kedekatan pertalian batin yang saling meneguhkan dan mempertautkan.
 
Manakala kita mengurangi jarak dengan bertumbuh lebih dekat dan saling menerima, maka kita mengalami rasa syukur dan sukacita. Salam Maria dan lonjakan sukacita anaknya merupakan sebuah berkat bagi Elisabet; disusul madah indah Magnificat, di mana Maria memuji rencana kasih Allah bagi dirinya dan bagi kaumnya. Sebuah "ya" yang diujarkan dengan iman dapat memiliki dampak yang melampaui diri kita dan tempat kita di dunia ini. 
 
"Mengunjungi" berarti membuka pintu, tidak tinggal tertutup di dunia kecil kita, melainkan pergi mendatangi orang-orang lain. Demikian pula keluarga menjadi hidup lantaran ia melampaui dirinya. Keluarga-keluarga yang melakukan hal demikian mengkomunikasikan pesan mereka tentang hidup dan persekutuan, seraya memberikan penghiburan dan pengharapan kepada keluarga-keluarga yang lebih rapuh, dan dengan demikian membangun Gereja itu sendiri, yang merupakan keluarga semua keluarga.
 
Lebih daripada apa pun juga, keluarga adalah tempat di mana kita setiap hari mengalami aneka keterbatasan kita sendiri dan keterbatasan orang-orang lain, pelbagai masalah besar dan kecil yang termaktub dalam kehidupan yang damai dengan orang-orang lain. Sebuah keluarga yang sempurna tidak ada. Kita tidak perlu takut akan cacat cela, kelemahan atau bahkan konflik, tetapi sebaliknya belajar untuk mengatasi semuanya secara konstruktif. Keluarga, di mana kita tetap mengasihi satu sama lain meskipun ada serba keterbatasan dan dosa-dosa kita, karenanya merupakan sebuah sekolah pengampunan. Pengampunan itu sendiri merupakan sebuah proses komunikasi. Ketika penyesalan diungkapkan dan diterima, maka ada kemungkinan untuk memulihkan dan membangun kembali komunikasi yang putus. Seorang anak yang belajar dalam keluarga bagaimana mendengarkan orang lain, bagaimana berbicara dengan hormat dan mengungkapkan pandangannya tanpa menafikan orang lain, akan menjadi sebuah kekuatan bagi dialog dan rekonsiliasi di tengah masyarakat.
 
Ketika bersinggungan dengan tantangan dalam berkomunikasi, maka keluarga-keluarga yang punya anak-anak dengan keterbatasan fisik maupun mental mengajarkan banyak hal kepada kita.  Keterbatasan gerak (motorik), perasaan (sensorik) atau mental dapat menjadi alasan untuk kemudian menutup diri, namun sebaliknya –berkat kasih orangtua, saudara kandung dan teman—juga bisa menjadi pendorong untuk terbuka, kemauan berbagi dan kesiapan  menjalin komunikasi dengan siapa saja. Hal ini juga bisa membantu sekolah, paroki, dan kelompok-kelompok orang untuk semakin terbuka dan inklusif bagi siapa pun.
 
Di dunia nyata dimana orang sering kali dengan gampangnya mengumpat, menggunakan kata-kata kasar, membicarakan kejelekan orang lain, menabur pertentangan dan meracuni pergaulan sosial dengan gosip, maka keluarga menjadi acuan tentang bagaimana seharusnya memahami komunikasi sebagai rahmat. Dalam banyak situasi yang secara nyata dikekang oleh nafas kebencian dan aroma kekerasan, dimana banyak keluarga terpisah satu sama lain oleh kokohnya tembok batu atau jurang pemisah lantaran prasangka buruk dan rasa tidak suka, dimana terjadi situasi yang memungkinkan mengatakan 'cukuplah sudah sekarang ini!', rasanya hanya dengan berkah daripada kutukan, dengan jalan berkunjung daripada mengusir, dengan menerima daripada mengajak ribut, maka kita akan mampu mematahkan rantai spiral kejahatan; juga mampu memperlihatkan bahwa kebaikan itu selalu saja mungkin dan mendidik anak-anak kita untuk menghargai pertemanan.
 
Dewasa ini media modern, yang merupakan bagian hakiki dari kehidupan kaum muda khususnya, dapat menjadi bantuan namun juga halangan bagi komunikasi di dalam dan di antara keluarga. Media bisa merupakan halangan jika dijadikan cara untuk mencegah kita mendengarkan orang lain, untuk mengelakkan kontak fisik, untuk mengisi setiap saat hening dan istirahat, sehingga kita lupa bahwa "keheningan adalah bagian terpadu dari komunikasi; tanpa keheningan, kata-kata yang kaya pesan tak akan ada", (BENEDIKTUS XVI, Pesan UntukHari Komunikasi Sedunia Tahun 2012 ). Media dapat menjadi bantuan bagi komunikasi ketika media memungkinkan orang untuk berbagi kisah, untuk tetap menjalin kontak dengan teman-teman yang jauh, untuk mengucapkan terima kasih kepada orang lain atau meminta pengampunan mereka, dan untuk membuka pintu bagi perjumpaan-perjumpaan baru. Dengan berkembang setiap hari dalam kesadaran kita akan betapa pentingnya berjumpa dengan orang-orang lain, "peluang-peluang baru" ini, maka kita akan memakai teknologi secara bijaksana, alih-alih membiarkan diri kita dikuasai media. Di sini juga, para orangtua adalah pendidik utama, tetapi mereka tidak boleh dibiarkan sendirian. Komunitas Kristen dipanggil untuk membantu mereka mengajarkan anak-anak bagaimana hidup dalam sebuah lingkungan media secara sepadan dengan martabat mereka sebagai pribadi manusia dan demi melayani kesejahteraan umum.
 
Tantangan besar yang kita hadapi saat ini ialah untuk mempelajari kembali bagaimana berbicara satu sama lain, tidak sekadar bagaimana untuk menghasilkan dan memakai informasi. Yang terakhir tadi adalah kecenderungan yang dapat didorong oleh media komunikasi modern kita yang terbilang penting dan berpengaruh. Informasi memang penting, tetapi tidak cukup. Sekian sering hal-hal disederhanakan, aneka posisi dan sudut pandang berbeda diadu satu sama lain, dan orang-orang diajak memihak, alih-alih melihat hal-hal itu secara utuh.
 
Kesimpulannya, keluarga bukanlah pokok bahasan atau sumber darimana pertentangan ideologis muncul. Melainkan, keluarga harus dipandang sebagai ruang sosial dimana kita semua belajar berkomunikasi yang ditandai oleh pengalaman akan keakraban satu sama lain. Keluarga adalah ruang sosial dimana komunikasi itu terjadi, sebuah komunitas manusia yang saling berkomunikasi. Keluarga adalah suatu komunitas yang senantiasa menyediakan pertolongan, yang menyegarkan kehidupan dan membuahkan hasil.  Begitu kita menyadari hal ini, maka kita sekali lagi akan dimampukan melihat bahwa keluarga senantiasa menjadi sumber daya manusia yang begitu kaya manakala bila bertabrakan dengan masalah. Banyak kali, media suka menampilkan keluarga lazimnya sebuah model abstrak yang bisa ditolak, dibela atau diserang dan bukannya pertama-tama melihatnya sebagai realitas sosial yang hidup. Sering juga keluarga diperlakukan sebagai sumber darimana pertentangan ideologis itu muncul daripada melihatnya sebagai ruang sosial dimana kita semua ini belajar apa artinya berkomunikasi dalam bingkai kasih yang diwarnai semangat saling memberi-menerima. Berpijak pada pengalaman nyata inilah kita menjadi sadar bahwa ternyata hidup kita ini terjalin bersama sebagai suatu realitas tunggal, bahwa kita masing-masing itu banyak perbedaannya namun sekali lagi setiap orang pada dasarnya tetaplah pribadi yang unik.
 
Keluarga-keluarga harus dilihat sebagai sumber daya alih-alih sebagai masalah bagi masyarakat. Keluarga-keluarga berkomunikasi secara aktif melalui kesaksian mereka tentang keindahan dan kekayaan relasi antara lelaki dan perempuan, dan antara para orangtua dan anak-anak. Kita tidak sedang berjuang untuk membela masa lalu. Sebaliknya, dengan kesabaran dan kepercayaan, kita bekerja untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi dunia di mana kita hidup.
 
Diberikan di Vatikan, 23 Januari 2015, Vigilii Pesta Santo Fransiskus dari Sales
 
PAUS FRANSISKUS
 

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Tuesday, 24 March 2015

Minggu Palma

Minggu Palma 29 Maret 2015 (Mrk 11:1-10; Mrk 14:1-15:47)
 
ARAH CERAH DI SAAT GELAP
 
Bacaan bagi perarakan Minggu Palma kali ini (Mrk 11:1-10) mengisahkan bagaimana Yesus disambut meriah oleh orang banyak ketika memasuki kota Yerusalem. Mereka telah mendengar pelbagai tindakan penyembuhan dan pengusiran roh jahat serta pengajarannya mengenai Kerajaan Allah. Mereka sadar, dia ini Mesias yang sudah lama ditunggu-tunggu. Harapan mereka, Allah segera akan membuat Mesias-Nya menunjukkan kebesarannya di kota suci-Nya. Dan memang akan terjadi demikian. Tetapi kebesaran Mesias ini berbeda daripada yang diidam-idamkan. Guna menyelaminya, marilah kita ikuti Kisah Sengsara pada Minggu Palma ini (Mrk 14:1-15:47) serta memetik hikmatnya.  Para imam kepala dan ahli Taurat merasa terancam oleh kehadiran Yesus karena ia hendak mengubah pusat ke-Yahudi-an, yakni Bait Allah, menjadi rumah doa bagi semua orang (lih. Mrk 11:17a = Yes 56:7) dan bukan sebagai lambang identitas orang Yahudi belaka. Mereka juga tidak menyukai ajaran Yesus bahwa manusia boleh mendekat kepada Allah dan memanggil-Nya "Bapa". Bagi para pemimpin tadi, sebutan ini sebuah hujatan. Oleh karenanya mereka berupaya menyingkirkan Yesus dengan "diam-diam", tanpa mengungkapkan alasan yang sesungguhnya (14:2). Dan lewat penguasa Romawi, mereka berhasil membuatnya dihukum mati pada salib.
 
MENGAPA IA DISALIBKAN?
 
Bagi para pengikutnya, riwayat Yesus tidak tamat dengan penyaliban dan penguburannya. Ia tetap diingat. Kenangan ini menjadi sumber keteguhan kebenaran yang dipersaksikan Yesus di salib dan diakui oleh kepala pasukan (Mrk 15:39 "Orang ini benar Anak Allah"). Kenangan akan Yesus bahkan dikembangkan serta diperkaya dengan pengalaman orang-orang yang tidak mengenalnya secara pribadi. Dan kenangan ini menjadi sumber keteguhan iman mereka. Contoh paling jelas ialah tulisan-tulisan Paulus. Lain lagi Kisah Para Rasul yang menjelaskan keteguhan itu sebagai karya Roh Kudus. Injil-Injil kemudian menjelaskannya dengan memakai gagasan dasar yang berasal dari Yesus sendiri, yakni kedatangan Kerajaan Allah yang diperkenalkannya sebagai "Anak Allah", orang yang amat dekat pada-Nya. Begitulah Kerajaan Allah itu menjadi kenyataan dalam kehidupan. Orang diajak menyambut kerajaan ini dan semakin menghidupinya.

MENJALANI SAAT-SAAT GELAP
 
Pengurapan Yesus di Betania oleh seorang perempuan (14:3-9), seperti dikatakannya sendiri, menjadi gelagat bagi perawatan jenazahnya nanti. Akhir hidupnya nanti juga menjadi pokok yang diutarakannya dalam perjamuan terakhir (14:12-21). Dikatakannya, di antara murid-muridnya ada yang akan menyerahkannya kepada para imam (14:21-21). Roti dan anggur yang dibagikannya pada kesempatan itu ditampilkannya sebagai tubuh dan darahnya - kehidupannya - yang sebentar lagi akan menjadi kurban yang meresmikan Perjanjian yang Baru (14:22-24), maksudnya kesediaan Allah dan kesetiaan manusia. Inilah yang menumbuhkan Kerajaan Allah. Pada saat-saat ini dari pihak manusia yang diminta ialah kesetiaan, bukan cetusan kesediaan yang sulit dipenuhi. Petrus menyatakan bersedia mati bersamanya malah, tapi akhirnya mengingkarinya sampai tiga kali (14:29-31; dan memang terjadi demikian 14:66-72).

Malamnya Yesus dan murid-muridnya berada di luar tembok kota bagian timur, di tempat yang bernama Getsemani. Sementara ketiga murid terdekatnya tertidur, Yesus berdoa menyerahkan diri pada kehendak Bapanya (14:32-42). Akhirnya datang Yudas bersama para penangkap (14:43-52). Penangkapan Yesus ini membuat murid-muridnya tercerai-berai, seperti nubuat Zakhariah yang dikutip Yesus (14:27 = Zakh 13:7). Tapi mereka akan berkumpul kembali dengannya di Galilea (14:28). Malam itu juga Yesus digiring ke Sanhedrin, Mahkamah Agama yang berwenang mengadili perkara-perkara yang bersangkutan dalam kehidupan agama dan masyarakat Yahudi. Macam-macam tuduhan dilancarkan, tetapi tidak satu pun dapat ditunjukkan dasarnya. Saksi palsu mengatakan Yesus akan merusak Bait dan membangunnya kembali. Yesus tidak membela diri (14:57-61a). Ketika ditanya imam agung apakah ia itu Mesias, Yesus tidak menyangkal dan malah mengatakan bagaimana ia nanti akan dimuliakan di kanan Allah dan akan kembali ke dunia (14:61b-62). Jawaban ini dianggap hujatan dan mendatangkan hukuman mati. Tetapi Sanhedrin tidak dapat menjatuhkan hukuman mati. Maka mereka membawanya kepada penguasa Romawi, Ponsius Pilatus, dan mengajukan tuduhan politik, yakni Yesus menyatakan diri raja orang Yahudi (15:1-3). Pilatus berusaha melepaskan Yesus dengan meminta orang-orang Yahudi memilih siapa yang patut dibebaskannya pada hari raya mereka: Yesus atau Barabas. Mereka menghendaki Barabas, yang justru seorang pemberontak dan pembunuh (15:6-11). Pilatus terpaksa menuruti. Ia memutuskan Yesus disalib dan membiarkan serdadu-serdadu menderanya terlebih dahulu (15:12-15) Mereka memasangkan mahkota duri di kepalanya dan mempermainkannya sebagai raja.Yesus memanggul salib ke Golgota, nama Aram yang artinya "Tempat Tengkorak, sebuah bukit di kawasan barat Yerusalem. Di tengah jalan habislah tenaganya. Simon dari Kirene yang kebetulan lewat dipaksa memikul salib Yesus. Terpikir, seandainya tak ada Simon Kirene, bisa jadi Yesus tidak akan sampai ke Golgota dan sejarah umat manusia akan amat berbeda. Perjumpaan dengan orang yang tidak dikenal juga menjadi jalan penebusan umat manusia. Penyaliban Yesus dicatat Markus terjadi pada pukul sembilan pagi, pada salibnya dipasang tulisan "Raja orang Yahudi" dan bersama dia disalibkan juga dua orang penyamun (15:25-27). Pada pukul tiga sore Jumat itu, ia menyerukan doa keluhan Mzm 22:2, "Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku?" Dalam keadaan sekarat ia diberi minum anggur asam. Inilah saat Yesus berseru dengan suara nyaring dan menghembuskan nafas terakhir (15:37). pada saat yang sama tirai Bait Suci terkoyak dua dari atas ke bawah (15:38) dan kepala pasukan di tempat penyaliban menyatakan bahwa Yesus itu benar Anak Allah (15:39). Kematiannya disaksikan para perempuan yang telah mengikuti dan melayaninya mulai Galilea hingga ke Yerusalem (15:40-41).
 
SEBUAH NARASI KESAKSIAN

Bagian terakhir Kisah Sengsara menceritakan penguburan Yesus petang hari Jumat menjelang hari Sabat. Yusuf Arimatea, anggota Sanhedrin, mendapat izin dari Pilatus untuk menguburkan jenazah Yesus setelah mengkafaninya. Begitulah Yesus dibaringkan di pemakaman yang kemudian ditutup dengan batu. Maria Magdalena dan Maria ibu Yesus menyaksikan penguburan ini (15:42-47).  Pelbagai macam dambaan, idaman, impian, perhitungan yang dikenakan pada Yesus kini memang ikut terkubur. Tetapi banyak dari harapan itu sebetulnya bukanlah yang diajarkannya, seperti halnya penegakan kembali kerajaan Daud, kejayaan politik serta kekuasaan bagi para pengikutnya di hadapan kaum mapan di Yerusalem.  Apa yang tersisa? Ada kesaksian yang tak diragukan dari orang-orang paling dekat dengannya, yakni bahwa pada dini hari Minggu, yaitu hari ketiga mulai dari hari penguburannya, mereka mendapati makamnya kosong tanpa ada yang memindahkan jenazahnya. Ia sudah bangkit! Para pengikut Yesus percaya bahwa Allah tidak membiarkan Yesus tetap berada di antara orang mati. Dia dibangkitkan! Yesus menerima hidup baru dari Allah Bapanya sendiri. Hidup baru ini  kini dapat dibagikannya kepada siapa saja. Inilah kenyataan Kerajaan Allah yang diajarkan oleh Yesus dan dipersaksikannya dengan salib, kematian, serta kebangkitannya. Yang percaya juga boleh berharap ikut serta dengan dia yang bangkit itu. Inilah harapan yang tak bisa terkubur.

Kisah Sengsara dalam Injil bukanlah laporan pandangan mata, melainkan sebuah narasi kesaksian orang-orang yang paham serta percaya bahwa sengsara dan kematian Yesus terjadi dalam rangka pengabdiannya untuk membangun kembali hubungan baik antara manusia dan Allah. Kisah sengsaranya memperlihatkan betapa merosotnya kemanusiaan yang menolak kehadiran Yang Ilahi. Ditegaskan dalam kesaksian ini bahwa orang yang pasrah menerima kehadiran Allah akan menerima kehidupan sejati - seperti Yesus yang kemudian dibangkitkan dari kematiannya. Kisah tragis manusia tak berdosa itu dipersaksikan bagi orang banyak bukan untuk memicu rasa terharu, melainkan untuk membuat kita makin menyadari sampai di mana kekuatan-kekuatan jahat dapat memerosotkan kemanusiaan. Juga untuk mempersaksikan bahwa Yang Ilahi tidak bakal kalah atau meninggalkan manusia sendirian. Inilah kabar baik bagi semua orang. Kisah sengsara menurut Markus ialah bagian paling awal dari Injil dan baru mulai disusunnya pada awal tahun 70-an, jadi empat dekade sesudah Yesus wafat, dan di Roma, dan bukan di negeri tempat Yesus pernah hidup. Baru setelah itu disertakannya pula kisah-kisah mengenai tindakan dan pengajarannya di sepanjang perjalanan dari Galilea menuju ke Yerusalem tempat ia menderita sengsara. Sepuluh tahun kemudian Matius menyusun kembali tulisan Markus menjadi beberapa kumpulan pokok pembicaraan dan tindakan Yesus. Matius juga menyisipkan bahan-bahan mengenai perkataan Yesus yang sudah beredar waktu itu dan menyertakan bahan khas dari Matius sendiri, antara lain kisah kelahiran Yesus.

Sementara itu, Lukas juga mengolah kembali Markus sambil menambahkan bahannya sendiri, seperti misalnya kisah kelahiran dan masa kanak-kanak Yesus. Lukas juga menyertakan bahan dari kumpulan kata-kata Yesus yang juga dipakai Matius. Baru pada tahun 90-an Yohanes menyelesaikan Injilnya. Ia tidak memakai Markus sebagai dasar seperti Matius dan Lukas. Ia menulis atas dasar gerak pengalaman batin orang percaya akan Yesus sang Sabda yang menerangi jagat.


DARI BACAAN KEDUA: MADAH TENTANG  KRISTUS (Fil 2:6-11)

Bacaan ini sebaiknya didengarkan sebagai  madah pujian  bagi Kristus, yang meskipun sejatinya dalam  rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, tetapi  telah mengosongkan dirinya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan  manusia. Dan  dalam keadaan sebagai  manusia ia telah merendahkan dirinya  dan taat sampai mati... Begitulah ayat 6-8. Dalam mendalami  bacaan ini  sebaiknya dimengerti bahwa ungkapan mengenai  "pengosongan diri", "merendahkan  diri" bukan  dimaksud sebagai anjuran bagi pengikut Kristus untuk menirunya.  Tujuan bacaan ini ialah untuk membuat pendengar m mengerti dan menghargai betapa besarnya pengorbanan  yang telah dijalani Kristus demi membuat diri sama seperti  manusia. Dengan  demikian orang akan makin dekat padanya.  Ini semua membuat  Allah meninggikannya  dan mengaruniakan padanya  nama luhur yang diakui kebesarannya semua ciptaan. Inilah yang ditegaskan dalam ayat 9-1.  Mengakui kebesaran ilahi  yang bersedia mendekat ke kemanusiaan, itulah inti iman para pengikut Kristus. Pengakuan ini  jugalah yang membuat manusia dekat kembali dengan Allah.

Dalam arah itu maka kemanusiaan  bisa menjadi sungguh sama dengan yang diinginkan Pencipta, yakni menjadi "rupa" dan "kesamaan" dari Allah sendiri seperti  terungkap dalam Kej 1:27. Gagasan inilah yang mendasari madah tentang  Kristus dalam bacaan kali ini. Kristus digambarkan sebagai manusia seperti dikehendaki Pencipta sendiri, yakni menjadi serupa  dan memiliki kesamaan  tetapi toh tidak bermaksud menyamai-Nya, bahkan merendah dan menjadi hamba, maksudnya, bersedia menjalankan keinginan tuannya. Dan  hamba yang  seperti  ini akan diberi kehormatan besar oleh tuannya di rumahnya.

Salam hangat,
A. Gianto



Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Monday, 16 March 2015

Injil Minggu Prapaskah V/B

InjMgPrapaskah V/B 22 Maret 2015 (Yoh 12:20-33)

Rekan-rekan yang budiman!

Menjelang hari Paskah waktu itu banyak orang datang ke Yerusalem dengan tujuan mengikuti ibadah di Bait Allah. Juga orang-orang yang bukan Yahudi. Di antara mereka ada orang-orang Yunani yang mengikuti kepercayaan Yahudi. Di Kota Suci ini mereka mendengar berita mengenai Yesus dan pengajarannya. Boleh jadi mereka juga tahu tentang tindakan simbolik Yesus membersihkan tempat ibadat. Karena itulah mereka ingin menemuinya. Dan mereka minta Filipus untuk memperkenalkan mereka kepada Yesus. Filipus memberi tahu Andreas dan kedua-duanya menyampaikannya kepada Yesus. Jawaban Yesus berisi hal-hal yang paling dalam mengenai dirinya. Bagaimana penjelasan peristiwa yang diteruskan kepada kita dalam Yoh 12:20-33 ini?

ORANG YUNANI

Yang dimaksud dengan orang-orang Yunani dalam Injil Yohanes ialah mereka yang secara etnik bukan Yahudi. Kelompok ini dari macam-macam bangsa tapi latar pendidikan mereka ialah budaya Yunani, yang waktu itu sudah menjadi budaya dunia.  Ada pula orang Yahudi yang berbahasa Yunani - misalnya yang disebut dalam Kis 6:1 - tapi bukan merekalah yang dibicarakan di sini. Dari antara orang-orang Yunani itu ada yang mengikuti ibadat Yahudi. Nanti juga ada yang menjadi pengikut Yesus. Mereka yang tertarik ikut hidup dalam komunitas kristiani awal itu menghadapi persoalan mengenai siapa sebenarnya Yesus, mengapa ia disalib, dan bagaimana peristiwa penyaliban itu menjadi penyelamatan bagi semua orang. Inilah keadaan yang melatari peristiwa yang disampaikan dalam bacaan hari ini.Penderitaan dan kematian Yesus di salib menjadi tanda tanya besar bagi pengikut-pengikutnya. Paulus merumuskan dalam 1Kor 1:23-24 "....kami memberitakan Kristus yang disalibkan: Untuk orang Yahudi batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi kebodohan, tapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi dan orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah". Dalam Injil Yohanes, persoalan yang dihadapi orang Yahudi tercermin dalam percakapan dengan Nikodemus, sedangkan yang dihadapi orang-orang Yunani muncul dalam bacaan hari ini. Baik diingat, tindakan simbolik Yesus membersihkan Bait Allah berakhir dengan pernyataan bahwa Bait Allah yang sebenarnya ialah Bait yang akan dibangunnya kembali tiga hari setelah diruntuhkan, yakni dirinya sendiri (Yoh 2:19). Dan Bait yang baru ini tidak lagi terikat pada batasan-batasan ke-Yahudi-an. Tembok pemisah juga akan terbongkar dan Bait yang baru ini Bait yang hidup. Bahkan dalam laporan Injil Markus mengenai peristiwa itu, didapati pernyataan Yesus yang mengutip Yes 56:7 "Bukankah ada tertulis: RumahKu akan disebut rumah doa bagi segala bangsa?..." Termasuk mereka inilah orang-orang Yunani tadi.

Orang-orang Yunani itu menghubungi Filipus yang kemudian menyampaikan keinginan mereka bertemu Yesus kepada Andreas. Kiranya Filipus dan Andreas berperan sebagai humas. Amat boleh jadi mereka juga orang-orang yang berpendidikan modern dan luas kontaknya. Mereka memiliki keterampilan bergaul. Kedua murid ini juga disebut dalam kisah pemberian makan orang banyak dalam Yoh 6:1-15. Di situ mereka diminta oleh Yesus mengurus orang yang mengikutinya. Dalam petikan kali ini mereka melantarkan keinginan orang-orang Yunani tadi kepada Yesus.

INGIN MENEMUI YESUS

Filipus dan Andreas melantarkan keinginan orang-orang Yunani kepada Yesus sendiri. Yohanes tidak menyebutkan alasannya. Langsung disampaikan serangkai penegasan dari Yesus (ay. 23-30). Ini cara Yohanes mengajak pembaca ikut memasuki peristiwa yang ditampilkannya, seperti pernah kita dapati dalam pertemuan antara Yesus dan Nikodemus. Kali ini pembaca juga diajak menjadi orang yang ingin menemui Yesus dengan macam-macam pertanyaan. Tetapi tidak semua rasa ingin tahu yang bermunculan dalam benak kita ada arahnya yang jelas. Hanya ada sebagian yang benar-benar membawa kita maju. Apa kiranya pertanyaan-pertanyaan itu? Dari jawaban Yesus yang panjang itu dapat disimpulkan beberapa pokok berikut ini.

Saatnya sudah tiba, dia yang diikuti orang banyak itu mengalami penderitaan dan mati disalib. Dari penegasan lain diketahui bahwa saat itu ditentukan oleh Bapanya sendiri, bukan pihak lain, bukan pula oleh Yesus sendiri. Orang diajak menyelami ketaatan Yesus serta kepasrahannya kepada Bapanya meskipun jalan yang akan dititi masih gelap. Justru kesediaannya inilah yang membuat Bapanya berkenan memberinya kebesaran. Penyerahan inilah yang memungkinkan kehidupan baru. Dipakai perumpamaan biji yang jatuh ke tanah dan "mati", tapi sebenarnya justru tumbuh menghasilkan buah banyak. Ia menjalaninya sampai memperoleh hidup kekal bagi semua orang.
Tentunya orang akan bertanya-tanya, apa kita mesti seperti dia? Sering orang terlalu antusias ke sana. Sebenarnya tidak diajarkan agar orang meniru Yesus dan tidak seorang pun diminta ke sana. Yang diminta ialah mengikutinya. Maksudnya, ikut mengusahakan agar ia dapat menjalankan perutusannya, mengawaninya, juga dalam saat-saat gelap, tidak membiarkannya sendirian. Tidak perlu ditafsirkan sebagai ikut menjalani penderitaan. Kalau cuma ikut meneguhkan penderitaan belaka kita malah akan memberatkannya. Bersimpati, solider dengan orang yang menderita berarti juga menyertainya dengan wajah segar. Bukan dengan muka muram. Ini cara meringankan bebannya.
 

KESAKSIAN DARI ATAS - GUNTUR – MALAIKAT

Disebutkan ada "suara dari surga", tapi orang-orang mengira "guntur" atau "malaikat" yang berbicara kepada Yesus. Bagaimana penjelasannya? Ketiga hal ini sebenarnya cara orang memahami wahyu ilahi. Yang pertama, "suara dari surga" itu jelas cara sang Penginjil memahami secara batin pernyataan dari atas sana. Pengalaman ini disampaikan kepada pembaca. Kini pembaca tahu apa yang sedang terjadi. Cara ini juga dipakai dalam Injil Sinoptik (Markus, Matius, Lukas) dalam kisah pembaptisan Yesus dan penampakan kemuliaannya di gunung. Yang kedua dan ketiga, "Sebagai guntur" dan "malaikat yang berbicara", adalah cara pemahaman orang banyak. Dirasakan ada sesuatu yang hebat, yang mencekam, yang dari atas sana, tetapi isinya tak segera disadari. Butuh penjelasan dari yang dari atas sana juga, yakni "malaikat". Motif seperti ini kerap muncul dalam tulisan-tulisan apokaliptik. Orang mendapat penglihatan atau pengalaman hebat, tetapi butuh pertolongan dari malaikat untuk memahaminya. Orang banyak mengira Yesus juga mengalami guntur dan memahami artinya dari penjelasan malaikat. Tetapi pembaca tahu bahwa sebenarnya Yesus mengalaminya dengan cara yang berbeda. Yesus langsung menangkap maksud Bapanya dan dapat menjelaskannya kepada siapa saja. Ada kebijaksanaan padanya untuk memahami keilahian. Oleh karenanya, ia dapat membawakannya kepada orang banyak. Kita juga akan bertanya-tanya apa artinya perkataan dari langit "Aku sudah memuliakan dan akan memuliakannya lagi!" Yesus sendiri menjelaskannya. Dalam ay. 30 dikatakannya bahwa perkataan itu bukan demi dia, melainkan demi orang banyak sehingga mereka mengerti bahwa dunia telah mendapatkan penghakiman. Yang menguasai dunia ini akan dicampakkan keluar ketika Yesus ditinggikan dari bumi, maksudnya, nanti ketika ia disalib, wafat dan dibangkitkan. Tak meleset bila "penguasa dunia" di situ kita mengerti sebagai kuasa kegelapan dan kematian yang menakutkan. Kuasa itu kini sudah dihakimi dan diputuskan tidak lagi mengurung dunia dan akan segera tersingkir oleh terang, yakni sang Sabda yang diperdengarkan kepada orang banyak dalam ujud diri Yesus.

BAGI KITA JUGA?

Orang-orang Yunani mendengar semua itu langsung dari Yesus. Mereka mencari kebijaksanaan, dan sang kebijaksanaan sendiri memperkenalkan diri kepada mereka. Orang-orang Yunani mewakili umat manusia yang bukan Yahudi, yang tidak termasuk mereka yang mendapat wahyu ilahi turun-temurun. Tetapi keinginan tahu mereka membawa mereka mendekat kepada dia. Kepada orang-orang inilah kebijaksanaan datang. Itulah wahyu bagi mereka. Juga bagi orang zaman ini.Yang mendekat kepada Yesus boleh berharap mendengar lebih tentangnya dari pada yang hingga kini terpikirkan. Perkenalan diri Yesus mencakup hal-hal baru tentang yang perkara-perkara yang sudah mulai dipercaya. Itulah dinamika iman kepercayaan. Sudah beribu kali didengar tentang salib, wafat, dan kebangkitan Yesus - tapi tetap akan didapati yang baru. Syaratnya, orang berani berkata, seperti orang-orang Yunani tadi: Pak,/Mas,/Bang,/Mo, kami ingin menemui Yesus - dia yang sudah Anda kenal dari dekat itu! Kata-kata tadi diucapkan kepada Filipus dan diteruskan kepada Andreas. Bagaimana bila keinginan seperti itu disampaikan kepada kita, para humas sang Sabda pada zaman ini? Filipus dan Andreas dulu diminta Yesus membagikan makanan bagi orang banyak yang berbondong-bondong mengikutinya (Yoh 6:1-15). Perkenalan diri Yesus juga akan semakin berlimpah buahnya bila semakin dibagikan kepada orang banyak.

DARI BACAAN KEDUA: KE MANA ARAH PENDERI TAAAN? (Ibr 5:7-9)

Dalam petikan surat kepada orang Ibrani 5:7-9 Yesus digambarkan sebagai tokoh besar yang dapat merasakan beratnya penderitaan manusia - ia sendiri mengalaminya dan "dengan ratap tangis dan air mata" ia memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa agar diselamatkan oleh-Nya. (Namun pusat perhatian bukan penderitaan sebagai penderitaan melainkan sebagai kenyataan dalam hidup manusiawi. Ada kaitannya dengan yang terungkap dalam Yoh 12:27.) Tokoh seperti inilah yang membuat banyak orang merasa tertarik. Dia yang kini dipercaya sebagai yang paling dekat dengan Allah sendiri - sang Anak - ialah juga dia yang bersedia serta mampu ikut memikul penderitaan manusia. Dia tampil sebagai bagian yang ilahi tapi sekaligus amat manusiawi. Sampai ke sana, itulah kebesarannya. Namun seperti ditegaskan dalam Ibr 5:7-8, ia sampai  ke sana  dengan "belajar taat". Belajar artinya mengalami setapak demi setapak kenyataan dan mengenalinya. Taat, dalam peristilahan kerohanian Alkitab, ialah  mendengarkan gerak gerik Yang Ilahi dan mengikutinya. Inilah jalan yang membawanya sampai ke "kesempurnaan" yang dapat ikut dibagikan kepada umat manusia. Pengertian ini ditegaskan dalam ayat 9.  Apa wartanya bagi orang sekarang? Boleh dikata, mencari jalan keluar dari kesukaran hidup dan penderitaan adalah upaya  paling biasa dan paling dasar. Bila kenyataan ini dianggap tak berarti maka kesukaran akan tetap menyakitkan melulu. Tetapi bila dipandang sebagai jalan mendekat ke Yang Maha Kuasa maka lambat laun akan  muncul artinya. Sudah ada yang mendapatkan arti bagi penderitaan, yakni Yesus sendiri. Inilah yang ditunjukkan dalam petikan surat kepada orang Ibrani kali ini.

Salam hangat,
A. Gianto
 



Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Wednesday, 11 March 2015

Injil Minggu Prapaskah IV B

MgPrapaskah IV 15 Maret 15 ( Yoh 3:14-21)

Dalam Yoh 3:14-21 dibicarakan pertanyaan bagaimana orang dapat sampai ke hidup kekal. Di  situ didalami lebih lanjut pokok pembicaraan Nikodemus dan Yesus dalam ayat-ayat sebelumnya. Nikodemus ingin mendapat pencerahan mengenai makna kejadian-kejadian luar biasa yang dilakukan Yesus. Ia mau mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Sebagai orang yang berpengalaman dan bijaksana, ia sudah dapat menyimpulkan bahwa Yang Maha Kuasa kini sedang mendatangi umat-Nya. Dan mukjizat yang dilihat orang adalah tanda-tanda kedatangan-Nya. Nikodemus mulai menyadari bahwa Yesus datang dari Dia. Semua ini dutarakannnya kepada Yesus sambil mengharapkan pencerahan lebih jauh (Yoh 3:2). Dikatakan oleh penginjil, ia menemui Yesus malam hari. Malam adalah saat kegelapan dan kuasanya terasa mencengkam. Pembaca diajak Yohanes mengingat bahwa yang kini ditemui Nikodemus ialah Terang yang diwartakannya pada awal Injilnya. Bagaimana kelanjutannya? Marilah kita catat beberapa pokok dalam pembicaraan itu terlebih dahulu.

NIKODEMUS

Injil Yohanes mengajak pembaca ikut mengalami yang dirasakan Nikodemus dan dengan demikian dapat ikut masuk ke dalam pembicaraannya dengan Yesus sendiri. Dalam ay. 3 Yesus menegaskan bahwa hanya orang yang dilahirkan kembali – dan dilahirkan dari atas sana – akan melihat Kerajaan Allah. Semakin disimak, jawaban Yesus ini semakin membawa kita kepada pertanyaan yang sebenarnya ada dalam hati Nikodemus dan boleh jadi juga dalam diri kita: "Apa maksud macam-macam mukjizat yang dilakukan Yesus, yang tentunya disertai Allah itu?" Tentunya tak lain tak bukan ialah...kenyataan apa itu Kerajaan Allah! Itulah yang dibawakan Yesus kepada orang banyak. Dan inilah yang semestinya dicari orang. Nikodemus tentu akan bertanya lebih lanjut: kalau begitu bagaimana caranya bisa ikut masuk ke dalam Kerajaan ini. Ay. 3 tadi ialah jawabannya.
Jawaban tadi semakin membuat Nikodemus bertanya-tanya. Boleh jadi juga kita demikian. Bagaimana bisa orang setua dia, setua kita, dapat lahir kembali. Tentu Nikodemus tidak berpikir secara harfiah belaka. Ia tahu yang dimaksud ialah lahir kembali secara rohani. Tapi justru itulah soalnya, bisakah orang yang sudah jauh melangkah di jalan lain mendapatkan hidup baru. Berangkat dari nol lagi? Apakah hidup dalam roh sepadan dengan pengorbanan yang perlu dijalani? Menanggalkan hidup badaniah, menisbikannya demi hidup dalam roh? Inilah maksud pertanyaan dalam ay. 9, "Bagaimana itu bisa terjadi?"
Penjelasan Yesus tidak diberikan dalam ujud serangkai pernyataan teologi, melainkan dalam ujud kesaksian mengenai dirinya: ia datang dari atas sana. Karena itulah ia dapat membawakan Kerajaan Allah kepada orang banyak. Dalam hubungan dengan yang diperkatakan sebelumnya, Yesus ialah orang yang sudah mengalami apa itu lahir kembali dari atas sana, dan yang kini hidup dalam roh. Untuk mengalami bagaimana lahir dalam roh, jalannya ialah berbagi hidup dengan dia yang sungguh sudah ada dalam keadaan itu. Ini jawaban bagi Nikodemus, juga jawaban bagi kita.

ULAR TEMBAGA?
 
Ay. 14 merujuk kepada sebuah pengalaman umat Perjanjian Lama di padang gurun. Dalam berjalan mendekat ke Tanah Terjanji dulu, mereka mengalami macam-macam bahaya. Salah satu yang paling mengerikan ialah "ular-ular tedung" yang mematikan itu (Bil 21:4-9). Ular-ular itu dapat memagut secepat kilat dan bisanya membakar. Tak ada kemungkinan selamat. Di situ malapetaka tadi digambarkan sebagai akibat kekurangpercayaan mereka sendiri. Mereka memang akhirnya meminta agar Musa memohonkan belas kasihan Yang Maha Kuasa. Begitulah, Musa diperintahkan Allah membuat ular dari tembaga dan memancangnya pada sebuah tiang. Yang dipagut ular akan tetap hidup bila memandangi ular tembaga tadi. Memandangi ular tembaga itu menjadi ungkapan kepercayaan pada Sabda Allah yang menjadi harapan satu-satunya untuk dapat terus hidup menempuh perjalanan di padang gurun sampai ke Tanah Terjanji.
Bagi pembaca Injil Yohanes, Tanah Terjanji kini ialah Kerajaan Allah yang dibawakan Yesus ke dunia kepada semua orang, bukan hanya kepada umat Perjanjian Lama. Untuk mencapainya, jalan satu-satunya ialah tetap mengarahkan pandangan kepada salib, menaruh kepercayaan dan harapan kepada dia yang disalib – diangkat seperti ular tembaga tadi. Mengapa? Jawaban dari Injil Yohanes didapati dalam ay. 16

INTI  INJIL
 
"Karena Allah begitu mengasihi dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadanya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal." Tidak meleset bila dikatakan bahwa ay. 16 ini berisi ringkasan seluruh Kabar Gembira.
Kalimat ini menegaskan bahwa Allah bukan hanya hasil kesimpulan akal budi, yakni bahwa segala sesuatu yang ada ini mestinya ada yang mengadakan, yakni Allah. Bukan ke sana arah ayat ini. Justru kebalikannya. Tidak lagi dirasakan kebutuhan menunjukkan bahwa Ia ada. Yang diwartakan justru perhatian-Nya yang membuat jagat ini terus berlangsung. Dia itu Allah yang dihadirkan oleh orang-orang yang dekat dengan-Nya. Dan kali ini bahkan Dia diperkenalkan oleh orang yang paling dekat dengan-Nya, yang menyelami dan hidup dari Dia. Inilah arti kata "anak" yang diterapkan kepada Yesus oleh Injil Yohanes. Pemakaian kata "tunggal" di situ dimaksud untuk memperjelas bahwa tiada yang lebih dekat dengan-Nya daripada Yesus sendiri. Karena itulah ia dapat membawa kemanusiaan berbagi kehidupan kekal dengan Yang Ilahi sendiri tadi.
Ay. 16-21 berisi kesaksian Yohanes Penginjil akan siapa Allah dan siapa Yesus itu. Allah sedemikian mengasihi dunia ini sehingga ia memberikan Anak-Nya yang tunggal. Dalam teks Yunani Injil Yohanes, kata "mengasihi" dan "memberikan" itu diungkapkan dalam bentuk yang jelas-jelas mengungkapkan tindakan yang dibicarakan betul-betul sudah terjadi. Sudah jadi kenyataan, bukan hanya sedang atau bakal dikerjakan. Tentunya pengarang Injil berpikir akan peristiwa penyaliban Yesus di Golgota. Injil memang ditulis sebagai kesaksian peristiwa yang sudah dialami dan kini dibagikan kepada orang banyak. Penyaliban Yesus yang dari luar tampak sebagai hukuman, kegagalan, dan kematian itu kini mendapat arti baru. Yang Maha Kuasa mau menerima penderitaan manusia Yesus itu sebagai ungkapan kepercayaan utuh kepada-Nya. Dan karena itulah Yesus menjadi Anak-Nya, menjadi orang yang paling dekat dengan Allah sendiri dan bahkan dengan demikian membawakan Dia ke dunia ini. Penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah itu membuka jalan kehidupan kekal. Itulah ungkapan lain dari peristiwa kebangkitan. Inilah yang dibagikan Yesus kepada orang-orang yang mau mempercayai arti penyerahan dirinya kepada Allah tadi. Dan baru dengan demikian orang dapat ikut mengalami apa itu dikasihi Allah.

IMPIAN ATAU KENYATAAN?
 
Yang diutarakan di atas ialah pengalaman iman dari para pengikut Yesus yang pertama yang kemudian dituliskan dalam bentuk Injil. Tidak segera dapat dicerna orang pada zaman kemudian di tempat lain. Kita boleh bertanya, bila benar Allah sungguh telah memberi perhatian khusus kepada dunia, bagaimana bisa dijelaskan kok masih ada saja yang tak beres, dan rasanya malah kekacauan semakin menjadi-jadi. Sekarang kekerasan, ketidakadilan, kematian terasa semakin mewarnai pengalaman sehari-hari. Retorika sajakah yang diutarakan Injil hari ini? Kerajaan Allah yang sudah datang itu impian atau kenyataan?
Injil Yohanes memecahkannya bukan dengan uraian moralistis atau pengajaran. Yang ditampilkan ialah sebuah kesaksian, yakni bahwa Allah tidak menghendaki kebinasaan. Yang dimaui-Nya ialah kehidupan kekal bagi semua orang. Bagi dunia. Yang perlu dilakukan manusia ialah berani menerima kebaikan-Nya. Mempercayai-Nya. Yang meragukan atau bahkan menolak akan tetap berada di dalam kegelapan, dalam ancaman kebinasaan, dan jauh dari kehidupan yang berkelanjutan. Tentu saja Yohanes memaksudkan kehidupan setelah kehidupan badani ini. Bagi Yohanes, yang kekal itu ialah kehidupan yang berbagi kedekatan dengan Yang Ilahi sendiri nanti. Inilah yang ditawarkan kepada Nikodemus. Dari pembicaraan dalam ay. 1-13 juga terasa betapa beratnya penyerahan seperti ini bagi Nikodemus. Ia masih bergulat agar membiarkan diri dan ikhlas dirasuki terang yang sudah ditemukan dan dilihatnya sendiri itu. Kisahnya bisa juga menjadi riwayat kita masing-masing.
Injil memberi penjelasan lebih jauh. Yang menolak arah itu sudah menghakimi diri. Inilah yang dikatakan dalam ay. 19. Di sana malah dipakai lagi gambaran terang lawan gelap. Yang menyukai kegelapan dan menolak terang sudah melepaskan diri dari anugerah ilahi tadi dan terhukum untuk hidup dalam kegelapan. Terang datang ke dunia untuk menyingkirkan kegelapan. Tak usah orang berbuat banyak. Tinggal ikhlas membiarkan diri diterangi, maka kehidupan akan berubah dengan sendirinya. Tak usah lari berusaha ke sana. Nanti malah hangus. Bila menunggu, maka akan mendapat terang sesuai dengan yang dapat diterima. Tapi ada yang lari menyingkir mengikuti kegelapan, menjauh dari terang itu. Mereka itu menghakimi diri. Inilah pesan Yohanes hari ini.

DARI BACAAN KEDUA: KEROHANIAN SEJATI (Ef 2:4-10)
 
Dalam petikan ini pembaca diajak mendalami betapa besar kemurahan Tuhan yang telah menyelamatkan kemanusiaan dari kedosaan. Ia membawa kembali yang telah mati ke kehidupan seperti yang telah terjadi pada Yesus dengan kebangkitannya. Bagaimana mengartikan petikan  ini? Bukankah gagasan-gagasan seperti ini sudah kerap dikotbahkan dan latah diperdengarkan?
Sekedar latar belakang mengenai dunia alam pikiran yang ada pada waktu itu boleh jadi membantu. Dulu di kalangan umat perdana ada pelbagai pendapat mengenai bagaimana keselamatan bisa diperoleh. Ada yang sungguh yakin bahwa keselamatan hanya terjadi lewat iman, bukan berkat perbuatan amal yang meskipun baik tidak dapat menjamin ke sana. Kalangan lain berpendapat, memang iman amat besar peranannya, tetapi perbuatan baik yang nyata tak bisa diremehkan. Bahkan melulu beriman tanpa mengungkapkannya dalam tindakan baik bukan sikap yang patut diambil. Bagaimana  dengan pertentangan alam pikiran dan pendapat seperti ini? Andaikata orang tidak bersikap kaku ("iman, hanya iman") dan menerima peran perbuatan baik, adakah batas-batas antara keduanya? Manakah pegangannya? Apa itu beriman dengan sungguh? Lalu apa itu berbuat baik sebagai ungkapan beriman? Dalam kenyataan hidup sehari-hari banyak kekaburan. Kerap kali hidup beriman menjurus ke sikap intoleran. Fanatisme, integralisme...!. Sebaliknya juga, sikap terbuka bisa berangsur-angsur membuat orang tak peduli dengan prinsip-prinsip kepercayaan. Pluralisme, relativisme.!
Nah, penulis surat kepada orang di Efesus kali ini hendak memecahkan pertikaian pendapat dan sikap-sikap seperti tadi dengan mengajak orang melihat ke arah lain, yakni kenyataan bahwa keselamatan itu "anugerah" atau pemberian besar dari Yang Mahakuasa. Pemberian inilah yang sesungguhnyalah memungkinkan orang maju terus menuju ke hidup yang bahagia nanti. Dan orang diajak untuk menekuni, menemukan, serta memahami anugerah ini. Bahkan orang didorong agar bisa mengerti lebih dalam siapa  Dia yang telah memberi kita jalan ke kehidupan  yang  sejati itu
Jelas-jelas pembaca didorong agar berpindah pusat perhatian. Bukan lagi meributkan diri sendiri ("aku beriman" atau "aku berbuat baik") melainkan beperhatian pada Dia yang memberi anugerah hidup ini. Inilah spiritualitas surat Efesus yang dapat membantu orang zaman ini juga. Orang beragama yang suka bicara dalam bentuk "aku beriman", "aku berbuat baik" diimbau agar kini mulai memasuki inti keagamaan sendiri, yakni memusatkan perhatian pada  Yang Ilahi yang mengasihi kemanusiaan. Inilah "lahir dari atas sana" yang diungkapkan Yesus kepada Nikodemus. Inilah hidup sejati yang menantikan kemanusiaan.

Salam hangat,A. Gianto
Website :
http://pds-artikel.blogspot.com

Wednesday, 4 March 2015

Injil Minggu III B

MgPrapaskah III/B, 8 Maret 15 (Yoh 2:13-22)
PEMBERSIHAN BAIT ALLAH - BAGAIMANA?

Kerap tindakan Yesus menjelang hari raya Paskah sebagaimana dikisahkan Yoh 2:13-22 dimengerti sebagai pembersihan Bait Allah dari kegiatan menukar uang dan berdagang. Betulkah demikian? Apa yang sebenarnya dilakukan Yesus bersama murid-muridnya di sana? Kesadaran macam apa yang hendak digugahnya? Marilah kita simak Injil Minggu Prapaskah III tahun B ini.
 
PASAR HEWAN DAN BISNIS VALAS DI BAIT ALLAH
 
Seperti diceritakan Yohanes, peristiwa di Bait Allah itu terjadi menjelang hari raya terbesar orang Yahudi, yakni Paskah – bukan Paskah Kristen yang belum ada waktu itu. Menjelang hari raya itu orang-orang berdatangan ke Yerusalem menunaikan kewajiban mempersembahkan kurban di Bait Allah. Karena alasan praktis, tidak banyak yang membawa sendiri hewan persembahan. Maklum syarat-syarat bagi hewan yang pantas dipersembahkan tidak sebarangan. Karena itu, ada layanan penjualan hewan yang memenuhi syarat. Pada zaman itu, dipakai uang Romawi yang memuat gambar Kaisar. Akan tetapi, larangan agama mengenai gambar manusia membuat uang Romawi haram dipakai membeli hewan yang bakal dipersembahkan sebagai kurban. Karena itu, ada jasa penukaran ke mata uang Yahudi yang hanya bisa dipakai di tempat suci. Para pedagang dan penukar uang bertempat di serambi Bait Allah yang juga boleh dimasuki orang bukan Yahudi atau orang yang tidak bermaksud mempersembahkan kurban. Sebelum mendalami lebih jauh, marilah berkonsultasi dengan seorang pakar ilmu tafsir.

YESUS KALAP?
 
TANYA: Yesus yang biasanya berpenampilan tenang berwibawa kok sekarang kalap mengobrak-abrik dagangan orang. Bagaimana kelakuan ini bisa dijelaskan?
PAKAR: Anda ini ingin cepat-cepat jadi kayak murid-murid Yesus yang dikatakan dalam ay. 17 ingat akan Mzm 69:9(10). Tapi peristiwa itu perlu kita amati dengan lebih teliti.
TANYA: Apa tak boleh?
PAKAR: Masih ingat beberapa tahun silam orang-orang turun ke jalan mengusung "mayat reformasi"? Bayi reformasi yang dikandung dengan susah payah dan dilahirkan dengan penderitaan itu ternyata mati sebelum sempat dewasa. Yesus sebenarnya sedang menggelar "unjuk rasa" dengan gaya seperti itu.
TANYA: Wah, penjelasan ini belum pernah saya dengar. Orisinil! Bagaimana, bagaimana kelanjutannya?
PAKAR: Ada baiknya eksegese makin peka akan dunia Kitab Suci sendiri. Yesus tampil seperti nabi yang melakukan "tindakan simbolik" untuk membuka mata orang. Anda ingat Yeremia (Yer 13:1-11) yang memperagakan tindakan menyembunyikan ikat pinggang di celah batu di pinggir sungai Efrat. Setelah beberapa waktu diambilnya kembali ikat pinggang itu, tapi sudah lapuk. Lalu ia bernubuat bahwa orang Israel kini lapuk seperti ikat pinggang itu. Tak lagi layak dikenakan. Dalam gaya busana orang sana dulu, ikat pinggang menunjukkan sosok orang yang memakainya. Umat yang tidak pas dengan Tuhan tidak bisa mem­buatNya dikenal orang lagi.
TANYA: Kembali ke Injil Yohanes. Jadi, Yesus bukan bermaksud menghantam praktek dagang dan tukar uang?
PAKAR: Yesus bukan tokoh agamaist fanatik yang kalap mengobrak-abrik usaha orang lain. Unjuk rasa itu kejadiannya begini. Dengan disaksikan banyak orang, Yesus bersama murid-muridnya sengaja datang ke serambi Bait Allah membawa dagangan dan meja penukar uang. Orang-orang yang melihat itu bertanya-tanya dalam hati apa sang Guru tenar ini mau bersaing dagang sapi, merpati, dan buka bisnis valas. Aneh, ia juga menjalin cemeti. Dan ketika rasa ingin mereka memuncak, Yesus tiba-tiba mulai menjungkirbalikkan meja dagangan, mencambuki hewan yang dibawanya sendiri sambil menghardik murid-murid yang memainkan peran sebagai pedagang dan penukar uang: "Enyahlah, jangan bikin rumah Bapaku ini jadi pasar!" (ay. 16). Dan pada saat itu juga, masih termasuk pementasan ini, murid-murid berkomentar samping – gaya "aside" – dengan mengutip Mzm 69:9(10), "Kalap sungguh aku oleh kobaran cintaku pada Bait-Mu!" Drama yang mementaskan tindakan simbolik selesai di sini. Akan tetapi, serambi yang morat-marit masih terlihat.
TANYA: Wah, penjelasannya ini lebih klop! Tapi apa orang-orang waktu itu paham bahwa Yesus memperagakan tindakan simbolik seperti nabi-nabi dulu?
PAKAR: Mereka mengenal Perjanjian Lama dengan baik. Mereka ingat tindakan simbolik para nabi. Drama ikat pinggang Yeremia itu tak asing; ini bacaan mereka sejak kecil. Akan terbayang pula Yesaya yang menanggalkan alas kaki dan pakaian tanda berkabung (Yes 20:1 dst.), lalu juga Yeremia yang memanggil orang agar menonton bagaimana ia memecahkan buli-buli kurban jahanam (Yer 19:1.13). Juga Yehezkiel menggelar lakon pengepungan Yerusalem seperti dalang wayang klitik (Yeh 4:1-5:17) sambil bernubuat akan adanya kelaparan di kota itu. Bahkan kehidupan pribadi pernah ditayangkan para nabi sebagai tindakan simbolik. Yehezkiel menunggui mayat istri terkasihnya tanpa meneteskan air mata atau berkabung dan bernubuat bahwa kehancuran Yerusalem nanti sedemikian tak dinyana sampai orang tak sempat menangisinya (Yeh 24:15); Hosea mentalak istrinya yang serong dan menerangkannya sebagai pertanda Tuhan mentalak Israel yang tak setia ke­padaNya (Hos 1-3).
TANYA: Tentunya hanya tokoh publik yang berwibawa bisa melakukan tindakan simbolik seperti itu?
PAKAR: Betul. Karena itu, menurut Yoh 2:18 orang-orang menantang apa Yesus bisa menunjukkan ia mempunyai hak menjalankan tindakan simbolik tadi. Lihat, mereka bukannya bereaksi melawan tindak­an Yesus mengobrak-abrik pasar hewan dan bisnis valas karena ia memang tidak mengganggu-gugat perdagangan yang sungguhan di situ.
TANYA: Lalu ringkasnya apa yang hendak disampaikan Yesus?
PAKAR: Orang-orang tercengkam oleh keadaan morat-marit yang dipertontonkan Yesus di serambi Bait Allah (Seperti dalam layat "mayat reformasi" tadi: yang dicerap orang bukan tindakan menggotong mayat, melainkan suasana pedih dan kecewa). Yesus mengajak orang menyadari bahwa mereka menerima begitu saja terjungkirbaliknya kehidupan Bait Allah. Bait Allah kini hanya dapat menjadi ibadat luar belaka dan orang bahkan lebih sibuk dengan mana hewan kurban yang mulus dan mana mata uang yang cocok. Yesus mengajak orang mencari Bait yang membuat batin plong, yang membuat orang menikmati hadirnya Tuhan, Bait yang bisa memberi kehidupan. Dan itu ialah dirinya.
 
YOHANES DAN INJIL-INJIL LAIN
 
Peristiwa "pembersihan" Bait Allah diceritakan oleh keempat Injil dengan sudut pandang masing-masing.
– Yohanes menaruh episode itu pada awal karya Yesus untuk menekankan bahwa sejak awal Yesus mau mengajak orang mengarahkan diri ke Bait yang didirikan Yang Maha Kuasa sendiri, yakni dirinya yang dibangkit­kanNya.
– Ketiga Injil lain (Mrk 11:15-17; Mat 21:12-13; Luk 19:45-46) menaruhnya pada hari-hari terakhir kehidupan Yesus untuk menekankan kontras antara Bait Allah yang morat-marit itu dengan Bait yang akan dibangunnya kembali dalam tiga hari.
– Berbeda dengan Yohanes, ketiga Injil Sinoptik, yakni Injil Markus, Matius, dan Lukas, tidak menghubungkan pernyataan Yesus akan membangun kembali Bait yang hancur dalam waktu tiga hari dengan tindakannya di Bait Allah.
– Di lain pihak, Markus dan Matius melaporkan bahwa pernyataan itu menjadi salah satu tuduhan terhadap Yesus di Mahkamah Agama (Mrk 14:58; Mat 26:61). Pernyataan itu juga disitir dengan sinis oleh orang-orang yang lewat di muka salib (Mrk 15:29; Mat 27:40). Yohanes tidak menghubungkan kata-kata itu dengan tuduhan maupun olok-olok itu. Lukas tidak menyebutnya sama sekali, tetapi ia menggarap bahan ini dengan caranya sendiri: seluruh Kisah Para Rasul memuat cerita bagaimana Gereja yang tumbuh pesat itu adalah karya Roh Yesus yang membangun kembali Bait yang baru.
Bagaimanapun juga, kata-kata tentang membangun kembali Bait yang runtuh dalam tiga hari ini memang menjadi hal yang dipersoalkan oleh mereka yang menyaksikan tindakan simbolik pembersihan Bait, oleh mereka yang menuduh Yesus di Mahkamah Agung, dan oleh mereka yang mengolok-oloknya waktu ia disalib. Dalam ketiga hal itu, Yesus menghadapi ketakpercayaan orang. Pembaca Injil dapat memeriksa diri di mana sedang berdiri.
Ada "relung-relung keramat" bagi Tuhan dalam hidup kita. Semua itu dibangun dengan iktikad baik. Tapi tindakan simbolik Yesus tetap menyapa. Bukan hanya dalam arti agar batin makin dibersihkan. Wartanya jauh lebih tajam. Yesus mengajak melepaskan bangunan itu. Mengapa? Bait yang kita akrabi dan pelihara itu sebenarnya tak banyak artinya karena akan runtuh. Yang bakal terus ada ialah Bait yang dibangunnya kembali dengan kebangkitannya. Kita diimbau untuk merelakan relung-relung suci dan bangunan keramat dalam diri kita. Leburkan dalam satu Bait yang hidup, yakni dia yang bangkit itu (Ahli-ahli tenung di Efesus merelakan ilmu hitam mereka, termasuk kitab-kitab wasiat ketika mereka menyatakan diri percaya kepada Yesus, lihat Kis 19:18-19). Ini hidup rohani yang mengarahkan diri ke Sana, ke Dia, ke Bait Allah yang hidup, ke Bait yang sungguh. Simpanan keramat memang tumbuh dari kebutuhan manusia untuk mendekati Yang Ilahi, tapi Yang Ilahi malah bisa dijadikan semacam barang koleksi yang dirumat, diberi sajian kurban khusus yang dibeli dengan uang yang khusus, dan banyak juga yang mengembangkannya menjadi ilmu sakti. Tapi, ya, berhenti di situ. Yesus sang Utusan Allah itu, menunjukkan betapa morat-maritnya dasar keyakinan rohani yang begitu itu.
Romo-romo Yesuit akan teringat Latihan Rohani yang mulai dengan upaya menyadari betapa aktivitas kita-kita ini sebenarnya sering kacau-balau. Melepas bangunan-bangunan keramat itu memang askese yang menggentarkan. Mungkin satu-satunya jalan untuk terus ialah berbagi tanggung jawab dengan sesama orang percaya dalam membangun Bait yang baru. Latihan Rohani juga berakhir dengan beberapa pegangan bagaimana bersepaham dengan Gereja.

DARI BACAAN KEDUA (1Kor 1:22-25)
 
Bagi orang Yahudi, kehadiran ilahi yang sungguh ada tandanya. Dan orang boleh mengharap mendapatkan tanda yang menyatakan Allah betul hadir. Maka mukjizat, kejayaan atas lawan, bahkan juga pengalaman pahit. Apa saja yang membuat orang ingat bahwa kehadiran ilahi tidak tinggal diam. Alam pikiran Yunani juga mengakui kehadiran ilahi. Namun kebenarannya bukan didasarkan pada tanda-tandanya, melainkan pada kemungkinan mengenali kehadiranNya lewat penalaran. Dan inilah hikmat yang disebut Paulus. Di kalangan orang Korintus waktu itu kedua alam pikiran ini amat hidup. Bagaimana menempatkan kepercayaan akan Kristus di hadapan kedua alam pikiran seperti ini.
Di kalangan orang Yahudi, tokoh Yesus dianggap menghujat Allah oleh para pemimpin Yahudi sendiri dan akhirnya mati disalib. Tapi kematiannya di salib ini justru diwartakan sebagai penyelamatan! Ini sandungan bagi orang Yahudi. Bagi orang Yunani, pewartaan salib dalam konteks penyelamatan semacam ini tak masuk akal. Mana bisa gagasan penyelamatan lewat salib mungkin – menyelamatkan diri sendiri saja tak terjadi! Mempercayainya sama dengan berlaku bodoh, begitulah menurut alam pikiran orang Yunani ketika itu.
Pemikiran Paulus sebetulnya sebuah upaya untuk membuat iman kepercayaan dapat dibicarakan dengan budaya yang berbeda-beda arahnya. Ia mengajak orang yang berpikir seperti orang Yunani untuk bertumpu pada kenyataan bahwa ada orang percaya akan salib sebagai pokok penyelamatan. Mengapa seperti ini? Dan bila yang aneh ini sungguh maka pasti ada hal yang bisa ditarik sebagai kesimpulan, yakni masuk akalnya peristiwa salib itu sendiri. Bagaimana? Tentu karena tak berhenti di situ. Ada kelanjutannya, yakni kebangkitan sendiri! Dan kebangkitan selepas pengalaman salib inilah Hikmat yang sesungguhnya. Penalaran ini dapat dicapai mereka yang mau menalarkan mengapa percaya akan Kristus itu masuk akal. Ini penalaran yang lurus.
Titik tolak yang sama dipakai dalam berbicara dengan orang Yahudi. Bila salib yang kelihatannya seperti bukti Allah meninggalkan Yesus sendirian dalam kelemahannya itu nyata-nyata dipercaya sebagai jalan keselamatan, maka pasti ada yang mengubah kelemahan ini menjadi kekuatan yang amat besar, yang bahkan mengatasi kekuatan maut. Apa itu? Tak lain tak bukan tentunya kebangkitan! Inilah kekuatan ilahi. Kristus yang bangkit ini kekuatan ilahi sendiri. Patut diterima!
Dihubungkan dengan bacaan Injil, tanda mana yang diberikan untuk menunjukkan bahwa Yesus itu berhak bertindak membersihkan rumah Bapanya – mengaku diri Anak Allah sendiri. Tanda yang bakal diberikan ialah terbangunnya kembali bait dalam tiga hari setelah diruntuhkan (Yoh 2:18-19). Maksudnya, seperti dijelaskan dalam Yoh 2:21-25, yakni diri Yesus yang mengalami salib (runtuhnya bait) dan kebangkitan (terbangun kembali utuh dalam tiga hari).

Salam hangat, A. Gianto

__._,_.___

Website :
http://pds-artikel.blogspot.com